Sekarang mau belanja cukup bermodal gadget dan uang digital. Semakin mudah menemukan beragam toko di dunia online. Antusias pembeli online yang semakin meningkat, turut menghidupkan semangat penjual online pula.
Pasar online semakin terbentuk, mulai dari penyedia produk hingga jasa. Pesatnya perkembangan pasar sebanding dengan pesat permasalahan yang muncul di dunia bisnis online. Salah satunya pengembangan pelaku ekonomi kreatif yang sedang didukung oleh Badan Kreatif Denpasar. Dalam diskusi daring menuju AJW 2022 bertema Usaha Rintisan (Start-up) dan Keamanan Digital.
Sebagai badan yang mendampingi usaha rintisan, Ras Amanda Gelgel, sebagai bagian dari bidang kerjasama di Bkraf menceritakan ragam rintangan yang berkembang ketika memasuki pasar digital. Selama mendampingi pelaku start-up, Bkraf mencoba membantu bagaimana para pelaku ekonomi kreatif ini bermain di dunia digital.
Dengan kondisi tidak semua pelaku ekonomi kreatif anak muda yang mudah paham dengan dunia digital. Bagaimana e-commerce itu berjalan, misalnya pasca pembayaran. Banyak yang salah sangka bahwa ketika masuk perdagangan digital, uang akan datang dengan sendirinya, pembeli akan datang dengan sendirinya.
“Masih ada anggapan bahwa teknologi adalah jawaban dari semuanya. Semua yang masuk ke dunia digital maka semua permasalahan akan selesai. Padahal permasalahan akan bertambah, tantangan akan meningkat, tentu saja pasar lebih meluas,” tutur Amanda.
Selain rintisan usaha dengan produk berbasis budaya dan seni Bali, pengembangan jasa pembuatan website yang didalami oleh mahasiswa ITB STIKOM Bali juga turut mengalami gejolak persoalan digital. Kalau di STIKOM Bali karena kebanyakan anak IT, maka lebih banyak yang membangun start-up di bidang IT. Kebanyakan start-up teknologi informasi seperti jasa pembuatan website, hosting, dan pembuatan video.
“Untuk membuka start-up berawal dari hal yang diahlikan pada bidang dtertentu. Sehingga bisa menggunakan itu menjadi peluang usaha,” ungkap Zulfikar, salah satu mahasiswa ITB STIKOM Bali.
Indikator untuk menjamin keamanan data pada pelaku start-up STIKOM Bali biasanya sebelum dipublikasi, website yang dibuat akan diproses oleh bagian mahasiswa yang paham koding untuk dicek.
“Biasanya untuk cek produk yang dibuat akan kerjasama dengan mahasiswa yang berkecimpung di dunia koding. Jadi sebelum publikasi akan uji coba. Dari sana kita bisa lihat seberapa aman sistem keamanan kami,” kata Zulfikar.
Di sisi lain, Bkraf mencoba mendorong literasi keuangan digital para pelaku ekonomi kreatif. Untuk memberitahukan bagaimana mengelola dompet digital. Apabila masuk ke e-commerce artinya bagaimana melibatkan kreativitas.
Jika biasanya yang sering terdengar, korban di dunia perdagangan digital adalah pembelinya. Namun, Amanda memberikan pernyataan yang berbalik. Dalam hal keamanan digital, pelaku ekonomi kreatif adalah sebagai produsen. Yang harus menjaga keamanan konsumen, dirinya sendiri dan data konsumen.
Ada banyak kisah yang mengaku ditipu oleh pedagang di dunia digital, tapi kalau boleh dibalik, banyak pelaku atau pedagang yang ditipu oleh konsumen pembelinya. Ada yang membeli ratusan ribu tapi tidak dibayar pembelinya. Itu yang terjadi di dunia rintisan usaha dukungan Bkraf.
“Ketika itu terjadi pada pedagang kecil, maka bisa mematikan usaha rintisan mereka,” sebutnya.
Isu kedua yang sering terjadi pada para pelaku Ekraf adalah pencurian identitas. Pengembangan usaha di Bali yang banyak berupa barang berbasis seni dan budaya Bali. Yang terjadi banyak pencurian foto barang atau nama lapak yang sudah dikenal di platform digital. Para oknum biasanya meimiripkan produk yang dibuat oleh pelaku start-up Ekraf.
Kata Amanda yang sering dan sudah terjadi pada start-up Bkraf adalah pencurian ide atau HAKI. Para pelaku ekraf ini lebih fokus pada seni dan budaya. Kalau jualan baju, dengan motif tertentu. Tidak lama kemudian dengan model yang dan motif sama bisa dijual dengan harga yang lebih murah oleh orang lain. Padahal idenya dari pelaku ekraf pertama.
Apa yang dilakukan setelah kondisi itu terjadi?
“Soal pencurian identitas dan ide, kami menyarankan untuk menyampaikan peringatan bahwa yang asli ada di pelaku ekraf dengan mencantumkan di about us. Lebih banyak advokasi, tapi tidak memperpanjang kasus,” tutur Amanda antisipasi yang dilakukan.
Begitu juga dengan Zulfikar menghadapi persoalan di pasar digital. Ia lebih banyak mengadakan kerjasama dengan pihak luar yang lebih ahli soal keamanan data. Agar keamanan datanya lebih terjamin untuk cek ada kebocoran tidak di bagian databasenya.
“Sehingga kami akan tindak lanjuti dulu sebelum dipublikasi keluar,” ungkap Zul.
Soal Kesadaran
Lalu, kenapa ini bisa terjadi?
Banimal, dari SAFEnet mengatakan ada anggapan bahwa di internet banyak yang merasa, apa yang ada di internet adalah milik bersama. Itu hukum umum. Sehingga pelaku tidak merasa sedang mencuri karya orang, membajak.
“Banyak orang yang belum sampai ke sana. Misalnya desain atau foto. Banyak yang ambil foto dengan gampang. Ga bisa didownload ya discreenshot. Ada banyak jalan. Jarang ada yang ingat apa yang ada di internet adalah milik orang lain,” tegas Imal.
Di dunia digital apapun bisa terjadi. Apa yang bisa diunggah, pasti bisa didownload. Bagaimana itu caranya, selalu ada cara yang dilakukan. Bagaimana data bisa bocor? Banyak yang tidak menyadari bahwa ada banyak data yang dimiliki bisa diambil/dicuri.
Kalau dulu mungkin tinggal unggah-unggah saja fotonya. Ketika banyak yang menjiplak, mulai muncul kebutuhan untuk menambahkan watermark. “Biasanya kejadian dulu. Tapi setelah diisi watermark, misalnya selalu ada jalan untuk menghilangkan. Internet selalu menyenangkan untuk dikulik ketika diklik,” tambahnya.
Yang harus diantisipasi aplikasi yang berbasis digital, harus memperhatikan dengan sadar pada diri sendiri. Bahwa ada kemauan untuk mengakui bahwa karya itu milik saya pribadi atau ada hasil karya orang lain di sana. Kalau itu sudah, baru disampaikan ke orang lain. Budaya itu akan terbangun dengan sendirinya.
Selanjutnya akan berkembang. Kelihatannya seperti rumit. Karena pengguna hanya memposisikan diri sebagai pengguna saja. Mengaku tidak paham apa yang terjadi dibalik yang digunakan. Mengaku gaptek.
“Padahal tidak ada yang namanya gaptek. Dulu zaman SMS kita merasa itu ribet karena terbiasa telfon umum, begitu juga generasi teknologi selanjutnya,” imbuh Imal.
Rasa ingin tahu dan kemampuan orang untuk teknologi itu tinggi. Jadi tidak ada orang yang namanya gaptek, hanya orang yang udah duluan tahu dan belakangan tahu.