Sejumlah desa di Bali memiliki tradisi mencegah pernikahan dini ketika negara justru melegalkannya.
7 Mei 2015. Hari itu penanggalan Sasih Kapat di Desa Tenganan Pegringsingan. Sebagian warga mengadakan upacara Nampah Kampad.
Secara harfiah artinya membuang kotoran. Secara filosofis ritual tahunan ini adalah warisan nenek leluhur agar para orang tua wajib menjaga anak perempuannya dengan cara tak menikah dini.
Tenganan termasuk desa tua yang lebih dikenal sebagai Bali Aga. Desa berjarak sekitar 60 km dari Denpasar ini memiliki tradisi agak berbeda dengan desa-desa di Bali pada umumnya. Begitu pula dengan tradisi Nampah Kampad.
Dalam upacara ini, para orang tua yang memiliki anak perempuan hamil di luar nikah harus membayar denda seumur hidup pada desa. Secara nominal memang tak bernilai terlalu tinggi. Namun, secara sosial menjadi salah satu cara mencegah pernikahan dini karena hamil.
Pada saat Nampah Kampad ini beberapa orang tua membayar denda. Dulu dihargai dengan uang kepeng, sekarang bisa dengan uang Rp 1.000 tiap tahun. Begitu pula pada upacara Nampah Kampad kali ini.
Puluhan warga desa sudah sibuk sejak dini hari. Mereka menyiapkan sesaji untuk dihaturkan di seluruh pura. Persembahan utamanya adalah olahan satu ekor babi hitam.
Kelompok laki-laki terlihat paling sibuk di halaman. Pria bertelanjang dada ini mengolah daging menjadi siap saji. Para orang tua memotong dan menyampurkan bumbu. Yang lebih muda memanggang, menggoreng, dan mengasap daging.
Kelompok perempuan menyusun sesaji yang disusun dari bunga, buah, dan sajian olahan babi hitam yang dimasak para pria. Olahan utamanya adalah lawar, sajian tradisional dari bahan utama kelapa parut, daging cincang, dan bumbu dirajang. Lawar berwarna merah dibuat dari sedikit darah babi yang diolah.
Wadah-wadah anyaman dialasi daun pisang. Kemudian disusun nasi putih, lawar merah, putih, dan lauk pauknya. Jumlahnya sekitar 11 menu. Ada urutan (potongan daging dalam usus), oret (darah dan santan dalam usus), sate, timbung (daging berkuah), dan olahan tradisional lainnya.
Pengingat
Tepat sebelum tengah hari, semua sesajen siap. Para perempuan membagi diri ke Pura-Pura. Tiap orang membawa sesajen dan menghaturkannya.
“Ini persembahan untuk membersihkan kotoran karena orang tua lalai menjaga anaknya sehingga hamil di luar nikah,” kata I Wayan Yasa, Bendesa Adat. Semua pembuatan sesaji ini dilakukan di rumahnya.
“Mereka tiap tahun membayar denda seumur hidup,” jelasnya.
Namun ritual ini tak hanya tentang penghukuman juga pengingat agar orang tua peduli pada anak perempuannya. Kepala Dusun setempat menyebutkan jumlahnya tak sampai 20 keluarga.
Sejumlah remaja perempuan yang ikut ngayah (kerja bakti) dalam ritual ini juga mengaku ritual ini seperti puluhan ritual lainnya di desa. “Saya merasa biasa saja. Kalau menikah memang harus berpikir matang dan siap karena banyak sekali ritual di sini,” ujar Kadek Trisna.
Ia melihat ritual-ritual yang hampir tiap bulan di desanya sebagai pencegah menikah dini karena tanggung jawab menjadi pasangan suami istri baru cukup berat.
Ni Komang Lariyani, salah seorang ibu menyebut ritual ini penuh dengan pengetahuan dan peringatan bagi orang tua. Upacara ini, menurutnya, tak bermaksud menghukum anak malah mengingatkan para orang tua.
“Kita jangan sampai lalai menjaga anak sendiri,” katanya.
Seperti desa-desa kuno lainnya di Karangasem, Tenganan Pegringsingan memang memberikan porsi pendidikan remaja. Ada beberapa kegiatan khusus untuk remaja perempuan dan laki-laki. Misalnya ada Teruna Nyoman, pendidikan asrama selama setahun penuh untuk tiap laki-laki sebelum menginjak usia dewasa. Sementara untuk perempuan asramanya lebih singkat hanya saat tertentu.
I Ketut Sudiastika, Kepala Dusun Tenganan meyaki, ritual Nampah Kampad bisa jadi semacam peringatan dini bagi orang tua dan anak remaja untuk mencegah pernikahan dini. Pernikahan dini, sejauh ini, menjadi salah satu sumber kematian ibu melahirkan. Namun, di Tenganan sendiri belum pernah terjadi. “Semoga tak pernah ada,” katanya. Ia meyakini,
Karena itulah, dia melanjutkan konsepsi dan filosofi warisan leluhur ini harus terus digemakan selain kemudahan fasilitas kesehatan seperti layanan bidan.
Penis Sapi
Desa Tenganan hanya salah satu desa yang memiliki tradisi terkait dengan pernikahan dini. Desa lain juga punya. Misalnya Desa Asak, Kecamatan Karangasem. Desa berjarak sekitar 20 km dari Tenganan ini memiliki tradisi menghormati remaja perempuan.
Tiap tahun mereka menggelar upacara yang melibatkan puluhan remaja perempuan (daha) sebagai penari. Dalam tiap upacara, gamelan gamang yang ditabuh lamat-lamat oleh para tetua di Bale Agung memandu puluhan daha menuju Pura Puseh.
Ni Nengah Asih, salah satu gadis yang pernah memimpin para daha tersebut. Dia mengumpulkan temannya dan mulai mengabsen. Setelah mengabsen, Asih yang mendapat sebutan Subak ini memimpin barisan mengelilingi Pura Puseh 13 kali sambil melantunkan kidung berlirik riang.
Daha lain di belakangnya mengikuti. “Kayu sugih don ape to di gunung. Don dadap don keladi, bantal nangke, timus tape, jaje uli, biyu kayune jaja dodol jaje wajik tempanike. Lawan abug, kukuse me unti…..,” demikian seterusnya. Nyanyian itu menggambarkan kesibukan daha membuat aneka jajanan saat persiapan hari raya .
Soal absensi, ini ternyata sangat penting, karena urutan barisan daha ini harus sesuai dengan usia dan berapa lama dia sudah menjadi daha. Pendahulu Asih, baru beberapa minggu lalu menjalani ritual tutup daha dan mendapat hadiah penis sapi dari desa. Artinya dia sudah siap menikah setelah lebih dari 10 tahun ngayah menjadi daha.
Jika teruna atau laki-laki kalau sudah dianggap lulus mendapat kepala sapi. Penanda siap menjadi kepala keluarga.
Asih dan Juli termasuk delapan daha senior saat ini. Inilah kelompok yang dianggap sudah dewasa dan siap berumah tangga kelak. Mereka dianggap sudah total mengabdikan diri pada desa dengan menjadi daha dan memimpin sejumlah ritual di desa ini.
Pengelompokan daha inilah yang secara tak langsung membuat muda-mudi Desa Asak memiliki sistem pengaturan usia menikah dan mengindari hamil di luar nikah. “Anak muda di sini jadi terbiasa, siap menikah kalau sudah tutup daha,” ujar I Wayan Pahing, salah satu tetua desa.
Jika dinilai lulus, mereka berhak atas bagian kecil tanah desa sebagai penghormatan. Upacara menek (daha baru) dan tutup daha ini juga dilakukan di Bale Agung desa dan diketahui seluruh warga.
Selain pengaturan usia menikah, sistem daha teruna ini juga memudahkan pimpinan desa dalam mengelola administrasi kependudukan. Pergantian daha dan teruna memperlihatkan urutan kapan orang tua mereka menikah. Makin lama waktu menikah, dipastikan daha dan teruna itu sebagai generasi awal.
“Desa punya catatan menikah warganya, jadi gampang kalau ngecek penduduknya,” kata Pahing. Catatan ini berfungsi seperti kartu keluarga yang dibuat pemerintah saat ini.
Di tiap pura dan lokasi yang dikelilingi, mereka melantunkan kidung dan lagu berbeda. Lirik kidung soal keseharian, soal persiapan hari raya sampai soal teruna.
Saat hari raya lainnya setelah Kuningan yakni Ngusabha Kedasa dan Kasa, kidung yang dilantunkan daha di antaranya mengajak remaja untuk terus belajar. “Sang lane ngadi sekar, anggen ipun bisa maca, bisa nulis...”
Aktualisasi
Tiap desa di Bali memiliki ritualnya sendiri sesuai dengan konsep Desa Mawa Cara. Walau agamanya sama, ritualnya bisa berbeda. Bisa jadi ada desa-desa lain yang memiliki konsep sejenis atau lebih berkeadilan. Atau sebaliknya.
Kearifan lokal di sejumlah desa tentang perlindungan kesehatan reproduksi remaja perempuan ini belum banyak tergali. Di sisi lain, apakah konsep warisan leluhur ini bisa diaktualisasikan saat ini?
Sangat mungkin bisa.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajah Mada menyebut salah satu kabupaten di Bali dengan angka rata-rata pernikahan terendah. Hasil riset tentang pernikahan dini pada 2011 dilakukan di enam kabupaten yaitu Grobokan dan Rembang (Jawa Tengah), Dompu (Nusa Tenggara Barat), Sikka, Lembata dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur) dengan wilayah kontrol Indramayu (Jawa Barat) dan Tabanan (Bali). Hasilnya, pernikahan pada perempuan rata-rata terjadi pada usia 16 tahun.
Usia pernikahan terendah terjadi di Tabanan pada usia 15,79 tahun, sedangkan tertinggi di Sikka pada usia 17 tahun.
Data lain berasal dari hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia pada 2013 yang mencakup 300 ribu sampel rumah tangga. Riset ini mencatat terdapat kehamilan pada umur di bawah 15 tahun sebesar 0,02 persen dan usia remaja (15-19) hampir 2 persen. Kematian ibu melahirkan pada usia terlalu muda, 20 tahun ke bawah, hampir 7 persen. Tertinggi kematian ibu melahirkan di atas 35 tahun sebesar 25 persen.
Jumlah kasus pernikahan anak di Indonesia salah satu terbanyak di Asia Tenggara.
Karena itu, mencegah terjadinya pernikahan dini seperti di Tenganan dan Asak, amat relevan. Pernikahan dini harus dihindari.
Sayangnya, alarm untuk mencegah dampak pernikahan dini yang dibunyikan Desa Tenganan Pegringsingan dan Asak ternyata berbalik dengan kebijakan pemerintah. Negara justru masih melegalkan pernikahan usia anak.
Terakhir, pada Juni lalu upaya revisi aturan usia nikah seperti tercantum dalam UU Perkawinan 1974 Pasal 7 ayat (1) tentang batas minimal usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan sejumlah pihak yang menginginkan batas usia pernikahan bagi perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun ditolak MK. Hanya satu hakim MK yang beda pendapat.
Padahal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan anak di Indonesia adalah yang berusia di bawah 18 tahun. Ada tumpang tindih aturan. Bahkan dalam UU Perkawinan diperbolehkan di bawah 16 asal disetujui pejabat terkait yang tak jelas siapa.
Kita Sayang Remaja (Kisara)-Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, salah satu kelompok pemberdayaan remaja di Bali, menyebut menikah dini karena hamil menjadi kasus yang paling banyak dikonsultasikan. Tiap tahun, lebih dari 50 persen pasien remaja yang datang ke klinik PKBI dengan kasus kehamilan tak diinginkan (KTD).
Mereka membuat program bertajuk “I am young with choices” dan menargetkan sejumlah hal. Di antaranya akses remaja terhadap paket esensial pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual ramah meningkat. Kedua, akses remaja terhadap pendidikan seksual yang komprehensif berbasis hak dan sensitif gender.
Ni Luh Pasek Ayuningsih, Koordinator Kisara saat ini mengatakan akan terus menjangkau remaja pedesaan untuk penyuluhan kesehatan reproduksi. Di perkotaan juga masih banyak orang tua yang takut anaknya diberi informasi tentang kespro. “Ngapain ajarin anak saya seperti itu?” Ayu tertawa mengutip protes orang tua ketika berdiskusi tentang fungsi dan cara melindungi alat reproduksi seperti alat kelamin.
Tabu dan mitos juga tak hanya di pedesaan juga perkotaan. Pengetahuan tak beriringan dengan mudahnya akses menikmati gambar atau film yang mengeksploitasi tubuh. “Mereka semua sejak kecil pegang gadget tapi tidak tahu kalau berhubungan seks sekali juga bisa hamil. Atau percaya bisa digugurkan dengan jongkok atau loncat-loncat,” tutur Ayu, mahasiswa sekolah kesehatan yang sudah 3 tahun jadi relawan Kisara ini.
Karena itu ada tiga hal yang disampaikan dalam tiap tatap muka saat penyuluhan yaitu tentang pacaran sehat, fungsi alat reproduksi, serta wawasan Infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. “Mereka paling suka fisik seperti payudara, mimpi basah, ketawa dah mereka,” seru Ayu.
Secara spesifik kampanye tak memuat nilai tradisi. “Saya tidak tahu soal itu,” jawab Ayu. Ia terlihat hati-hati menjawab. Bisa jadi karena tradisi kadung dianggap sakral, tak bisa didekonstruksi untuk menjawab persoalan kekinian.
Relawan Kisara baru-baru ini mengajak remaja untuk bersuara mendukung revisi usia pernikahan yang digugurkan MK. Mereka berfoto menunjukkan kertas dengan pesan #StopPernikahanAnak seperti “Jadi MK melegalkan anak melahirkan anak?”
Kekayaan tradisi desa-desa di Bali dan perjuangan anak-anak muda untuk mencegah pernikahan dini masih berhadapan dengan ketidakpedulian Negara. [b]