Teks Ni Luh Made Intan Paramitha Apsari, Foto Jaya Ratha
Minggu kemarin Pasar Badung tampak tak sepadat hari biasa. Jalanan becek setelah hujan mengguyur Denpasar.
Jam di tangan saya menunjuk pukul 10.25 Wita. Saya dan seorang sahabat Widya Ratha terpaksa berlari kecil untuk menuju Aula Pasar Badung di Lantai IV. Ya, kami sudah terlambat untuk mengikuti pertemuan pertama dengan anak-anak pekerja di Pasar Badung untuk Program Pendidikan Keaksaraan Bagi Komunitas Khusus. Di lantai IV, teman kami, Jaya Ratha, sudah menunggu kami untuk segera masuk ke ruangan.
“Ups, kok ibu-ibu?” Kata Widya terkaget saat akan masuk ruangan. Sedianya, kami bertiga sukarelawan yang dikoordinir Sloka Institute memang tergabung dengan kelompok lainnya untuk mengajar Keaksaraan bagi anak-anak yang tak pernah duduk di bangku sekolah. Tak disangka, ternyata hampir 150 orang perempuan dewasa tukang suun di pasar Badung sudah duduk manis di aula.
Seorang ibu disebelah saya, yang saya lupa namanya, mengatakan bahwa para tukang suun ini sudah berkumpul sebelum pukul sepuluh pagi. “Ah, rupanya kami kalah tertib dengan ibu-ibu pekerja pasar.” batinku. Walaupun keterlambatan kami punya alasan.
Denpasar sudah mendeklarasikan diri sebagai Kota Bebas Buta Aksara pada tahun 2014. Namun karena mobilitas penduduk yang tinggi di Kota Denpasar, nyatanya masih ada anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa baca tulis. Bahkan sebagian di antaranya tak pernah duduk di bangku sekolah. Sebagian dari mereka adalah para pekerja perempuan dan anak, yang biasanya bekerja di pasar Badung dan pedagang buah jalanan yang ngompleks tinggal di daerah Kapal, Badung.
Komunitas ini kemudian disebut dengan komunitas khusus. Ya, merekalah yang akan mendapatkan pendidikan dari pemerintah yang diberi nama Program Pendidikan Keaksaraan Bagi Komunitas Khusus. Program ini sebenarnya diselenggarakan di setiap daerah di Indonesia.
Sebenarnya sasaran program ini adalah mereka yang tinggal di daerah tertinggal, lembaga permasyarakatan, atau rumah singgah yang menampung anak jalanan. Khusus untuk Bali, program pertama hanya akan menyasar perempuan dan anak-anak di wilayah pasar Badung dan Kapal, Badung.
Program ini adalah program pendidikan informal (pendidikan keaksaraan) agar komunitas khusus ini memiliki kemampuan untuk berkomunikasi teks lisan dan tulis dalam bahasa Indonesia dan angka. Yang akhirnya akan membantu mereka untuk mencari dan mengelola informasi, serta mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak lembaga yang memiliki visi yang sama untuk membebaskan buta aksara. Program ini diselenggarakan oleh Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Provinsi Bali sebagai penanggung jawab program. Kemudian Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali. Juga Universitas Warmadewa, IKIP Saraswati dan Sloka Institute yang kemudian akan menyediakan tutor untuk mengajar.
Di aula yang riuh, diantara ratusan ibu-ibu dan tiga orang laki-laki yang usianya di atas 60 tahun. Saya hanya menemukan tiga orang anak-anak. Mereka berumur 12-13 tahun. Dan sama sekali belum pernah sekolah. Sayang saya lupa menanyakan, apakah mereka bisa membaca atau belum. Apakah mereka sudah pernah mendapatkan pendidikan informal sebelumnya.
Karena banyaknya ibu-ibu yang ikut serta dalam program ini, akhirnya program terpecah kembali menjadi dua. Program pendidikan untuk kaum dewasa yang rencananya akan dibarengi dengan pendidikan life skil dan program pendidikan untuk anak-anak. Tim WHDI yang akan mengajar untuk para pekerja perempuan.
Sloka Institute beserta dengan perguruan tinggi keguruan lainnya bertanggung jawab untuk mengajar anak-anak. Satu tutor mengajarkan satu kelompok yang terdiri dari sepuluh orang.
Program ini direncanakan akan berlangsung selama 32 kali pertemuan atau 2 kali dalam seminggu selama empat bulan. Namun rupanya tim ini harus bekerja lebih cepat dan lebih ngebut karena kendala tutup tahun dan setor laporan yang harus terkejar tanggal 20 Nopember.
Dalam pertemuan ini ada kesepakatan dengan para pekerja pasar, kelas akan diselenggarakan setiap minggu pukul 10 pagi. Sebelumnya ada yang sudah mengumpulkan anak-anak pekerja pasar Badung. Katanya jumlahnya ratusan, dan membuat penuh aula berukuran 5×10 meter. Ya, seperti kata Luh De Suriyani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Kampanye Sloka Institute, kita berdoa saja semoga minggu ini, kami dicintai anak-anak pekerja pasar. Bisa terus mengajar yang kemudian perlahan kita bebas dari buta aksara. [b]