Penulis Dewi Lestari akan berdiskusi di Bali.
Jumat ini, penulis novel terkemuka itu akan hadir di Bentara Budaya Bali di Jl. Prof IB Mantra 88A, Ketewel, Gianyar. Dee, panggilan akrabnya, akan berbagi pengalamannya 15 tahun menghasilkan karya-karya novel populernya.
Diskusi sastra oleh Bentara Budaya Bali sendiri merupakan bagian dari fringe events Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016 yang diadakan Yayasan Mudra Swari Saraswati.
Dalam dialog nanti Dee akan berbagi seputar proses kreatif penciptaanya, serta membincangkan pengalaman penulisan novel Supernova. Novel yang diterbitkan pertama kali tahun 2001 tersebut merupakan salah satu novel bergenre fiksi ilmiah yang fenomenal di Indonesia.
Supernova merupakan debut karier kepenulisan Dee. Supernova kemudian menjadi sebuah ‘hexalogi’ dengan 6 seri kelanjutannya, yaitu: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; Petir; Partikel; Gelombang; dan Intelegensi Embun Pagi. Buku terakhir, Intelegansi Embun Pagi terbit pada tahun 2016.
Karya ini patut diperbincangkan, mengingat sewaktu perilisan yang pertama, Dee Lestari tidak hanya menghadirkan imajinasi fiksi ilmiah, namun sebuah realitas sosial yang dianggap tabu kala itu, yaitu terkait dengan hubungan dengan sesama jenis.
Dewi ‘Dee’ Lestari boleh dikatakan sebagai salah satu penulis terbaik Indonesia. Selain ‘hexalogi’ Supernova, wanita kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 tersebut juga telah menulis novel Perahu Kertas, serta tiga antologi: Filosofi Kopi, Madre, dan Rectoverso. Beberapa karyanya telah dialihkreasikan dalam bentuk film.
Filosofi Kopi yang merupakan kumpulan karya yang dibuat dari tahun 1995-2005 menjadi karya sastra terbaik versi Majalah Tempo pada tahun 2006 dan meraih penghargaan sebagai 5 besar Khatulistiwa Literary Award. Tidak hanya dikenal sebagai penulis, Dee Lestari juga merupakan seorang penyanyi dan penulis lagu.
Tahun 2016 merupakan kali ketigabelas penyelenggaraan UWRF, sebuah festival sastra tahunan yang berpusat di Ubud. Tema yang diusung kali ini adalah ‘Tat Tvam Asi’, sebuah penggalan filosofi Hindu dari abad ke-6 dengan makna sangat dalam. Tat Tvam Asi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘Aku adalah engkau, engkau adalah aku.’ atau bisa juga berarti ‘Kita semua satu’.
Festival yang berlangsung pada 26-30 Oktober 2016 ini dihadiri sekitar 160 penulis lintas bangsa, seniman, jurnalis, musisi, pegiat sastra dan seni lainnya. Acara ini telah dibuka secara resmi oleh budayawan Slamet Rahardjo pada 26 Oktober lalu di Blanco Museum.
Jannet DeNeefe, Founder & Director dari UWRF mengungkapkan bahwa pada awalnya kegiatan ini merupakan prakarsa komunitas, namun kini telah berkembang menjadi acara berkelas dunia yang memainkan peranan penting di dalam hubungan antar-bangsa dan manusia.
“Dan kini, kami sangat ingin menaklukkan isu-isu yang selalu memisahkan sekaligus menyatukan kita semua,” ujar DeNeefe. [b]