
Bertahan dan mempertahankan tanah leluhur mereka yang menyusut tiap tahunnya akibat pembangunan yang tidak berpihak, adalah cara mengambil alih kedaulatan dan otonomi mereka. Tetap tinggal meskipun padat dan bising, kembali karena sikap peduli akan keadaan desa yang kian tahun kehilangan ruang terbuka hijau. Pada akhirnya semua ada di sini, bertahan, berpikir, dan berdikari. Pelan tapi pasti, secara kolektif merebut kembali apa yang seharusnya milik mereka, hak hidup sejahtera dengan ruang terbuka hijau yang layak.
Uniknya, baik dari generasi tua maupun muda, punya cara masing-masing melihat masa depan dengan sikap optimis. Simak cara warga Sanur lintas generasi, dari petani, anak muda, hingga anak buruh tani yang kini menjadi pelukis, bertahan dan mempertahankan tanah mereka di Subak, desa adat Intaran.
Petani sebagai Penjaga Gerbang Utama

Sabtu siang itu penulis berkesempatan berbincang dengan Wayan Danu, salah satu anggota Subak Intaran. Dari obrolan singkat tersebut tergambar jelas bagaimana petani memegang peran sebagai penjaga gerbang utama keberlangsungan subak. Mereka bukan hanya mengolah tanah, tetapi juga menjadi pihak yang pertama kali merasakan sekaligus merespons setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Karena itu, berbagai tantangan yang dihadapi Subak, mulai dari alih fungsi lahan, banjir, hingga regenerasi petani, secara langsung ditanggung oleh mereka.
Banjir menjadi salah satu persoalan yang juga dihadapi petani di Subak Intaran, terutama ketika musim hujan datang. Meski demikian, masalah ini tidak dibiarkan begitu saja. Kelompok petani bersama warga melakukan upaya kolektif dengan menyediakan tempat sampah di depan rumah masing-masing agar aliran sungai tetap terjaga. Hasilnya, genangan memang masih terjadi, tetapi setidaknya dalam satu hingga dua hari jalan sudah kembali kering.
Namun, persoalan belum sepenuhnya selesai. Masih ada segelintir pihak yang tetap membuang sampah sembarangan. Untuk menertibkan hal ini, para petani berencana memasang kamera pengawas dan memberikan tindakan tegas.
Tantangan terbesar bagi petani Subak Intaran adalah penyusutan lahan setiap tahun. Kini, dari total 90 hektar area subak, 80 hektar membentang ke arah barat dan 10 hektar ke timur, setidaknya 1–2 hektar hilang setiap tahunnya akibat pembangunan perumahan dan vila. Menyadari ancaman ini, mereka tidak menunggu regulasi. Justru mereka berinisiatif membangun kolaborasi dengan para pemilik sawah, terutama yang tinggal di luar kawasan, untuk memastikan tanah warisan tidak jatuh ke tangan pengembang.
Saat ini terdapat 117 petani yang bergabung dalam Subak Intaran. Regenerasi dilakukan secara organik dengan cara mengajak rekan atau kenalan eks karyawan hotel yang telah berusia lanjut untuk beralih profesi sebagai petani. Bagi banyak mantan pekerja perhotelan, beralih profesi bukan sekadar pilihan darurat, melainkan strategi hidup yang lebih menguntungkan. Jika di industri pariwisata mereka hanya mendapat gaji minimum sekitar Rp3.500.000 per bulan, di sawah penghasilan bersih bisa mencapai Rp5.000.000 – Rp7.000.000 per bulan.
Hal ini menunjukkan bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang bermartabat dan kompetitif secara ekonomi. Dari sinilah tumbuh keyakinan bahwa regenerasi petani masih akan terus berlanjut selama ruang hijau dipertahankan.
Anak Muda dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Optimisme juga hadir dari kalangan muda. Dua remaja kelas tiga SMP misalnya, menjadikan sawah sebagai tempat melali selepas kegiatan sekolah. Duduk di pinggir sawah sambil bermain TikTok atau sekadar bercengkerama bersama teman, generasi mereka melihat Subak Intaran sebagai ruang publik.
Selama ini, pantai menjadi pilihan utama anak muda Sanur untuk berkumpul. Namun, tidak selalu nyaman karena terlalu ramai, terlebih ketika high season. Subak hadir sebagai alternatif, yaitu ruang sederhana untuk melepas penat, menghirup udara segar, dan menikmati hamparan hijau yang kian langka di tengah laju pembangunan. Meski mereka menyadari betapa cepatnya lahan hijau terkikis, keyakinan bahwa subak akan tetap ada di masa depan masih mereka pegang teguh.
Ketika ditanya harapan, Gek dan Gus bercerita bahwa dalam imajinasi mereka, Subak Intaran ke depannya dilengkapi dengan warung-warung kecil yang menjual jajan dan minuman ringan, tempat parkir, dan fasilitas dasar seperti tempat sampah. Optimisme ini, meski tampak sederhana, menegaskan bahwa generasi muda tetap membutuhkan ruang hijau, bukan sekadar untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk tumbuh bersama lingkungannya serta menguatkan keyakinan bahwa tanah leluhur masih akan ada dan menjadi milik mereka.
Seniman dan Identitas Kolektif Subak
Masih berada di area Subak, terdapat Sanur Art Hub yang baru-baru ini hadir sebagai ruang kreatif. Galeri ini tidak hanya menjadi tempat pameran lukis, tetapi sekaligus ruang untuk mengulang memori berkumpulnya para seniman Sanur terdahulu. Lokasinya yang menyatu dengan sawah memperlihatkan bagaimana seni dan alam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kehadiran Sanur Art Hub berangkat dari konsep yang digagas oleh Jero Apel, seorang anak petani yang memilih jalan hidup sebagai seniman pelukis. Pilihan itu bukan sekadar perpindahan profesi, tetapi juga cara untuk melanjutkan identitas desa adat agar dapat terus hidup dalam bentuk-bentuk baru. Jika dulu tanah diwariskan sebagai sawah, kini sebagian tanah dialihkan menjadi ruang seni yang tetap berpihak pada Subak Intaran.
Pembangunan galeri ini pun tidak dilakukan dengan membelakangi sawah. Sebaliknya, tata ruangnya justru menjadikan hamparan Subak Intaran sebagai bagian dari lanskap utama. Sawah bukan hanya latar, tetapi juga penegasan bahwa ruang terbuka hijau tetap harus hadir dalam kehidupan warga, apa pun profesinya.
Hal ini memperlihatkan bahwa tiap generasi memiliki signature sendiri dalam mengelola tanah warisan mereka. Ada yang menjaga sawah untuk pangan, ada yang menjadikannya ruang sosial dan budaya. Semua tetap berakar pada hal yang sama: tanah bukan sekadar aset, melainkan identitas dan sumber kehidupan yang harus dipertahankan.
Percakapan dan pertemuan singkat ini mengingatkan saya bahwa perlawanan kita tak harus sama, dan bahwa kebutuhan manusia dari tahun-tahun tetap sama, tersedianya ruang terbuka untuk hidup layak dan tumbuh. Betapa sikap optimisme ternyata sangat dibutuhkan ketika kita sedang melawan status quo. Optimisme yang sehat adalah ketika yang tua dan muda, bisa memvisualisasikan apa yang menjadi idealnya, lalu diwujudkan dengan kolaborasi.
Namun tak hanya antar generasi, bagi mereka yang memiliki tanah atau warisan leluhur, penting untuk tidak menumbuhkan sikap apatisme kepada lingkungan. Selain itu, juga penting untuk memiliki sebuah kesadaran kolektif bagi mereka yang punya tanah, untuk kemudian diimbangi dengan komitmen dan rasa memiliki agar dapat mempertahankan wilayah tanah desa adat mereka. Selama masih ada di satu daerah yang sama, kepedulian tetap harus dibuktikan melalui dialog-dialog dan aksi sosial yang tidak memarginalkan siapapun.
Bersyukurnya, saya menjadi salah satu orang yang menjadi saksi betapa masyarakat Desa Adat Intaran masih terus memutar otak, menggerakkan tangan dan kaki semua warganya di tengah gempuran kebijakan dan pelayanan publik yang kian mawut, korup, dan tidak berpihak.
Semua orang punya peran dan tugasnya masing-masing. Ketika masyarakat dari antar generasi dan kelas telah melakukan tugas sebaik-baiknya, di manakah peran dan tugas pemerintah? Mau dan siapkah Pemerintah Bali, khususnya Denpasar, memberikan dukungan serta fasilitas kepada mereka yang masih optimis dengan masa depan Sanur? Atau justru membiarkan mereka tenggelam dalam pesimisme dan apatisme, hingga perlahan identitas mereka pudar?
(Salah satu karya peserta Kelas Jurnalisme Warga Desa Adat Intaran)
kampung bet situs slot slot thailand