Sebagai perantau di Pulau Jawa bagian barat, seringkali berkenalan dengan orang baru menjadi momen menyenangkan, sekaligus membingungkan. Menyenangkan tentunya, karena punya teman baru yang penasaran dengan saya. Membingungkan, ya karena pertanyaan dari mereka membuat saya bingung jawabnya. Terlebih, antusiasme di wajah mereka ketika bertanya sedikit membuat saya takut apabila jawabannya kurang memuaskan.
Pertanyaan-pertanyaan ini, sepengetahuan saya, banyaknya berdasar dari konten sosial media (terutama Ti*t*k) yang banyak menunjukkan tentang Bali. Sumber lainnya, tentu dari obrolan teman-teman saya ini dengan lingkungannya. Kalau boleh jujur, sejak merantau, saya kembali belajar mengenai Bali. Seram juga kalau saya salah jawab, dan jawaban salah saya itu dibagikan kembali ke lingkungan teman saya. Dari berbagai macam pertanyaan yang ditanyakan, saya rangkum lima yang paling sering ditanyakan, bersamaan dengan bagaimana saya biasa menjawabnya, sepemahaman saya:
Kelima, “Orang Hindu tuh ga makan sapi?”
Biasanya pertanyaan ini dilanjut dengan “katanya sapi tuh suci ya kendaraan dewa”. Kalau tentang makan, di Bali banyak kok orang Hindu yang makan sapi. Hanya saja, kalau di Hindu memang ada golongan orang yang nggak boleh makan sapi, itu golongan Brahmana, golongan pemuka agama. Selain nggak boleh makan sapi, pemuka agama di Hindu juga ga boleh makan binatang kaki empat lainnya.
Keempat, “Kalau di Bali tuh orang hamil sebelum nikah biasa aja ya?”
Eh, gimana gimana? Ini pertanyaan yang nggak sering-sering banget saya dapatkan, mungkin karena pada takut ini sensitif ya. Entah dari mana sumbernya, tapi sedih juga ketika dianggap “biasa aja”. Padahal ya agama Hindu punya diskursusnya sendiri mengenai itu. Biasanya, pertanyaan mengenai ini taunya dari konten sosial media. Pernah juga ada yang bilang ke saya, “katanya orang tua pihak cowok bangga kalau anaknya berhasil bikin pasangannya hamil sebelum nikah.” Dilanjutkan dengan “kalau ga hamil duluan, cowonya gamau nikah dulu.” Sedih sih dengar ada asumsi-asumsi seperti itu. Perempuan Bali cuma dianggap sebagai mesin pencetak anak.
Percayalah, nggak semua orang di Bali sesuai dengan asumsi seperti itu ya. Mungkin keliatannya banyak, tapi tetap nggak bisa digeneralisasi jadi “semua orang Bali kaya gitu”. Orang Bali yang mikir untuk merencanakan dengan baik kehamilannya ya masih ada lah. Orang Bali yang sudah hamil tapi nggak mulus ortunya langsung mengiyakan mereka untuk menikah juga ada lah. Cuma yang kaya gini ga sempat bikin konten aja.
Ketiga, “Melukat itu beneran bisa buat self-healing?”
Sejak melukat sudah dikomersialisasi sebagai “water purification ceremony”, banyak teman saya yang tertarik untuk melakukan ritual ini. Kalau dihubungkan sama healing, tergantung bagaimana kita mendefinisikan healing itu sendiri nggak sih? Mungkin iya, bagi sebagian orang itu bisa membantu proses self healingnya.
Sepengalaman saya melukat, saya belum pernah sih yang abis melukat langsung merasa “wow sekarang luka batin saya sembuh semua.” Waduh kalau semua orang merasakan efeknya sedahsyat ini, bisa gulung tikar psikolog se-Bali.
Kalau saya melukat, memang ngaruh bikin lebih tenang, tapi ya itu efek kena air juga mungkin ya? Sama kaya kita abis mandi, jadi lebih segar, lebih tenang.
Terakhir kali melukat di Tirta Empul, banyak juga yang melakukan “wisata spiritual” ini. Sempat ada kejadian juga waktu di puranya, ada turis yang masuk pura masih basah-basah pakai kain habis melukat, belum bilas. Akhirnya diminta keluar sama Pemangkunya.
Worth it nggak dicoba? Ya kalau mau mencoba, tidak salah kan ya? Tapi ya jangan berharap lebih, dan pastikan juga ketika mencoba bisa menerima itu sebagai suatu pengalaman baru saja.
Kedua, “Kamu tuh Ida Ayu? kasta tertinggi ya di Bali?”
Pertanyaan yang selalu bikin capek jawabnya, karena akhirnya berusaha menjelaskan dari awal mengenai konsep di balik nama “Ida Ayu” yang saya miliki. Yah, singkatnya “Ida Ayu” itu adalah nama yang saya dapat dari keluarga, sudah menjadi tradisi turun temurun, karena saya keturunan Brahmana (golongan pendeta di Hindu). Keturunan Brahmana ya, BUKAN berarti saya Brahmana. Ampun. Kalau saya Brahmana mah, udah nggak lagi dipanggil Pradnya. Pertanyaan ini seringkali dilanjutkan dengan kuliah 2 SKS dari saya yang membahas tentang miskonsepsi kasta di masyarakat.
Pertama, “Gimana rasanya tes kriuk?”
Sudah jelas sekali, pertanyaan ini ditanyakan sama teman-teman saya yang Muslim. Konten makan kulit babi di sosial media mungkin terlihat menggugah selera sekali, ya? Untuk mendeskripsikan rasa kulit babi kriuk, bagi saya yang bukan reviewer makanan, cukup dengan tiga kata: renyah, berminyak, berlemak. Tapi kulit babi kriuk itu untung-untungan deh, sering juga kok saya beli kulitnya udah nggak kriuk lagi, udah ga bisa digigit.
Pertanyaan-pertanyaan ini, sedikit menggambarkan bagaimana persepsi orang tentang Bali, yang kebanyakan sumber pengetahuannya adalah konten sosial media orang Balinya sendiri. Kalau pertanyaanya seperti ini, cukup menarik kan, persepsi orang tentang Bali?
Pertanyaan yang mulai berkembang, tepatnya berkembangbiak ke arah konten semata