Orang-orang yang penuh kesadaran akan berusaha melatih diri, tidak bersenang dalam kelekatan. Mereka melepas kelekatan, layaknya kawanan angsa meninggalkan rawa-rawa. (Dhammapada, 91)
Karangan bunga beragam warna, bentuk, dan ukuran nampak berbaris rapi dari luar sampai ke dalam pintu gerbang Dhammadesa. Pengirimnya dari berbagai kalangan. Dari tokoh masyarakat sampai lembaga-lembaga tertentu. Atas nama perseorangan sampai atas nama pemerintah. Dari Bali bahkan juga dari luar Bali.
Sejak pukul 08.30 pagi, sejumlah mobil dan motor sudah parkir di sekitaran sana, di samping jalan raya. Pecalang adat dan anggota kepolisian dari Polres Baturiti membantu mengatur lalu lintas agar terkendali. Dalam balutan busana bernuansa putih dan masker yang menutupi mulut dan hidung masing-masing, umat dari seluruh Bali satu persatu datang memasuki areal Dhammadesa. Mereka hendak mengikuti rangkaian upacara kremasi Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna.
Itu pemandangan Jumat, 11 Juni 2021.
Di ruang Dhamma Sala, Ibu Sherli Mirani, seorang anggota dari Forum Ibu-ibu Buddhis Bali memberikan berbagai arahan dan gambaran tentang prosesi kremasi mendiang. Ia menyampaikan susunan acara, skenario pemberangkatan, iring-iringan prosesi, dan sebagainya. Ia juga mengingatkan para umat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan selama prosesi dilangsungkan.
“Kami imbau kepada Bapak Ibu, nanti barisannya berdua-berdua ya, jaga jarak tetap. Masker selalu dikenakan di setiap acara. Kemudian diusahakan jangan terlalu banyak berbincang-bincang, ya, karena itu akan mengganggu pernapasan Bapak/Ibu,” ujarnya.
Di atas lantai, para umat sudah duduk rapi menghadap altar mendiang yang dihiasi rangkaian bunga warna-warni. Ada yang bersila, ada juga yang bersimpuh. Namun, semuanya bersikap anjali saat Yang Mulia (YM) Bhikku Sangha, Yang Luhur Sammanera, dan Atthasilani memasuki tempat acara untuk memimpin puja bakti pemberangkatan menuju krematorium. Ada total 12 YM Bhikku Sangha, YL.
Samanera dan Atthasilani yang turut hadir, yaitu YM. Dhammasubho, MT, YM. Sukitho, MT, YM. Tejapunno, MT, YM. Siriratano, MT, YM. Saccadhammo, Thera, YM.Jayamedho, Thera, YM, Bhikkhu Dhammaratano, YL. Pannyaratano, YL. Samanera Hemaratano, YL. Samanera Putu, Atthasilani Ariyacarini, Atthasilani Sumedadirani.
Terlebih dahulu, Yang Mulia Bhikku Sangha menyalakan lilin dan dupa, barulah puja bakti dimulai, diawali dengan pembacaan Namakhara Patha. Puja Katha, Aradana Tisarana Atthanggasila, Paritta Avamanggala oleh YM. Bhikkhu Sangha, (diakhiri Pemercikan Tirta Paritta), meditasi, dan diakhiri dengan Namakhara Penutup. Suasana khidmat dapat dirasakaan saat upacara puja bhakti berlangsung. Setiap doa, puja, dan mantra dirapalkan dengan tulus. Menghanyutkan siapa saja yang mendengarnya ke dalam suasana khusyu, tenang, dan damai.
Upacara puja bhakti yang berlangsung sekitar 45 menit tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna menuju Krematorium Kerta Yadnya yang berlokasi di Kuburan Umat Buddha Yayasan Kertha Yadnya, Baturiti. Setelah memberikan penghormatan, peti mendiang dipindahkan ke atas mobil pemberangkatan. Para umat membuat barisan sesuai tahapan prosesi. Umat yang bertugas membawa iring-iringan dan sarana ritualnya mengambil posisi masing-masing.
Pembawa Hio Lo (lentera), foto mendiang, dan sepasang payung berbaris paling depan. Di belakangnya menyusul pembawa tirta paritta, pembawa lilin, pembawa bunga atau wewangian, dan pembawa bunga dalam vas. Lalu, keluarga inti dari mendiang sambil membawa rangkaian bunga lainnya. Juga kendaraan yang membawa peti mendiang.
Di belakangnya, para umat yang hadir juga berbaris rapi dua banjar, diawali dengan barisan Pandita Magabudhi, barisan Forum Ibu-ibu Buddhis, barisan Patria Bali, barisan Pengurus Yayasan dan Dayaka Sabha Vihara, barisan keluarga lainnya, dan barisan pelayat (handai taulan).
Di tengah Jalan Raya Singaraja – Denpasar, mereka berjalan bersama-sama menuju tempat perabuan yang jaraknya tak jauh dari Dhammadesa. Hanya terpaut 1 kilometer. Waktu tempuh sekitar 10 menit. Para pecalang, petugas keamanan adat, bersama petugas kepolisian siap mengatur lalu lintas yang cukup ramai.
Kedua arah jalur kendaraan sudah diberhentikan sekitar 200 meter dari gerbang Dhammadesa dan dari jalan masuk menuju Kuburan Umat Buddha Yayasan Kertha Yadnya. Tujuannya tentu saja agar para umat tetap dapat melanjutkan prosesi pemberangkatan mendiang dengan damai dan tenang.
Saat memasuki areal Kuburan Umat Buddha Yayasan Kertha Yadnya, sayup-sayup suara angklung khas ritual Ngaben umat Hindu di Bali terdengar mengalun. Seolah-olah menyambut mendiang dan iring-iringannya dengan lirih.
Di dekat krematorium, sekeha angklung dari Desa Adat Pacung melantunkan salam perpisahan dengan lirih. Setibanya di sana, peti mendiang diturunkan, kemudian ditempatkan di depan tempat perabuan. Perwakilan keluarga selanjutnya berdoa kepada Dewa Bumi, kemudian sembahyang di depan altar memberikan penghormatan kepada mendiang.
Puja upacara kremasi kemudian dilangsungkan. YM. Bhikkhu Sangha kembali menyalakan lilin dan dupa, memimpin jalannya prosesi. Diawali dengan Namakhara Patha. Puja Katha. Paritta Avamanggala oleh YM. Bhikkhu Sangha, dan Anusasana, emercikan Tirta Paritta, tabur bunga di peti mendiang oleh keluarga duka, kemudian dilanjutkan dengan pelepasan burung.
Ada beberapa ekor burung merpati dan burung tekukur yang dilepaskan, berwarna putih, hitam, dan abu-abu. Mereka terbang ke langit bebas, ke dahan-dahan pohon terdekat, ada juga yang masih berada di sekitar tempat krematorium, seolah masih ingin mengikuti prosesi kremasi sampai akhir.
Pelepasan burung serangkaian prosesi kremasi tersebut menjadi lambang lepasnya jiwa menuju alam surga. Saat itu juga, perwakilan dari segenap keluarga duka mengucapkan terima kasih kepada para umat dan seluruh pihak yang sudah menyempatkan diri, hadir dan mengikuti rangkaian prosesi, memberikan penghormatan kepada mendiang, dan berbelasungkawa serta memberikan berbagai bentuk dukungan kepada keluarga duka. Puja acara kemudian ditutup dengan bersama-sama mengucapkan Namakhara Penutup.
Peti mendiang kemudian dimasukan ke tengah perabuan. Api pun disulutkan. Prosesi kremasi akhirnya dilangsungkan. Sekeha angklung kembali melantunkan iringan perpisahan. YM Bhikkhu Sangha kembali menuju Dhammadesa untuk menerima Dana Makan Siang. Di areal Kuburan Umat Buddha Yayasan Kertha Yadnya, keluarga duka dan para umat juga menikmati makan siang.
Pemercikan Tirta Paritta kepada abu mendiang Bunda Erlina menjadi penghujung prosesi kremasi hari itu. Abu kemudian ditempatkan pada sebuah guci dan disemayamkan kembali di Dhammadesa.
Penggerak Umat
Jumat, 4 Juni 2021, pukul 05.00 WITA, Bunda Erlina Kang Adiguna berpulang. Sebelum diberangkatkan ke Dhammadesa, Baturiti, jenazah mendiang terlebih dahulu disemayamkan di Vihara Buddha Sakyamuni, Denpasar. Sejak hari itu, selama tujuh hari ke depan sampai hari kremasi tiba, keluarga duka melangsungkan upacara avamanggala atau upacara kedukaan. Para umat silih berganti hadir memberikan penghormatan. Satu persatu karangan bunga yang berisi ucapan berbelasungkawa dan doa-doa berdatangan.
Tak sedikit juga tokoh-tokoh masyarakat yang meluangkan waktu untuk hadir ke sana. Seperti Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Bali Dr. Komang Sri Marheni, S.Ag., M.Si, Ketua Dewan Perkawilan Rakyat Daerah Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama, S.Sos., M.Si, Dirjen Bimas Buddha Caliadi S.H., M.H., Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan masih banyak lagi.
Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna bersuamikan Putu Adiguna. Pasangan ini memiliki 5 anak, terdiri dari 2 perempuan dan 3 laki-laki. Yakni Liliek Herawati, Putu Agus Antara, Arief Wijaya, Yuliana Kanaya, dan Cahyadi Adiguna. Semasa hidup, mendiang merupakan seorang perintis perusahaan garmen ternama di Bali, Mama & Leon.
Dari sanalah kemudian mendiang lebih dikenal dengan nama Mama Leon oleh sebagian besar masyarakat Bali. Saat acara prosesinya dilangsungkan, tidak sedikit masyarakat Bali yang turut mengucapkan bela sungkawa lewat akun media sosialnya. Di Twitter, akun bernamakan Romeo India Alpa @romeoindiaalpha menulis “Berarti tadi kalo jadi ke baturiti bisa ketemu ya … mantan bos yang luar biasa, semoga mendapat tempat terbaik.”.
Ada juga akun dengan nama pengguna Bulan @trytodealwithit menulis “Ibu Erlina dan saya seharusnya bertemu minggu ini karena dia adalah salah satu klien saya…. Belasungkawa terdalam saya untuk keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai.”.
Di samping dikenal sebagai seorang pengusaha di bidang garmen, mendiang merupakan salah satu tokoh Buddhis Bali yang sejak dulu aktif melakukan kegiatan sosial keagamaan dan pengembangan Dhamma. Tak hanya di Bali, tapi juga di luar Bali, bahkan di luar negeri, seperti Myanmar dan sekitarnya.
Di Bali sendiri, mendiang menjadi penggerak dan motivator bagi para umat, seperti menjadi pembina organisasi Buddhis, penasehat Forum Ibu Buddhis (FIB) Bali, Ketua Umum Yayasan Kertha Yadnya, Pelindung di Vihara Buddha Sakyamuni, serta Ketua Kehormatan di Vihara Buddha Guna Nusa Dua.
Sebagai penggerak, mendiang mendorong para umat agar senantiasa meningkatkan harkat martabat pandita dan mengangkat harkat dan martabat Magabudhi, menjadi wanita berkarakter Buddhis sebagai Guru Utama dalam keluarga, dan menjadi generasi muda yang kokoh dalam saddha, bermoral, sukses dan mandiri. Mendiang juga menjadi penggagas acara Sebulan Pendalaman Dhamma (Ceramah Dhamma dan Latihan Atthasila) yang digelar setiap menyambut Peringatan Tri Suci Waisak.
Ditjen Bimas Buddha Caliadi S.H., M.H. saat datang ke Dhammadesa untuk memberikan penghormatan terakhir pada 6 Juni 2021 kemarin menyebut mendiang sebagai seorang Srikandi Buddhis. “Tidak lupa juga atas nama pemerintah dan pribadi saya menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada salah satu Tokoh Buddhis Nasional, kepada Alm. Ibu Erlina Kang Adiguna, atas segala bentuk pengabdian dan dukungannya kepada Pemerintah, khususnya di bidang pembangunan keagamaan, kerukunan umat Buddha dan antarumat beragama, Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia,” ujarnya.
Mendiang juga aktif memberikan ceramah keagamaan di berbagai tempat, seperti dalam acara Dhamma Talk 2019 yang dilaksanakan oleh DPC Patria Denpasar. Pada acara tersebut, Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna bercerita tentang dirinya yang menghadapi sebuah penyakit yang sangat mematikan hanya dengan meyakini Dhamma. Tahun 1993, kanker Rahim hampir stadium tiga menyerang mendiang. Dokter yang memeriksanya meminta untuk melakukan operasi, namun beliau menolak, memutuskan untuk menghadapi kenyataan yang dialami.
Untuk melupakan penyakit yang dideritanya, mendiang kemudian giat melakukan kegiatan pengembangan Dhamma dan kebajikan, serta belajar meditasi, menyelam lebih dalam kepada Dhamma, Ajaran Sang Buddha, berpegang teguh pada apa yang beliau yakini, bahwa Sang Tri Ratna akan memberikan jalan terbaik. Akhirnya, mendiang bermeditasi selama 40 hari secara terus menerus, pagi dan sore hari. Paritta suci selalu dibaca. Tiga cangkir air yang dipserbahkan di altar Sang Buddha juga selalu diminum olehnya sambil merapalkan doa-doa yang sama, mengucapkan jani dan tekadnya. Tahun 1995, dokter yang memeriksa mendiang sebelumnya dibuat kaget dan terheran-heran, kanker yang pernah diderita hilang begitu saja. Mendiang divonis sembuh.
“Bukan karena saya minum air, atau karena saya meditasi saya bisa sembuh, tapi karena saya memiliki tekad dan keyakinan yang kuat terhadap Dhamma. Saya tidak pernah berhenti. Saya terus berusaha mengamalkan Dhamma, melakukan kebaikan. Sebenarnya penyakit itu tidak disembuhkan dengan begitu gampang, namun Dhamma ini memberikan saya kekuatan. Uang tidak bisa menyembuhkan penyakit, biarpun kemo dis mati ya mati. Namun Dhamma ini benar-benar menjadi obat mental bagi saya. Saya bisa mengikis kesombongan saya, dan saya harus membuat diri saya lebih lembut,” ujar mendiang saat itu.
Sayangnya, kanker kembali menyerang. Mendiang lagi-lagi dinyatakan mengidap kanker. Kala itu, kanker payudara hamper stadium tiga. Dokter kembali meminta untuk mengambil operasi dan kemoterapi. Biaya yang ditaksir sekitar Rp 1,2 milliar. Namun, keyakinan dan tekadnya untuk mengabdi kepada Dhamma tidak goyah begitu saja.
Sama seperti sebelumnya, mendiang tidak mau mengambil operasi ataupun kemoterapi. Uang Rp 1,2 milliar yang seharusnya digunakan untuk tindakan medis tersebut dibawa ke Myanmar dan didanakan di berbagai tempat di sana. Mendiang menghabiskan uang tersebut untuk berdana. Di sana mendiang kembali melakukan meditasi, tak pernah menyerah dan tak pernah berhenti meyakini Dhamma. Lagi-lagi, kanker itu hilang.
Mendiang dan Kesenian Bali
Semasa hidupnya, mendiang juga diketahui kerap merayakan hari-hari besar dengan menciptakan karya seni, berkolaborasi dengan Dewa Ayu Wedanaasih yang menjadi salah satu seniman Bali. Sebagai pemilik Sanggar Seni Cahya, Dewa Ayu sering diajak bekerja sama dalam hal seni sejak tahun 1996, baik dalam perayaan hari raya Buddhis, ataupun acara-acara yang berkaitan dengan ulang tahun perusahaan garmen yang dimiliki. Ia juga mengatakan mendiang Bunda Erlina Kang Adigun adalah sosok yang sangat kreatif.
“Kelahiran Tari Puja juga menjadi inspirasi dan penyemangat dari Baliau,” ujarnya.
Di penghujung tahun 2019 kemarin, sanggarnya diberi kesempatan untuk tampil membawakan Tari Puja di India. Seluruh penarinya adalah umat Buddha. Pada dasarnya, tari Puja yang diciptakan memang sudah dikonsep agar bisa ditarikan di mana saja. Tari Puja menjadi sebuah tarian yang universal, dapat menyesuaikan dengan tempat dan situasi, atau ditarikan oleh orang yang berbeda. Dalam hal tersebut, tentu saja ada penyesuain komposisi dan pola karya.
“Penampilan di India ini berkat dukungan Bu Erlina dan umat Buddha Bali,” ujar koreografer yang juga ahli dalam tata rias tersebut.
“Bu Erlina adalah pecinta seni dan budaya khususnya seni Bali, dia diluar saya dan istri sebagai umat Hindu Bali. Sementara dia tidak memiliki partisi tentang hal itu. Kami sering diajak mengunjungi pura untuk mepunia, maupun kegiatan sosial lainnya. Ibu suka berbagi dengan siapa saja dan tidak pernah melihat identitas seseorang,” kenangnya.
Mendiang dan Sejarah Vihara Buddha Sakyamuni
Nama mendiang juga ada dalam sejarah berdiri Vihara Buddha Sakyamuni Denpasar. 29 Tahun yang lalu, pada tanggal 16 Desember 1992, mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna dan keluarga meminjamkan rukonya di Pertokoan Jalan. Diponogoro Denpasar untuk dijadikan Cetiya Buddha Sakyamuni, sekaligus menjadi sekretariat DPD Gemabudhi dan DPD Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia) Provinsi Bali. Cetiya kemudian diperluas menjadi Mahacetiya Buddha Sakyamuni berkat dana Buddha Rupang dari Sathani Ketua Pemuda Buddhis Theravada Thailand. Saat itu, Bapak Merta Ada menjadi Ketua Dayaka Sabha untuk pertama kali.
Tanggal 25 Januari 1995, Mahacetiya Buddha Sakyamuni menjadi tempat diresmikannya Forum Ibu-ibu Buddhis (FIB). sejak itu, FIB bermitta Dhamma dengan Mahacetiya Buddha Sakyamuni Denpasar. Ide untuk membangun vihara kemudian muncul, namun lahan menjadi kendala utama saat itu. Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna lantas berunding dengan keluarga dan akhirnya sepakat untuk berdana lahan seluas 36.5 are terletak di Jalan Gunung Agung Lk. Padang Udayana 3A. Tentu saja, niat baik tersebut disampaikan kepada Alm. Y.M. Girirakkhito Mahathera dan Beliau berkenan menerima saat Dhammashanti Waisak (50 Tahun Indonesia Emas) yang disaksikan pula oleh Bapak I.B. Oka (Gubernur Bali) dan Bapak Ketut Pasek (Dirjen Bimas Hindu dan Buddha).
Aktivitas Dhamma semakin meningkat sejak saat itu. Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna meminjamkan Gedung di sebelah lahan yang didanakan. Tanggal 30 April 1996, Mahacetiya Buddha Sakyamuni kemudian pindah ke gedung tersebut dengan Upacara Abhiseka Buddha Rupam dan berganti nama menjadi Vihara Buddha Sakyamuni.
Tahun-tahun selanjutnya, Vihara Buddha Sakyamuni selalu mengalami perkembangan dan pembangunan hingga menjadi Pusat Informasi Buddhis Theravada di Bali seperti sekarang ini. Di vihara tersebut, mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna juga menggagas Sekretariat Bersama Organisasi Buddhis Theravada Bali dan memberikan fasilitas gedung yang lengkap. Sekretariat tersebut menjadi “Kantor Dhamma” untuk persaudaraan Organisasi Dhamma menyatukan Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) Bali.
Mendiang dan Sejarah Vihara Dhammadana
Mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna juga menjadi tokoh penting berdirinya Vihara Dhammadana di Baturiti. Sejarah Vihara Dhammadana bermula dari adanya perkumpulan Cing Bing Baturiti yang berganti nama menjadi Perkumpulan Suka Duka Kertha Yadnya Baturiti di bawah naungan Desa Adat Baturiti. Sekitar tahun 1980, mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna bersama Bapak Kangen Disastra masing-masing berdana lahan seluas 10 are. Di atas lahan tersebut, para umat di Baturiti membangun sebuah gedung serba guna yang diberi nama Gedung Kertha Yadnya. Pembangunan gedung tersebut juga mendapat dukungan dari warga sekitar.
Pada 9 September 1991 atas kesepakatan para umat, maka Perkumpulan Suka Duka Kertha Yadnya Baturiti berubah menjadi Yayasan Kertha Yadnya Baturiti. Yayasan tersebut menjadi wadah sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan dan non politik bagi para umat di Baturiti. Melalui diskusi dengan tokoh buddhis seperti Bapak Merta Ada dan Dhamma Jiyoti Kassapa, pemikiran untuk mendirikan tempat ibadah kemudian muncul. Salah satu alasannya karena ajaran Buddha yang pada saat itu masih belum begitu banyak dipahami di Bali.
Gedung Kertha Yadnya tersebut kemudian diubah menjadi Mahacetiya Dhammadana yang diresmikan 17 Mei 1992. Tiga tahun kemudian, mendiang Bunda Erlina Kang Adiguna sekeluarga menyiapkan lahan pengembangan dengan membeli tanah seluas 30 are yang berada di depan lahan berdirinya Mahacetiya Dharmadana Baturiti. Dengan demikian, tentu saja diharapkan, akan lebih banyak aktivitas dhamma yang bisa dilaksanakan untuk perkembangan mental dan spiritual Umat Buddha di Baturiti khususnya dan di Bali pada umumnya.
Bangunan Serba Guna yang dijadikan Bangunan Dhammasala Mahacetiya Dhammadana Baturiti pun akhirnya berusia lebih dari 20 tahun sejak pertama kali didirikan. Melihat kondisinya, Yayasan Kertha Yadnya kemudian berinisiatif untuk melakukan renovasi total. Di samping pemugaran, hal tersebut juga dilakukan untuk memenuhi aspirasi para umat di Baturiti menjadikan Mahaceitya Dhammadana sebagai sebuah vihara yang representatif, representatif, berfungsi dengan baik, menampung aktivitas Buddha Dhamma di Baturiti pada khususnya dan mendukung aktivitas Buddha Dhamma di Bali pada umumnya. [b]