Bali identik dengan keindahan alam dan keunikan budayanya.
Banyak wisatawan asing maupun lokal yang melihat dan bahkan mengabadikan momen unik di Pulau Bali. Bali sangat mendunia. Salah satu yang khas dari Pulau Dewata adalah hari sucinya yang dirayakan setahun sekali, Nyepi.
Nyepi bertujuan untuk merayakan tahun baru Caka umat Hindu di seluruh Indonesia, khususnya di Bali.
Nyepi adalah satu-satunya hari raya Agama Hindu yang diakui di Indonesia. Dalam kata ‘Nyepi’ mengandung kata ‘Sepi’ yang artinya juga bisa sunyi senyap, tak beraktivitas. Artinya, Nyepi ini memberikan waktu bagi kita, umat manusia untuk menyendiri, merenungi segala perbuatan yang telah dilakukan selama setahun belakangan. Tujuan merenung ini adalah untuk menemukan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam hidup kita agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya.
Dalam pelaksanannya, Nyepi memiliki beberapa rangkaian upacara adat keagamaan yang saling berkaitan satu sama lain. Sehari sebelum hari raya Nyepi yaitu hari Pengrupukan, ada upacara yang disebut Tawur Kesanga. Dalam upacara ini, banyak persembahan suci yang dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai bentuk atau wujud syukur umat manusia atas berkat dan rahmat yang telah diberikan oleh-Nya.
Selanjutnya, dilakukan pengarakkan ogoh-ogoh, anyaman bambu dan kerangka kayu yang dibuat sedemikian rupa sehingga menampilkan wujud menyeramkan sebagai simbol Bhuta Kala. Umat Hindu meyakini pada saat hari pengerupukan, para Bhuta sedang berkeliaran di mana-mana. Maka Butha atau iblis ini akan digiring dengan ogoh-ogoh untuk ‘di-somia/nyomia’. Artinya, mereka para bhuta ditenangkkan dan dibawa ke dunia semestinya mereka berada agar tidak mengganggu Tapa Brata Penyepian yang akan dilakukan setiap umat saat hari raya Nyepi.
Tapa Brata Penyepian adalah Tapa (ber-tapa/bersemedi) yang wajib dilakukan umat Hindu. Tapa Brata Penyepian dibagi lagi menjadi empat bagian yang disebut Catur Brata Penyepian atau empat larangan dalam pelaksanaan Nyepi. Yang pertama, Amati Geni. Artinya dilarang menyalahkan api. Kedua, amati karya. Artinya, dilarang bekerja atau beraktifitas. Ketiga, Amati Lelungaan. Artinya, dilarang berpergian. Terkahir, Amati Lelanguan atau dilarang menghibur diri atau berfoya-foya.
Keempat larangan di atas harus dilaksanakan selama sehari penuh, yaitu selama Nyepi. Umat benar-benar tidak beraktivitas. Istirahat total. Selain mengistirahatkan diri, umat juga mengistirahatkan bumi serta isinya.
Oleh karena itu, hal paling menyenangkan saat hari raya Nyepi adalah, saat bangun pagi dan menghirup udara segar. Tanpa polusi. Tanpa hiruk pikuk klakson kendaraan. Tanpa teriakan tukang sayur di depan rumah. Tanpa obrolan ibu-ibu di tetangga sebelah. Bahkan tanpa akses internet.
TV dan radio tidak bisa menyala. Dilarang menyalahkan lampu saat malam hari. Langit terlihat sangat indah saat malam penyepian. Seribu bintang bertaburan seakan langit juga merayakan kemenangan bagi umat manusia. Dunia seakan-akan sedang tertidur pulas. Begitu lah yang kami rasakan sebagai umat Hindu di Bali selama Nyepi.
Besoknya, dilanjutkan dengan upacara Ngembak Geni. Upacara ini bermakna bahwa umat berhasil melaksanakan Tapa Brata Penyepian, dan saatnya memulai hidup baru, lembar putih yang baru, dan menjalani semuanya dengan lebih baik. Biasanya umat Hindu akan pergi ke Pantai (Segara), di sini dilakukan pembersihan diri. Baik mandi di sekitar pantai, maupun mengambil airnya untuk pembersihan di rumah sendiri.
Umat tidak harus pergi ke pantai. Boleh di sungai, danau, ataupun aliran air bersih lainnya yang nanti bermuara ke laut. Ini sebagai simbol bahwa kita umat Hindu membuang hal-hal negatif dan meleburnya ke laut.
Meminimalkan Upacara
Sekarang kaitannya dengan wabah virus Corona yang melanda hampir seluruh penjuru dunia. Bali pun terdampak. Bali menjadi salah satu destinasi wisata terdepan di dunia. Tentu kami khawatir dengan wabah ini. Apa lagi Bali sebagai daerah yang hidup mengandalkan pendapatan dari pariwisata, pajak hotel dan restoran, serta tempat hiburan lain. Kami di Bali sedang berusaha keluar dari masalah ini. Bukan, tapi dunia sedang berperang bersama melawan wabah ini.
Kita, sebagai umat Hindu yang sering merayakan hari raya keagamaan terpaksa meminimalkan segala bentuk upacara. Termasuk kegiatan pengarakan ogoh-ogoh yang biasanya menarik banyak wisatawan. Dikhawatirkan, wisatawan asing maupun lokal, serta tidak adanya sosial distancing saat perayaan menyebabkan semakin parah virus bisa menyebar. Umat terpaksa menurunkan euforia yang biasanya dirasakan. Lagi-lagi, ini demi keselamatan banyak orang.
Selain Nyepi, banyak hari raya keagamaan yang harus diminimalisir pelaksanaannya. Seperti melasti. Melasti di Bali bagi umat Hindu biasanya melibatkan banyak orang. Namun, himbauan dari pemerintah yang kaitannya dengan pencegahan penyebaran COVID-19, melasti hanya diperbolehkan jika diikuiti oleh 25 orang saja.
Begitu juga dengan upacara ngaben. Sejak pandemi ini berlangsung, pengarakan Bade juga sangat dikurangi, dan orang yang dilibatkan pun juga sangat dibatasi jumlahnya. Semua perayaan upacara agama harus memenuhi protokol kesehatan seperti anjuran WHO. Yaitu mencuci tangan sebelum masuk ke Pura, memakai masker, hingga sembahyang dengan tetap menerapkan physical distancing.
Masih banyak orang yang tidak mengindahkan segala imbauan dan larangan pemerintah mengenai pencegahan penyebaran virus corona yang lebih masif. Mereka seakan buta dengan fakta dan realitas yang menunjukan angka penambahan kasus dan kematian bergerak bagai bom waktu.
Namun, sayang beribu sayang, adakalanya kita berdiam di rumah sesuai anjuran pemerintah daerah selama dua bulan lebih tidak ada kemajuan yang signifikan bagi Indonesia untuk membaik, justru sebaliknya. Momen yang seharusnya dilaksanakan bersama sekarang tak ada lagi. Keramaian lalu lintas maupun anak-anak yang bermain dan belajar dengan teman-temannya di sekolah juga harus terhenti. Para mahasiswa ujian secara online bahkan wisuda ditiadakan. Umat agama yang lain di Indonesia juga dihimbau untuk melakukan ibadah di rumah. tentu saja semua ini dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Di balik itu semua, masih banyak juga orang-orang yang begitu peduli dengan kondisi ini. Seperti yang dapat kita lihat bersama, banyak artis sampai influencer saling bahu membahu menggalang dana untuk membantu sesama. Selain itu dana yang terkumpul juga digunakan untuk membeli keperluan tenaga medis dan rumah sakit. Tentunya, semua itu akan disumbangkan kepada rumah sakit rujukan pasien corona.
Jadi, untuk kalian yang masih belum mematuhi aturan pemerintah. Ingat, pemerintah berada satu tingkat dibawah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam ajaran Catur Guru (empat guru panutan) yaitu tingkat ke tiga, Guru Wisesa atau pemerintah (pemegang kendali/pembuat peraturan).
StayatHome memberikan kesempatan padamu untuk mendekatkan diri dengan keluarga di rumah. Membuatmu melakukan tapa Brata Penyepian, bahkan New York, dengan julukan ‘Kota yang tidak pernah tidur’, akhirnya tertidur (istirahat) tahun ini. Jadi artinya, semua butuh istirahat, termasuk bumi kita, diri kita, dari segala urusan duniawi. [b]
Penulis: Agung Aistawani, Ayu Eka, Ayu Sumariani