Jika ditanya, apa motivasi atau quote favorit dari Loki Tua, saya bisa menebak, kemungkinan dia akan bilang sambil nyengir, “Kita hanya bisa berencana, namun tuhan yang menentukan.” Dan inilah menurutku inti kisah “Pengantin-Pengantin Loki Tua,” karya Yusi Avianto Pareanom.
Akrab disapa dengan Paman Yusi, sebenarnya merupakan penulis yang tidak terlalu familiar di telinga saya. Namun, saya ingat pernah bertemu dan menyapanya di acara Ubud Writers Festival beberapa tahun lalu.
Karya paman Yusi yang pertama saya baca adalah sebuah cerpen di Anthology “Cerita-Cerita Jakarta” nya Post Press. saya rasa cerita itu cukup menarik. Cerita tentang seorang dari Depok yang pergi ke Jakarta dan bagaimana perjalanan antar Kota tersebut bisa setidak menyenangkan itu.
Hingga tahun lalu, ketika novel ini terbit pertama kali, adalah Mbak Windy Ariestianty yang beberapa kali memberikan highlights atau komentar terhadap novel. saya pernah mendengar Raden Mandasia, novel lain dari Paman Yusi, tapi judul Novel Pengantin-Pengantin Loki Tua entah kenapa membuatku tertarik.
Saya memasukkannya ke dalam keranjang. Tak langsung memesan karena saya masih perlu membaca bacaan lain yang sudah saya incar sebelumnya juga.
Akhirnya, bulan Oktober lalu, saya memesannya bersama satu novel lain. saya senang dan tak sabar untuk membacanya. Saya membaca novel ini tak akan secepat yang saya kira. novel ini baru selesai saya baca hampir satu bulan lamanya. Memakai bahasa anak sekarang, saya sedang berada di fase reading slump.
Namun, selama satu bulan membaca novel ini, saya rasanya merasa menjadi dekat dengan si Loki Tua. Saya membaca di sela-sela munggu masuk ruang bioskop. Sambil makan di warung. Di masa kantuk sebelum tidur.
Tak banyak, biasanya saya hanya bisa membaca dua sampai tiga lembar per hari. Namun, mengikuti dengan pelan kisah, nasib, dan perjalanan Loki Tua menjadi menarik sekali ketika saya mencapai halaman terakhir.
Ada yang bilang, novel bagus itu ketika kamu membalik halaman terakhirnya, kamu akan merasa seperti kehilangan seorang teman. Agaknya inilah yang saya rasakan kala membaca paragraf terakhir dari novel ini.
Saya kehilangan Loki Tua yang pasrah terhadap nasib yang membawanya. Loki Tua yang cepat membaur dengan orang-orang baru. Loki Tua yang siap mempelajari bahasa asing. Loki Tua yang membuat masakan yang enak-enak.
Salah satu hal yang paling menarik dari novel ini memang adalah gambaran akan masakan-masakannya. Makanan-makanan yang sepertinya akan enak-enak sekali. Kuliner-kuliner yang akan siap membuat liur keluar.
Kemampuan Paman Yusi menjelaskan cara penyajian, bentuk makanan, dan bagaimana lezatnya makanan yang dihidangkan memang poin lebih tersendiri dari novel ini.
Sebagai contoh, salah satu karakter bahkan membuat Loki Tua berjanji untuk menghidangkan satu masakan yang sangat enak sampai salah seorang dari mereka meninggal dunia. Tak salah jika novel ini juga bisa disebut sebagai novel kuliner.
Kembali soal Loki Tua, meskipun sering memasrahkan nasibnya, dia tak pernah memadamkan harap. Dia membiarkan nyala harapan tersebut untuk dia tengok kembali suatu saat. Loki Tua adalah cerminan hidup seperti air, biarkan saja mengalir.
Nasib Loki Tua sering tak beruntung, namun sering juga dia mengalami nasib mujur. Cukup tolol dan sembarangan meninggalkan Kepulauan Rempah, dia berakhir menjadi budak di kapal budak.
Nasib baik datang ketika dia tinggal di kedatuan Jolo-jolo, di tempat inilah dia pertama kali bertemu istrinya, Hokulani. Nasib baik tak bertahan lama, saat menunggu anak pertama, perang dan pemberontakan terjadi, dan dia pindah ke Zhongguo bersama Kiram Pahala, setelah tu, dia juga menjadi kacung di rumah makan Selera Raja, mengembara bersama Sumpit Merah, melanglang buana bersama Sayyid al Berber, bertemu Ki Ranggahasta, hingga Raden Mandasia dan Sungu Lembu.
Perhatikan kata-kata ini, Kepulauan Rempah, Zhonggo, Kedatuan Jolo-Jolo, Sayyid Al Berber, Sumpit Merah, Raden Mandsia, Sungu Lembu, Ki Ranggahasta, Hokulani, Zuba, Galitia, dan Agnimurti.
Rasanya, Loki Tua hidup di masa lampau di era raja-raja zaman dahulu. Namun, tak jarang, dan sering kali dialog yang terjadi di novel ini berlangsung layaknya Loki Tua berada di era gen Z dan Millennial.
Umpatan-umpatan yang tak senonoh seperti “Cukimai” saya temukan di sela-sela deskripsi dan dialog yang rasanya terjadi jauh di masa lalu. Menurut saya, sisi inilah yang membuat novel ini sangat menarik dan memberi rasa yang berbeda dari dongeng-dongeng atau cerita-cerita kontemporer.
Pengantin-pengantin Loki Tua seperti bermain di tengah-tengah dan memberi kesan baru pada gaya dan penceritaan yang sangat menyenangkan untuk disimak. Sebuah novel untuk ikut berjalan lebih jauh dan menikmati makanan-makan yang lezat.