Maka GMO akhirnya menjadi suatu dualitas yang bernas: asing sekaligus familiar, aneh sekaligus wajar.
Sejak dua tahun lalu, nama Gabber Modus Operandi (GMO) berseliweran di kancah permusikan bawah tanah Denpasar hingga mancanegara. Digawangi Kasimyn yang berperan sebagai produser musik dan Ican Harem sebagai provokator sekaligus penari, GMO menawarkan energi.
GMO membunyikan jenis-jenis musik elektronik bertempo cepat seperti gabber dan hardcore techno, memolesnya dengan nuansa noise dan grindcore, kemudian memadukannya dengan musik tradisional lokal Bali dan Jawa yang berlaras pelog dan slendro, juga musik koplo. Maka GMO akhirnya menjadi suatu dualitas yang bernas: asing sekaligus familiar, aneh sekaligus wajar.
Menilik tampilannya, GMO pun tak ragu-ragu memperlihatkan apa yang kerap kali diolok sebagai sesuatu yang kampungan. Dalam akun Instagramnya, GMO bahkan menyebut diri sebagai “Post-Alay Holistic Sound Healing.” Terkonfirmasi dalam sebuah wawancara, GMO justru ingin merayakan budaya “alay” secara terang-terangan. Sebab bukankah berjoget dengan musik dangdut dan koplo memang begitu seronok dan seringkali membuat ekstase? Mengapa harus merasa bersalah untuk menikmati hal yang membuat kita senang?
GMO telah merilis dua album penuh, Puxxximaxxx (2018) dan HOXXXYA (2019), dan sudah melalui berbagai perjalanan melompati batas-batas negara untuk unjuk keriuhan musiknya. GMO juga menjadi salah satu penampil dalam Malam Puncak Anugerah Jurnalisme Warga 2020. Simak wawancara Balebengong bersama Kasimyn dan Ican Harem tentang membawa rumah dalam setiap pertunjukan, meme dan shitposting, serta strategi bertahan dalam masa pandemi.
Bagaimana sejarah singkat terbentuknya GMO?
Kas: Gara-gara gigs di Denpasar, acaranya Denpasar Kolektif yang membuat kami merasa terhubung lalu menciptakan musik elektronik yang terburu-buru. Selanjutnya, mungkin itu jadi formula yang akhirnya bisa kami tawarkan.
Sebelum bergabung menjadi GMO, bagaimana kiprah masing-masing dari kalian?
Kas: Saya dulu punya band di Jakarta, ketika masa kuliah. Dulu kalau kuliah enggak ngeband ya enggak cool, kan. Hahaha.
Ican: Kalau aku lebih ke visual artist daripada bermusik, tetapi menggunakan musik sebagai inspirasi visual art. Dulu aku juga ngelakuin punkformance, pertunjukan musik dengan estetika musik underground. Contohnya, aku bikin Cangkang Serigala, sebuah grup black metal boy band di Jogja. Kurang lebih seperti itu lah.
Apa yang membuat kalian terus berjalan di jalur musik sampai saat ini?
Kas: Kami berdua antusias di musik. Di luar dari membuat musik, kami juga mendengarkan musik. Kami menikmati banyak musik dan tidak terbatas sekat apapun. Mau underground sampai upperground, Siti Nurhaliza sampai Slayer, mau noise, apapun lah. Nah, itu sejajar dengan musik yang coba kami bikin, kami membuat bias antara level “gorong-gorong”, “permukaan”, dan “kahyangan” dalam skena musik. Hal yang pasti, musik itu sudah terlalu jadi bagian hidup kami. Mau tidur dengar musik, bangun dengar musik, di pesta dengar musik, bahkan dari banjar pun yang terdengar juga musik.
Ican: Soal koneksi satu sama lain juga berpengaruh. Kalau kami berdua ngobrolin musik itu bisa berjam-jam dan itu akan terus ada dialognya, keresahannya.
Kas: Selain itu, kami dan musik kami juga acak sekali, dalam artian enggak ada arah dan trajektori yang pasti. Mungkin makin ke sini kami merasa makin mencari konteks dalam musik itu sendiri.
https://www.youtube.com/watch?v=Gnsjcu6G8E4
Bagaimana sejarah musik kalian sebagai GMO? Apa memang sejak awal menggunakan format seperti sekarang?
Ican: Hal yang pasti, ini proyek yang dimulai dengan sangat tidak serius dan jadi sangat serius.
Kas: Maksudnya, ketika kami menampilkan karya-karya awal kami, itu memang untuk having fun, bersenang-senang saja.
Ican: Dan having fun itu sampai level spesifik cuma kami berdua saja yang mengerti.
Kas: Sesederhana dia mengirim video, “Aku lagi di Pasar Kreneng, nonton tukang obat. Yuk kita bikin musik tentang tukang obat?” Maksudnya bukan bikin musik tentang tukang obat, tapi rap-nya tukang obat itu kami berikan porsi yang sama dengan penyanyi hiphop kawakan, begitu misalnya. Menurut kami, kita bisa menarik konteks ini dengan ini art form yang kita suka. Akhirnya aku coba bikin beat, dia coba masukkan racapan-racapan, jadilah lagu.
Ada unsur bebunyian yang lokal di musik GMO. Apakah kalian pernah memperdengarkan musik kalian ke seniman atau musisi tradisi?
Kas: Pernah. Responsnya ada yang suka, ada yang enggak, tapi kita enggak peduli, sih. Selagi saya melihat guru-guru permusikan saya suka, itu sudah cukup.
GMO membawa nuansa jathilan dalam musik kalian dan jathilan itu lekat dengan trance. Seperti apa trance GMO ketika berada di atas panggung?
Ican: Kayak srimulat. Srimulat punya cerita, tema, dan vibrasi yang ditawarkan kan. Bedanya, ketika di atas panggung kami menggunakan realita panggung. Ya sudah, itu benar-benar total, improvisasi semua. Ketika di panggung ya masuk ke dimensinya kami sebagai bentuk energi panggung. Improvisasi. Trance-nya mungkin di situ. Kadang-kadang kami bahkan enggak tahu apa yang kami lakukan di atas panggung. Itu ya karena kami sudah masuk ke realitas pentas itu tadi. Ini jadi sebuah pertunjukan yang utuh. Kami ingin menampilkan sesuatu yang bukan cuma sekadar membuat audiens mendengarkan, tetapi juga merasakan.
Lalu, bagaimana cara mendapatkan bebunyian musik tradisional dalam karya-karya GMO?
Kas: Nah, walaupun kita mulainya dari senang-senang, tapi bukan berarti kita gak punya konsep dan konteks ya. Seringkali proses dalam membuat musik, yang saya tahu, banyak melewati proses rekaman, sampling, terus kolaborasi. Saya juga banyak terlibat seperti itu sebelumnya sampai di titik ketika saya bikin untuk GMO, itu enggak ada sampling gamelan. Sampling itu cuma kami lakukan untuk suara perempuan di lagu “Hai Nafsu”, suara waria di “Kon”, dan selompret di “Sangkakala” karena suara-suara itu enggak mungkin direplikasi lewat synthesizer atau komputer. Sisanya enggak ada. Kami enggak pernah sampling dan merekam bunyi gamelan.
Kami cuma pakai aturan skala pelog dan slendro. Jadi ketika saya mainin synthesizer, di bunyi-bunyi tertentu itu akan terdengar seperti gamelan. Sejauh ini kami enggak mau melakukan sampling. Soalnya, ketika saya melihat di lantai dansa, saat menggunakan bunyi gamelan lalu ditaruh beat house, justru malah menurunkan kualitas materi aslinya. Saya malah merasa beberapa rekaman gamelan yang saya punya terlalu bagus buat berkolaborasi sama musik kami. Terlalu adiluhung, terlalu cantik. Saya enggak mau ketika saya sampling malah menurunkan kualitasnya. Jadi bisa dibilang instrumen musik GMO itu banyak yang sintetis. Jadi seperti bunyi “tok tok tok”, “wik wik wik”, kayak lagu TikTok gitu, kalau menggunakan skala gamelan, rasanya pasti akan jadi familiar. Sebenernya itu juga konteks yang ingin kami hadirkan. Sejauh mana kami bisa bermain di lima nada yang diulang-ulang, yang bisa menghasilkan musik dansa yang, bagi kami, rasanya rumah.
Berarti ketika musik rasanya rumah, itu juga memengaruhi aksi panggungnya?
Ican: Banget. Ketika tampil langsung, kami ingin sekali memberitahu audiens kalau mereka juga bisa ikut tampil bersama kita dan ikut merasakan. Kami kenalkan rumahnya, lalu mereka masuk. Ada juga titik-titik tertentu ketika penonton dan penampil lebur menjadi satu sebagai sebuah pertunjukan, sudah enggak ada batas lagi.
Kas: Itu artinya rumahnya nyaman. Lalu, yang mungkin juga menarik, karena kami cuma main di Indonesia sebanyak empat kali tapi tiba-tiba langsung dapat kesempatan untuk tur di 24 kota dari Selandia Baru sampai Uganda, itu juga bikin konteks tentang rumah itu lebih cepat bertumbuh. Pergi ke luar terus menerus sejujurnya justru bikin kami berpikir ke “dalam”. Jadi kayak Ican nih, setelah gig keempat di luar negeri, dia malah buka pertunjukannya pakai salam. Ketika sebelumnya bilang, “Hey, how are you?” setelah itu jadi “Assalamualaikum, kami Gabber Modus Operandi.” Di mana pun mainnya, terserah, mulainya pakai Bahasa Indonesia. Sesederhana itu. Kata “rumah” pun jadi tidak punya arti yang pasti, fixed. Ada proses penambahan makna yang terus berjalan.
Lantas, apa bagian dari Indonesia yang mau kalian angkat dalam GMO?
GMO: Ya enggak ada juga, hahaha.
Ican: Kami sih sebenarnya nggak ingin menampilkan kalau kami dari indonesia, enggak mau juga. Ada perasaan geli di situ. Justru ada hal menarik dimana audiens itu bingung, “Kalian dari mana, kok musiknya kayak begitu?”
Akun Instagram GMO terlihat menarik karena jika dilihat sekilas, isinya justru tidak mencerminkan bahwa kalian adalah musisi. Apa ada cerita di baliknya?
Kas: Itu kebablasan, sumpah. Kami kan awalnya nggak tahu, mulanya seru-seruan saja. Terus kalau sekarang mau berubah pun sudah enggak bisa karena audiens sudah udah berekspektasi bahwa konten kami ya seperti ini. Setengah konten akun kami itu dari warga.
Wah, berarti sama dengan Balebengong yang kontennya dari warga, dong?
Ican: Ya beda lah, hahaha. Itu awalnya karena aku sering tukar-tukaran meme.
Kas: Dan awalnya kami enggak ingin “tampil”. Lihat deh poster klub-klub malam, kan isinya muka semua, padahal apa hubungannya, gitu? Selain itu, sejak awal kami enggak mau GMO dilihat sebagai proyeknya Kas dan Ican. Kami ingin GMO lahir sendiri tanpa lewat pribadi saya dan pribadi dia. Jadilah akhirnya meme-meme yang keluar.
Ican: Malah jadi akun shitposting walaupun tetap ada aturan tidak tertulisnya. Hal yang kami tampilkan itu pilihannya antara ngejekin diri sendiri atau bentuk kekaguman sama sesuatu di sekitar.
Kas: Selain itu, hal yang menarik dari meme dan shitposting itu adalah bagaimana kita mengolah konteks baru, mengolah dialog yang sebenarnya dangkal, tapi sebenarnya ada mutunya.
Ican: Sampai ada orang yang bikin tulisan tentang dinamika identitas perempuan muslim dan salah satu referensinya adalah unggahan kita. Itu lucu juga sih sebenarnya.
Apakah masa pandemi berdampak untuk GMO, misalnya pembatalan atau penundaan manggung?
Kas: Oh, banget. Hancur. Kebanyakan gig kami diundur ke tahun depan.
Ican: Harusnya kita punya 24 gigs dan akan terus bertambah, dalam tur terpanjang kita di Eropa yang seharusnya dimulai tanggal Maret kemarin sampai Agustus. Lalu rencananya September kami ketiga kalinya ke Afrika untuk tampil di festival. Cuma ya gagal semua.
Lantas, bagaimana GMO mengatur strategi untuk tetap berkarya di masa pandemi?
Kas: Strategi pertama jangan gila, sih. Maksudnya jangan pamer kesedihan tapi jangan enggak ngomong sama sekali. Karena ada dua sisi nih, yang satu pamer sedih, yang satu lagi kelas menengah yang mengingatkan pentingnya diam di rumah aja. Enggak semua orang punya privilege untuk kerja dari rumah, termasuk kami sendiri. Sejauh ini kami enggak pernah livestreaming, rata-rata kami diundang untuk pre-record. Livestream agak susah karena format kami itu sebenarnya fisik banget, lumayan butuh energi dari audiens.
Ican: Dan sekarang sih kami lagi bikin EP, terus mengerjakan beberapa proyek kolaborasi yang ditawarkan beberapa institusi. Strategi lainnya juga bikin dan jual merchandise, sih.
Kas: Ayo, beli dong, beli!
Apa ada pesan-pesan yang ingin disampaikan?
Kas: Kalau ada yang tahu lawar ikan terbaik di mana, tolong komentar di acara AJW nanti, ya.
Ican: Sama satu lagi nih, siapa yang punya racikan sambal embek terbaik.
(Balebengong: sambel embek itu sambel emba maksudnya?)
Ican: Ya..ya… itu (ketawa ngakak)
Kas: Wah iya! Pesan untuk warga yang tahu racikan sambel emba atau kuliner yang bisa tahan lama. Kami lebih suka kalau yang bikin itu kayak dadong-dadong, resep keluarga. Soalnya kami ingin berkolaborasi untuk bikin produk. Lucu juga kalau kita ketemu ibu yang punya pengalaman nyambel 15 tahun di salah satu gang di denpasar gitu. Syaratnya enggak boleh merek besar, harus rumahan. Kayak pia underground gitu, ada enggak ya? Hahaha.
Tim Balebengong: pewawancara Iin Valentine, dirangkum Oktaria Asmarani.