Oleh Anisha Ayuning Tryas, S.TP Mahasiswa Master of Food Science IPB University
Isu keanaman pangan merupakan sebuah permasalahan yang terus mendapatkan perhatian dari berbagai macam kalangan masyarakat, mulai dari lembaga pemerintahan, peneliti dan juga pelaku industri. Menurut WHO, keamanan pangan (food safety) adalah suatu ilmu yang membahas tentang persiapan, penanganan, dan penyimpanan makanan atau minuman agar tidak terkontaminasi oleh bahan fisik, biologi, dan kimia.
Dua isu yang sudah tidak asing lagi adalah food spoilage dan food borne. Food spoilage merupakan kondisi kerusakan pangan yang mengakibatkan makanan tidak dapat lagi dikonsumsi disebabkan oleh aktivitas mikrobiologi pembusuk atau bahan kimia yang menyebabkan terjadi reaksi kimia yang tidak di inginkan pada bahan pangan, atau aktivitas fisik yang memapar makanan seperti teroksidasi akibat paparan cahaya dan oksigen (Sevendik dan Uysal, 2021). Sedangkan food borne adalah kondisi keracunan makanan, yaitu konsumen telah mengonsumsi makanan yang tercemar mikrobiologi patogen dan toksik, atau mengandung senyawa kimia berbahaya secara tidak sengaja (Klingbeil dan Todd. 2019) akibat dari penanganan rantai pangan yang tidak baik.
Kedua hal tersebut tentu memberikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen dan sebuah kerugian besar bagi produsen untuk membuang makanan yang rusak karena kelalaian pengecekan kualitas bahan pangan. Oleh karena itu regulasi dan pengawasan rantai pangan menjadi penting. Pemerintah sendiri telah mengatur tentang keamanan pangan di sejumlah peraturan pemerintah, di UU perlindungan konsumen dan UU kesehatan. Salah satunya adalah pada ketentuan umum Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, bahwa pemerintah menjamin dalam penyelenggaran keamanan pangan, dan negara akan memberikan perlindungan masyarakat dari makanan-makanan yang tidak aman, sehingga keselamatan jiwa rakyat dapat terjamin.
Pada beberapa tahun terakhir para peneliti pemerhati keamanan pangan telah mengembangkan sebuah metode sederhana yang dapat melihat kerusakan pangan-pangan segar akibat aktivitas pembusukan yang terjadi secara real time dan valid. Penemuan ini dinamakan Label Cerdas. Terobosan baru dalam dunia keamanan pangan dalam rantai persiapan dan penyimpanan makanan agar pangan terjaga dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Label ini akan berperan memberikan informasi kesegaran bahan pangan. Sehingga konsumen dan produsen tanpa bantuan alat analisa sudah dapat mengetahui kualitas pangan yang dimiliki hanya dengan melihat perubahan indikator warna pada label cerdas.
Target penggunaan label ini masih terbatas untuk produk pangan segar yang mudah sekali rusak jika penyimpanan tidak tepat. Menurut Kumar dkk. (2017) produk pangan mudah rusak memiliki karakteristik yang perlu di simpan pada suhu rendah, atau suhu beku seperti ikan, daging merah, daging unggas, produk susu dan turunannya serta buah dan sayur. Penelitian label cerdas ini terus dikembangkan tidak hanya di Indonesia namun di negara-negara seperti india, korea, jepang juga menaruh perhatian pada pengembangan Label Cerdas.
Pada prinsipnya metode ini memanfaatkan senyawa alami pigmen pada tanaman/pangan, dan yang lazim digunakan saat ini oleh peneliti adalah Antosianin. Pigmen antosianin memiliki karakteristik unik terhadap perubahan pH. Sumber tanaman yang memiliki pigmen antosianin di ulas dengan baik oleh Singh dkk. (2018). Beberapa yang disebutkan adalah, Kol Merah, Ubi Ungu, Wortel Ungu, Kunyit, Pomegranate, Bunga Telang, Bunga Mawar dan Buah Berry.
Kondisi menguntungkannya adalah kebusukan pada pangan sangat mempengaruhi pH di dalamnya. pH berubah secara signifikan dari pangan segar hingga menjadi pangan yang rusak/busuk. Pigmen antosianin yang peka terhadap perubahan pH memberikan warna yang berbeda-beda terhadap pH asam, netral dan basa, Gambar 1. Oleh karena itu banyak para peneliti yang kemudian melakukan ekstraksi pigmen antosianin dari berbagai jenis tanaman lalu membuat label cerdas tersebut dan mengaplikasikannya ke berbagai bahan pangan untuk melihat keefektifan dan kevalidan indikator label cerdas tersebut untuk mendeteksi kerusakan pada pangan segar yang diuji.
Saat ini beberapa komoditi pangan yang telah di uji coba adalah susu, ikan segar, daging segar, udang segar dan bahkan telah ada juga penelitian yang menggunakan label cerdas untuk mendeteksi tingkat kematangan pada buah. Pada penelitian Listyarini dkk (2021) ekstrak antosianin dari tanaman kencana ungu berhasil mendeteksi tingkat kesegaran udang seperti pada Gambar 2. Selain itu Institut Pertanian Bogor bahkan telah melakukan banyak inovasi dan pengembangan label cerdas untuk berbagai produk seperti buah, daging dan ikan seperti yang bisa didapatkan infrormasinya melalui laman innovation.ipb.ac.id.
Gambar 2. Indikator Label berubah seiring udang menjadi tidak segar
Inovasi penelitian ini adalah sebuah penemuan yang sangat berharga pada bidang teknologi pengemasan pangan. Karena melalui penelitian ini akan didapatkan beberapa keuntungan :
1. Pencegahan waste food : label cerdas memberikan informasi bahan pangan segar mana yang perlu dimanfaatkan terlebih dahulu sebelum membusuk untuk mendukung sistem FEFO (First Expired First Out) untuk barang- barang segar yang biasanya tidak memiliki expired date.
2. Quality Check analisa ditempat secara langsung : tidak perlu tenaga ahli, tanpa perlu dibawa ke laboratorium sehingga menghemat biaya analisis, waktu, dan tenaga.
3. Mencegah Food Borne : Mencegah keracunan makanan karena tidak mengonsumsi makanan dengan indikator label cerdas
4. Peluang bisnis kemasan : Dapat membuka peluang produsen industri kemasan untuk mass production label cerdas.
Pengguna label cerdas ini tentu akan sangat massive, mulai dari industri besar, industri umkm, supermarket menjual bahan pangan segar, pasar tradisional, industri katering dan lain sebagainya yang menggunakan dan memperdagangkan pangan segar kepada konsumen. Mengutip pada laman unicef.org semenjak pandemi anjuran untuk memasak makanan sendiri sangat di gaungkan agar masyarakat dapat memastikan asupan makanannya sehat dan aman. Oleh karena itu gaya hidup masyarakat setelah pandemi lebih memilih makanan sehat dan fresh.
Fenomena ini menjadi sebuah peluang bagi industri kemasan makanan untuk mempoduksi produk label ini secara massal. Sebab di masa depan masyarakarat kini memiliki preferensi untuk mengurangi makanan instant dan memilih untuk memasak sendiri dirumah, atau menggunakan layanan jasa masak. Hal ini tentu akan meningkatkan demand pangan-pangan segar yang perlu mendapatkan perhatian keamanan pangan khusus karena produk segar rentan mengalami kerusakan oleh mikrobiologi yang mengakibatkan memiliki masa simpan yang terbatas.
Kedepannya terdapat masih banyak peluang dari pengembangan label cerdas ini bagi para peneliti untuk mebantu pelaku industri dan konsumen. Pekerjaan rumah untuk para peneliti adalah melakukan observasi bahan pigmen lainya, melakukan optimasi ekstraksi, dan produksi label berbahan dasar pigmen tanaman tersebut, melakukan banyak uji coba ke berbagai jenis bahan pangan yang lebih beragam, pengaplikasian ke produk non segar, dan tentu belum ada yang bisa menemukan label cerdas yang dapat menguantifikasi cemaran mikroba, atau kimia berbahaya, maupun tingkat oksidasi ketengikan yang ada pada bahan pangan rusak tersebut.
Diharapkan kreativitas anak muda yang berkarya pada bidang pangan dapat menjawab tantangan ini untuk kemajuan teknologi di Indonesia. Sebab Indonesia yang akan berperan dalam perdagangan dunia dan ekonomi global dalam waktu dekat bisa saja menjadi leader dalam teknologi kemasan pangan cerdas jika ditemukan lebih awal di Indonesia untuk dijadikan sebagai produk paten.
REFERENCE :
Lestari TRP. 2020. Penyelenggaraan Keamanan Pangan sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak Masyarakat sebagai Konsumen. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial | Volume 11, No. 1 Juni 2020 ISSN: 2086-6305 (print) ISSN: 2614-5863 (electronic) doi: 10.22212/aspirasi.v11i1.1523 link online: http://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/index.
Klingbeil DF, Todd ECD. 2019. Prevention and Control of Foodborne Diseases in Middle-East North African Countries: Review of National Control Systems. Int. J. Environ. Res. Public Health 2020, 17, 70; doi:10.3390/ijerph17010070.
Kumar V, Chandra S, Kumar K, Goyal SK, Kumar L, Kumar A. 2017. Perishable and non-perishable food products roles in environment- A review. South Asian J. Food Technol. Environ., 3(1):465-472 (2017) ISSN 2394-5168(Print), 2454- 6445(online).
Sevindik M, Uysal I. 2021. Food spoilage and Microorganisms. Turkish Journal of Agriculture – Food Science and Technology, 9(10): 1921-1924, 2021 DOI: https://doi.org/10.24925/turjaf.v9i10.1921-
1924.4658.
Singh S, Kirtiraj K, Gaikwad, Lee YS. 2018. Anthocyanin – A Natural Dye for Smart Food Packaging Systems. KOREAN JOURNAL OF PACKAGING SCIENCE & TECHNOLOGY Vol. 24, No. 3 167~180 (2018)
https://doi.org/10.20909/kopast.2018.24.3.167.
Listyarini A, Sholihah W, Imawan C. 2018. A paper-based Colorimetric Indicator Label using Natural Dye for Monitoring Shrimp Spoilage. IOP Conf. Series: Materials Science and Engineering 367 (2018) 012045 doi:10.1088/1757-899X/367/1/012045.