Sebuah kota tak sekadar tempat singgah atau bermukim.
Sebuah kota adalah juga sebagai sumber ilham penciptaan bagi pengarang. Inilah yang dibahas dalam program Dialog Sastra #63 di Bentara Budaya Bali (BBB) pada Minggu (9/12).
Dialog bertema “Kota Rekaan dan Nyata Dalam Karya Sastra” ini merujuk pada buku kumpulan cerpen berjudul “Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai” karya Raudal Tanjung Banua. Raudal hadir bersama Made Adnyana Ole.
Diskusi berangkat dari fenomena proses kreatif, pertemuan para sastrawan dengan kota-kota yang dikunjungi atau ditinggali dan kemudian mempengaruhi karya-karya mereka. Bagaimana sebuah kota rekaan dihadirkan dalam lapis demi lapis peristiwa. Sebagian nyata dan sebagian adalah sebentuk realitas imajiner.
Buku “Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai” (Akar Indonesia, 2018), berisi 15 cerpen yang menelisik dengan pengamatan mendalam bagaimana kota-kota di tanah air tumbuh dengan cepat lewat “proyek” pemekaran era otonomi.
Sejumlah provinsi/kabupaten, terbagi menjadi dua atau lebih, baik dengan pola penamaan mata angin (barat, utara, selatan, utara, barat daya, tengah), penamaan geografis (hulu, kuala, gunung, pulau) atau berdasarkan nama etnik terbesar maupun nama-nama yang selama ini dianggap historis-familiar.
Berbagai konflik mengemuka, sebagaimana dalam cerita, terkait adanya pemekaran dan pemekaran kota. Belum lagi bangkitnya kesadaran politik lokal dipicu tuntutan keadilan dan kesejahteraan. Sebutlah pengelolaan sumber daya alam, jumlah penduduk, rentang jarak-kendali dan hal-hal lain terkait kepentingan orang banyak.
Padahal, kesadaran ini tidak berbanding lurus dengan alasan sesungguhnya. Prosesnya tidak selalu mulus. Bahkan tak jarang berdarah-darah, sebagian menopang langgengnya dinasti penguasa lokal.
Menariknya, Raudal Tanjung Banua tidak menghadirkan kota-kota dalam tulisannya ini sekadar sebagai latar belakang cerita. Sebaliknya, dia menjadikannya latar depan atau subjek utama. Upaya eksperimental ini boleh dikata menawarkan kemungkinan baru dalam penciptaan karya sastra karena berada di luar konvensi gaya atau struktur cerpen umumnya.
Made Adnyana Ole membaca karya-karya Raudal yang terangkum dalam buku ini lebih dekat sebagai karya jurnalistik atau jurnalisme sastrawi. Namun, hal tersebut justru menjadi keunggulan tersendiri, sekaligus acuan kreatif bagi jurnalis maupun cerpenis.
Menurut Anyana hal-hal yang dapat dipelajari dari karya-karya Raudal ini adalah bagaimana menghadirkan detil. Penting pula seorang wartawan memiliki kemampuan imajinasi layaknya sastrawan. Bagaimana jurnalis tidak saja mampu menghadirkan fakta-fakta cepat atau yang hanya bersifat permukaan, tetapi lebih mendalam.
“Sementara bagi sastrawan atau cerpenis, kita bisa tahu bagaimana menggali data-data tentang sebuah kota dan latar belakangnya, semacam riset sederhana,” ungkap Adnyana.
Adapun Raudal Tanjung Banua secara sadar memilih untuk mempertautkan antara jurnalisme dan sastra, sebagai pendekatan baru dalam penciptaan karya cerpennya.
Ia menjelaskan, kota-kota yang ditulis dalam buku ini sebagian adalah kota-kota yang memang telah dijumpainya secara langsung. Namun, ada pula kota-kota yang hanya “ditemuinya” dalam dunia imaji, atau kota yang diangankannya. Ia menemukan pintu masuk dalam proses kreatif penciptaan karyanya ini lewat buku “Kota-Kota Imajiner” karya Italo Calvino.
Raudal, yang berasal dari Sumatera Barat, memang telah memiliki panggilan rantau dan kegelisahan terhadap kota-kota sejak lama. Sebelum kini menetap di Yogyakarta, ia juga sempat lama tinggal di Bali dan bergabung dengan Sanggar Minum Kopi di Denpasar. Ketertarikannya pada kota-kota kemudian diakselerasikan lewat tulisan catatan perjalanan dan cerpen.
Hal penting yang juga terungkap lewat diskusi yakni seorang penulis haruslah menjaga kedekatan psikologis dan memelihara kegairahan dan ketakjuban terhadap kota yang baru guna memicu elan kreatif penciptaan.
Diskusi yang berlangsung hangat ini dimaknai pula pembacaan nukilan cerpen karya Raudal Tanjung Banua oleh Iin Valentine dan Bebe Safira dari Teater Kalangan, juga Desi Nurani yang aktif bergiat di Komunitas Mahima.
Selain itu hadir pula sejumlah tokoh dan sastrawan, diantaranya Abu Bakar, Tan Lioe Ie, Made Sujaya, Sonia Piscayanti, Pranita Dewi, Mira Astra, Gede Gita Purnama, dan lain-lain. [b]