“Saya tidak suka definisi. Saya tak mau disebut pahlawan. Bukan pula korban.”
Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia yang pernah dipenjara selama 8,5 bulan itu hanya ingin dikenang sebagai salah satu orang yang memperjuangkan kebebasan pers. Tidak sebagai pahlawan ataupun korban.
Untuk pertama kali setelah keluar Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, Erwin Arnada berbagi cerita di depan publik. Pemimpin Redaksi majalah Playboy Indonesia ini mengaku belum pernah berbicara di forum apa pun setelah keluar penjara pada 24 Juni lalu.
“Suasana audiens malam ini membuat saya ingin menceritakan pengalaman selama di penjara dan kisah di baliknya, hal yang baru saya lakukan di Bali setelah keluar dari penjara” ujar Erwin, 48 tahun.
Maka, Rabu malam pekan lalu, Erwin pun bercerita di depan sekitar 100 orang di halaman belakang Danes Art Veranda, Denpasar. Malam itu memang mendekati purnama. Sebagian besar peserta duduk lesehan di lapangan rumput halaman terbuka tersebut. Ada musisi, desainer, arsitek, jurnalis, aktivis, dan kelompok kreatif lain di Bali ikut kumpul. Erwin dan Alfred Pasifico Ginting, moderator diskusi, duduk di anak tangga sehingga lebih tinggi dibanding audiens.
PT Velvet Silver Media mulai menerbitkan majalah franchise Playboy Indonesia pada 7 April 2006. Sejak pertama kali terbit, majalah ini sudah disambut demo oleh fundamentalis seperti Front Pembela Islam (FPI) dan semacamnya. Kelompok ini bahkan merusak kantor Playboy Indonesia di Jakarta.
Tak hanya merusak kantor dan mengintimidasi para pengiklan, FPI juga melaporkan Erwin dan beberapa model di majalah dewasa ini pada polisi dengan tuduhan melanggar kesusilaan. Dua bulan setelah edisi pertama ini, Erwin pun jadi tersangka.
Menjadikan majalah Playboy Indonesia sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar kesusilaan, menurut Erwin, terlalu dipaksakan. Banyak majalah lain dengan gambar lebih vulgar toh tetap dibiarkan. “Saya baru tahu belakangan bahwa ada beberapa pihak yang ingin mendorong lolosnya Undang-undang Pornografi dengan menjadikan Playboy sebagai alasan,” kata Erwin.
Sejak Juli 2006, majalah Playboy Indonesia tak terbit lagi.
Saya termasuk yang kehilangan majalah bagus ini. Selain pernah dua kali menulis di majalah ini, saya juga senang dengan artikel panjang di media ini yang agak mustahil bisa masuk di media lain. Di balik citranya sebagai media pria dewasa, majalah ini sebenarnya memuat artikel-artikel keren yang susah ditemukan di media lain.
Meski sudah tutup, dakwaan terhadap Erwin ternyata masih berjalan di pengadilan. Melalui proses panjang antara jaksa, pengacara, hakim, dan semacamnya, akhirnya pada 9 Oktober 2010, Erwin dimasukkan ke penjara. Lebih detail tentang kronologi kasus Playboy Indonesia ini bisa dibaca di blog Anggara.
Selama Erwin di penjara, proses hukumnya terus berjalan. Mahkamah Agung (MA) kemudian menyatakan Erwin tak bersalah. Dia pun bebas setelah 8,5 bulan mendekam di penjara.
Tinju
Penjara, menurut Erwin, adalah ruang tinju raksasa. Di dalamnya tiap orang bertarung sama lain dengan pengawasan dari petugas. Erwin yang semula hidup dalam kebebasan, kemudian terkurung di Cipinang.
“Hidup di penjara sangat tidak enak,” katanya. Di dalam penjara, dia harus menghadapi sekitar 1.800 orang dengan karakter dan latar belakang bermacam-macam, bandar narkoba, mantan gubernur bank, mantan direktur, mantan jaksa, dan seterusnya. Hanya ada dua cara bertahan di penjara, dikalahkan atau mengalahkan.
Erwin memilih mengalahkan penjara, termasuk egonya sendiri. Ego itu muncul pada hampir semua narapidana, terus menganggap dirinya sebagai korban sehingga merasa bahwa dia tak seharusnya dipenjara.
Salah satu cara melawan penjara adalah dengan membuat banyak kegiatan. Erwin yang juga produser film ini membuat lomba seperti bulu tangkis dan futsal antara narapidana dengan artis. Pelan-pelan dia mulai bisa mengalahkan penjara. Dia mengaku bahkan diterima hampir semua narapidana.
Solidaritas
Selama di penjara, Erwin mengaku memiliki kesadaran baru, media di Indonesia tak terlalu memberi perhatian pada keselamatan wartawan. Tak hanya pada wartawan di medianya sendiri tapi juga solidaritas pada media lain.
“Media kadang malu dan ragu menulis kisah wartawan yang mendapat kekerasan di halaman depan. Tidak cukup ada proteksi jurnalis dari medianya sendiri,” ujar Erwin. Ia menyebut sejumlah wartawan yang nasibnya jauh lebih buruk darinya seperti AA Prabangsa, wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group) yang dibunuh dan Ridwan Salamun, contributor Sun TV yang dibunuh di Maluku.
Solidaritas media di Indonesia menurutnya harus terus didorong karena ancaman dan risiko kekerasan menurutnya akan terus ada. Erwin mencontohkan sulitnya minta Amicus Curiae, surat dukungan media untuk menyatakan isi Playboy Indonesia adalah produk jurnalistik ketika pengajuan peninjauan kembali (PK) kasusnya.
Media, menurutnya, juga harus terus melawan tekanan gerakan-gerakan kriminalisasi pers dan penegak hukum yang tidak mau menggunakan UU Pers untuk mengadili kasus-kasus pers. “Saya mengkritik industri saya sendiri. Jangan sampai media jadi alat yang memuluskan krimininalisasi pada pers,” tambahnya.
Keluar dari penjara, Erwin kini kembali ke Bali, tempat di mana Playboy Indonesia pernah berkantor sebelum tutup. Dia dan beberapa temannya mengelola tabloid wisata tentang Bali. “Saya ingin memberikan sesuatu untuk Bali yang selama ini telah menerima saya,” katanya. [b]
Terima kasih bang Ewin telah datang ke Unand..
telah memberi motivasi dan ilmu tentang pluralis..
salam, semoga bisa ke Unand lagi tuk diskusi tentang film “Rumah di seribu ombak”..