Memperingati Hari Penghapusan Diskriminasi Sedunia 21 Maret, Ikatan Korban Napza (IKON) Bali menggelar aksi damai Minggu (30/3) hari ini di Lapangan Puputan Renon Denpasar. Aksi yang dimulai sekitar pukul 16.00 Wita ini adalah rangkaian beberapa kegiatan yang dilakukan IKON sebagai seruan untuk menghapus stigma, diskriminasi dan kekerasan pada korban narkotika, obat-obatan, dan zat adiktif lain (Napza) .
Persiapan dimulai sejak pagi di sekretariat IKON Bali yang juga kantor Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Dengan berkostum kaos hitam bertuliskan “Human Right For All” para korban Napza berkumpul berbaur bersama masyarakat yang mendukung kegiatan Aksi Damai kali ini. Mereka kemudian bersama-sama menuju tempat aksi di Lapangan Renon yang biasa dipakai warga Denpasar untuk berolahraga.
Sekitar 50 korban Napza itu kemudian mengepalkan tangan ke atas serta suara lantang berkumandang menyatakan hak-hak pecandu. Dalam salah satu tuntutannya, I Gusti Ngurah Wahyunda, Koordinator IKON Bali menyatakan mereka menginginkan agar vonis rehabilitasi segera diterapkan pada pecandu Napza.
Aksi damai itu ditandai pula dengan aksi simbolik. Di sekitar lokasi aksi damai itu dipasang puluhan bahkan mungkin ratusan pasang sepatu pria wanita dijejer terpajang sebagai simbol ungkapan bisu. ”Sepatu-sepatu ini seharusnya masih dipakai kalau pemakainya masih hidup. Sayangnya, karena kebijakan yang tidak berpihak pada kami, maka sepatu-sepatu ini tidak sampai habis dipakai oleh teman-teman kami,” kata Wahyunda pada wartawan.
Menurut Wahyu pemilik sepatu-sepatu tersebut adalah pecandu-pecandu yang harus meninggalkan cita-cita dan terampas cita-citanya akibat stigma, diskriminasi dan kekerasan yang tak pernah surut menghujam dera di tubuh para pecandu. ”Apakah stigma, diskriminasi dan kekerasan akan terus berlanjut dan apakah perlu sepatu-sepatu itu akan terus bertambah?” tanya Wahyu.
Aksi damai kali ini juga tidak saja sebatas memajang sepatu dan aksi bersih-bersih tetapi juga menggelar teatrikal sebagai ekpresi bahwa pecandu dan ODHA tidak pernah diberi perlindungan HAM. Hal ini pula menjadi inspirasi IKON untuk membuat teatrikal yang bukan saja sebagai sarana untuk menyampaikan hak-hak mereka yang dilanggar tetapi juga sarana untuk menghibur masyarakat sekitar serta yel-yel khas IKON Bali.
Diskriminasi yang dialami pecandu tersebut, menurut Wahyu, terjadi misalnya pada layanan kesehatan. Layanan kesehatan seperti rumah sakit masih melakukan penolakan pada pasien karena pasien tersebut membuka statusnya sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Padahal, lanjutnya, di dalam Perda no. 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Bali Pasal 14 berbunyi, “Penyedia layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan pada ODHA tanpa diskriminasi.”
Menurut aturan itu pula, gubernur berwenang memberikan sanksi administratif seperti lisan teguran bahkan pencabutan izin jika penyedia layanan publik melanggar ketentuan pasal 14 tersebut. Sanksi bisa berupa denda bahkan kurungan enam bulan. ”Namun pada kenyataannya hal itu dibiarkan tanpa ada tindakan. Seyogyanya peraturan ini tidak saja ditulis, dibaca, dan ditandatangani tapi bagaimana pemerintah mulai memenuhi, menghormati dan melindungi masyarakatnya untuk ke arah lebih baik serta berperan serta untuk kesejahteraan dan kesehatan masyarakat tanpa melihat latar belakang ODHA,” tegas Wahyu.
IKON Bali sendiri adalah kelompok yang memperjuangkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi pecandu maupun mantan pecandu Napza. Kelompok ini didirikan pada 8 September 2006 di Denpasar Bali oleh mantan pecandu maupun mereka yang masih aktif dan sedang dalam masa pemulihan dari kecanduannya.
Adapun aksi damai tersebut dilakukan agar masyarakat mengetahui seperti apa perjalanan yang dihadapi pecandu selaku korban. ”Kami masyarakat mau membantu serta berperan serta mengurangi diskriminasi pada pecandu. Sebab kekerasan, diskriminasi dan stigma sampai saat ini masih menjadi momok yang menakutkan buat pecandu,” pungkas Wahyu yang mantan pecandu. [b]