MEN COBLONG kali ini menatap mata anak lelakiknya dengan serius.
Tidak biasanya anak lelakinya mengeluh tentang hal-hal yang bagi Men Coblong agak tidak masuk akal. “Waduh, sekarang ini sesungguhnya musim apa, sih?” tanya anak semata wayangnya itu gusar.
Men Coblong terdiam. Musim? Gaya sekali. Seperti dia hidup di luar negeri dengan beragam musim yang selalu berganti saja. Negeri di mana musim berganti selalu diimbangi beragam fashion yang membuat masyarakat di empat musim terlihat modis, menarik dan memikat. Negeri yang membuat beberapa orang merasa iri dan berharap bisa mengunjungi manusia-manusia di belahan bumi yang lain itu suatu hari nanti. Atau, kalau banyak uang, sengaja memilih waktu berlibur di musim salju. Sebab, di negeri Men Coblong memang tidak ada salju.
“Kenapa orang-orang saat ini lebih banyak mengeluh dan sensi (baca: sensitif)? Apa mereka juga salah makan? Atau orang tua mereka bingung, karena harga kebutuhan pokok naik?” Anak lelaki Men Coblong menatap mata Men Coblong dengan serius.
Men Coblong terdiam, sambil meneguk secangkir kopi di depannya. Anak lelaki Men Coblong menyantap sepiring telur dan sekotak susu dengan tampang yang masih kusut dan uring-uringan.
“Memangnya teman-temanmu kenapa?”
“Sensi.”
“Iya, sensi seperti apa?”
“Mudah tersinggung, apa-apa dianggap menghina.”
“Menghina?”
“Iya!”
“Memangnya kamu mulai pandai menghina orang?”
“Nggak mungkinlah? Ngapain juga aku seperti orang kurang kerjaan menghina orang lain!” Anak lelaki Men Coblong berkata serius sambil menghabiskan sarapan paginya. Men Coblong kembali menatapnya.
“Aku sedang berpikir,” lanjut anak lelaki Men Coblong.
“Berpikir? Maksudmu?”
“Apa perasaan sensi itu menular. Coba lihat gaya para pengempu kebijakan. Di Line ada berita kita saat ini tidak boleh menghina ini-itu. Juga kepada para pemilik dan pencipta kebijakan. Sebetulnya apa fungsi DPR? Bukankan mereka dipilih oleh rakyat. Lalu kalau mereka korupsi, kita tidak boleh ikut komentar? Itu sensi namanya, bukannya yang berkuasa sesungguhnya rakyat? Rakyat yang memilih mereka? Harusnya kan mereka berjuang untuk rakyat pemilihnya, minimal membuat rakyat yang memilihnya terwakili suaranya.”
“Serius sekali.”
“Iya. Aku jadi sebel juga karena ketua kelas di sekolah tidak bisa dikritik oleh teman-teman di kelas. Setiap minggu kan ada sumbangan, teman-teman kelas mengusulkan agar dana kelas selama enam bulan ada laporannya. Eh, dia tersinggung. Ketua kelas itu menuduh kami, teman-temannya melakukan penghinaan. Tidak menghormati jabatannya.”
“Kamu ikut protes juga?”
“Semua anak di kelas protes. Karena dana sumbangan dari teman-teman kan untuk menjaga lingkungan kelas dan kebersihan kelas. Memangnya salah bertanya tentang keuangan pada ketua kelas?”
“Memangnya tidak ada bendahara kelas?”
“Ada.”
“Terus…”
“Kata bendahara kelas semua yang mengatur ketua kelas. Uang harus diserahkan kepada ketua kelas.”
“Tidak ada catatan laporan?”
“Tidak ada.”
“Berapa nilai uangnya?”
“Seminggu masing-masing siswa cuma nyumbang Rp 5.000.”
“Banyak dong, kalau jumlah siswa 33 orang.”
“Lumayan juga untuk beli perlengkapan kelas.”
“Memangnya apa yang terjadi?” Men Coblong penasaran
“Ketua kelas marah lalu orang tuanya ikut-ikutan marah dan merasa terhina. Kata orang tua ketua kelas, kami ini bukan orang miskin. Uang segitu tidak berarti. Coba bayangin? Itu kan mau menang sendiri. Ternyata memiliki kekuasaan itu buat orang jadi bodoh ya.”
Si anak lelaki berdiri lalu pamit berangkat sekolah masih bersunggut-sungut. Pagi terlihat mendung dan gelap.
Men Coblong menarik napas. Teringat peristiwa yang membuatnya gagal paham dengan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang baru disahkan DPR. Salah satunya terkait fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Ia menyebutkan, sejak awal dibentuk, MKD berfungsi mengawasi perilaku para anggota Dewan khususnya terkait persoalan etika. Kini, melalui UU MD3, fungsi MKD diubah. MKD tadinya digunakan untuk memperbaiki perilaku anggota DPR agar DPR itu dihormati secara kelembagaan. Namun, lembaga yang dibentuk untuk memperbaiki perilaku anggota DPR itu sekarang mereka ubah menjadi alat untuk membungkam kritik.
Begini bunyi pasal itu, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.Melalui pasal ini, anggota DPR bisa memidanakan siapa saja yang dianggap merendahkan DPR atau pribadinya. Namun, pemidanaan itu harus melalui MKD.
Berarti kritik membangun yang membuat bangsa ini maju justru dianggap penghinaan? Lalu kapan majunya negara ini, kalau kritik yang diajukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dibungkam dan dianggap menghina?
Pantas saja. Alangkah sulitnya mencari figur yang jadi contoh untuk generasi milenial, generasi Y, dan generasi Z.
Men Coblong jadi ingat kata-kata anak lelakinya, “Kekuasaan itu membuat temanku merasa menjadi Tuhan, tidak boleh dikritik, maunya menang sendiri. Keputusannya adalah kebenaran mutlak. Kritik kita dianggap menghina marwahnya sebagai ketua kelas.” [b]