Kriminalisasi terhadap petani yang menuntut haknya seakan tidak pernah selesai. Tiga petani dari Desa Pakel, Banyuwangi, yaitu Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap pihak kepolisian tanpa menunjukan surat penangkapan. Mereka yang hendak menghadiri rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi dituduh melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946 terkait dengan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Pasal yang menjerat tiga petani ini juga sering digunakan untuk membungkam masyarakat, aktivis, dan jurnalis.
Penangkapan yang terjadi pada Jumat, 3 Februari 2023 ini juga telah membangkitkan luka lama yang dialami beberapa warga Pakel sekitar 23 tahun yang lalu. “Di tahun 2000 itu aku masih kelas 1 SD. Yang aku ingat betul itu rumahku digerebek, diserbu aparat. Aku ingat tengah malam, rumahku digedor-gedor, disuruh keluar, kalo engga, bisa dibakar. Padahal itu tanggal 17 Agustus, sebetulnya merayakan hari kemerdekaan, tapi di sini rasanya engga ada kemerdekaan. Pejuang yang laki-laki ditangkap. Termasuk kakekku. Hal yang sama dialami anakku sekarang, kakeknya dibawa tanpa ada keterangan apapun,” ungkap Sri Mariyati, petani dari Desa Pakel.
Menurut Taufiq Tauqurochim, penangkapan tiga petani Pakel adalah potret murni dari skema kriminalisasi dan pembungkaman, mulai dari tanpa surat tugas dan penangkapan, ataupun proses penangkapannya. Skema yang tampak jelas terlihat ini menyulut kemarahan sekaligus keresahan masyarakat, hingga memunculkan berbagai aksi solidaritas untuk mendukung keadilan, mendukung perjuangan warga Pakel.
Bahkan hingga saat ini (20 Februari 2023) lebih dari 20 ribu orang telah menandatangani petisi terkait ‘Cabut HGU PT. Bumi Sari, Bebaskan 3 Petani Pakel Banyuwangi dan Wujudkan Keadilan Agraria’. Selain itu, berbagai komunitas di berbagai daerah mengadakan aksi solidaritas, seperti di Jogja, Jawa Timur, Jakarta, dan saat ini di Bali.
Solidaritas dari Bali
Tepatnya di Haluan Coffee Space pada Minggu, 19 Februari 2023, berbagai komunitas berkumpul dan mengekspresikan dukungannya terhadap perjuangan petani Pakel. Acara juga diisi dengan penampilan ‘bebunyian’ dari Chaos Non Musica. Adapun para penampil yang mengekspresikan kepeduliannya dengan musik eksperimental, mulai dari Yami No Oto, Usada Putra, Dosed, dan Sanglah Slayer.
Kemudian suara-suara yang disusun dalam sebuah sajak dihadirkan oleh EL CHE dan Toetoepbotol. Lalu ada Badiktilu dengan musik akustik dan lagu-lagunya yang terinspirasi dari perjuangan warga. Berbagai penampilan ini juga dipercantik dengan visual mapping dari Alanayana.
Bentuk ekspresi dalam visual juga dilakukan oleh komunitas Omah Laras yang dalam acara Solidaritas untuk Pakel ini mengadakan lokakarya cukil. Sebagai upaya diseminasi informasi gerakan Pakel, acara ini pun dilengkapi dengan pemutaran film dokumenter, pameran foto dan poster perjuangan warga Pakel. Selain itu juga ada lapak buku dan karya dari Perpustakaan Jalanan Denpasar, Omah Laras, dan Chaos Non Musica.
Antusiasme juga terlihat dari banyaknya masyarakat yang hadir di acara solidaritas ini. Fakta yang membuktikan bahwa kriminalisasi yang dilakukan negara kepada warganya, justru memperkuat ikatan antar warga. Bahkan kegiatan untuk berbagi dan mendengar langsung kabar dari Pakel sangat dinantikan. Maka dari itu, diskusi secara hybrid dilakukan dan mengundang langsung warga Pakel dan tim hukum warga Pakel, termasuk pemuda Pakel yang turut menjaring solidaritas di berbagai kota.
Berbagi Kabar Perjuangan Pakel
Hening mengawali diskusi ketika Sri Mariyati menceritakan tentang situasi terulang yang ia alami. Dulu kakeknya pernah ditangkap karena memperjuangkan hak warga Pakel, dan kali ini anaknya mengalami hal yang sama. Bahkan pada tahun 2000, Desa Pakel sempat dicap sebagai desa janda. “Pejuang yang laki-laki ditangkap, termasuk kakekku. Setelah itu yang jadi tulang punggung itu para perempuan. Banyaklah ibu-ibu yang sama pedihnya. Ada yang pulang ke rumah orang tuanya ada juga yang tetap bertahan di rumah dengan makan seadanya,” ungkap perempuan yang kerap disapa Mbak Mar.
Rasa sedih dan kaget tentu dirasakan Mariyati dan keluarganya ketika sejarah kelam itu terulang. Saat kabar penangkapan itu sampai ke telinga mereka, keluarga Mariyati langsung bergegas menuju Polres Banyuwangi. “Mereka menjawab tidak ada penangkapan, karena kalo ada toh dari Polda harus ada pemberitahuan. Tapi pagi-pagi si supir cerita, dia ada di Polres,” kata Mariyati sambil menahan tangisnya. Ia pun menambahkan, “Dengan kejadian ini kita ga boleh ngomong, kayak dibungkam. Kalo kita ngomong, bisa dipenjara.”
Selain Mariyati yang keluarganya ditangkap, ada Adidtya Prayoga yang ayahnya ditangkap, juga hadir dalam diskusi ini. Ia pun sempat ke Polres Banyuwangi, tapi tak sempat bertemu ayahnya karena langsung pada malam itu juga ketiga petani dibawa ke Polda Jawa Timur. Kabar soal penangkapan ia terima dari supir yang mengantarkan para petani dalam pertemuan kepala desa. “Pak Ponari [supir] itu minjem Hp ke orang, terus nelpon anaknya [terkait penangkan ini]. Lalu dikabari ke warga,” jelas anak dari Pak Untung, salah satu dari 3 petani yang ditangkap.
Tim Hukum untuk Warga Pakel, Taufiq Tauqurochim mengatakan bahwa tiga petani Pakel masih ada di rumah tahanan Polda Jawa Timur. Mereka dikenakan tuduhan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964. “Pasal ini sering dipakai membungkam masyarakat, aktivis, dan teman-teman jurnalis,” kata pria yang juga aktif di LBH Surabaya ini.
Melalui pasal tersebut, ketiga petani ini dianggap telah menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Padahal jika dilihat dari sejarahnya, tanah yang mereka hidupkan dan dihidupkan itu tanah yang secara legalitas mereka miliki. Secara resmi, pada 11 Januari 1929 warga menerima Akta 1929 yang mengizinkan mereka untuk membuka hutan seluas 4000 bahu.
Namun, kawasan dalam Akta 1929 dirampas oleh Perhutani dan PT Bumi Sari pada masa Orde Baru. Selain itu, dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare: terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon. Dengan demikian, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel. Taufiq juga menambahkan, “akta 1929 bagi saya sah, legalitas. Karena dalam asas hukum tata negara, jadi selama keputusan itu dibuat oleh pejabat dan tidak pernah dihapus, maka hak itu masih dinyatakan sah.”
Hak atas tanah bagi warga Pakel dipertegas juga dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 2020. Tepat diterbitkannya UU ini, warga Pakel melakukan aksi reclaiming di lahan leluhur mereka yang direnggut PT Bumi Sari. “Seharusnya setelah UUPA diterbitkan, [Akta 1929] itu dikonversi. Kalo tidak, berarti mereka [pemerintah] tidak pernah membaca sejarah warga Pakel. Soal pembuktian dan sebagainya, kita bisa membuktikan dan pertanggung jawabkan,” tegas Taufiq.
Namun hingga saat ini, Polda Jawa Timur belum bisa menyampaikan akta itu benar. Bahkan saat ini telah mengkriminalisasi petani Pakel. Padahal pada 2021, petani Pakel pernah melaporkan PT Bumi Sari, namu Polda menolak laporan petani Pakel atas rusaknya tanaman dan benda-benda lainnya. “Saya melihat proses hukum dari Polda Jatim itu memiliki standar ganda, karena dia menerima ketika itu dari perkebunan [PT Bumi Sari],” ungkap Taufiq.
Penyimpangan dalam proses hukum juga terjadi dalam proses penangkapan ketiga petani. Mereka ditangkap tanpa adanya surat penangkapan. Bahkan surat baru datang setelah penangkapan. Namun, ketika trio petani bersama tim hukum menempuh upaya pra-peradilan pada 30 Januari 2023 di Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan Nomor Perkara: 02/Pid.Pra/2023/PN BYW–dengan Termohon Kepolisian Resort Banyuwangi sebagai termohon I, Kepolisian Daerah Jawa Timur sebagai Termohon II dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sebagai turut termohon–ditunda hingga 3 Maret 2023 karena termohon tidak hadir. Padahal Pengadilan Negeri Banyuwangi telah memanggil termohon sekitar 15 hari sebelumnya. “Itu seperti sebuah siasat, mereka ingin mengugurkan uji materiil yang sedang kami ajukan. Jadi logikanya, kalo warga itu dipanggil mendadak, bahkan bisa dihitung jam, tapi para termohon dipanggil jauh-jauh hari itu mereka tidak hadir,” jelas Taufiq.
Kondisi ketiga petani pun semakin tersudutkan, karena tidak diijinkannya keluarga maupun tim hukum untuk membesuk mereka. “Paginya, waktu besuknya, kita ga boleh ketemu, cuma boleh titip makanan. Setelah kita lobby, akhirnya hari Senin bisa ketemu, syukurnya mereka sehat dan baik. Tapi ada kabar yang ga mengenakan, terakhir ini, katanya Pak Suwarno sempat dikasih makanan basi,” kata Alvina Damayanti, Pemuda Pakel.
Setelah besuk yang pertama kali, keluarga dan tim hukum tidak bisa bertemu ketiga petani lagi. “Terakhir mau kesana lagi, engga bisa ketemu, ga boleh ketemu, cuma boleh titip makanan aja. Kalo mau ketemuan itu harus ada penyidik,” tambah perempuan yang kerap disapa Vina.
Meskipun keluarga tidak bisa bertemu dan belum mengetahui kabar terbaru anggota keluarganya, sedih mereka terobati dari dukungan warga Pakel dan solidaritas di luar desa. Ketiga petani pun dianggap sebagai pejuang bagi desanya. Mereka ditangkap karena benar. “Saat kita sedih, warga itu menunjukan kepada kita bahwa tiga orang itu tidak melakukan kesalahan. Di lain sisi, kita ga malu ditahan, karena mereka engga melakukan kesalahan, karena mereka rela ditahan untuk memperjuangkan hak untuk banyak orang,” ungkap Mariyati.
Kejadian penangkapan ini juga semakin mempererat warga. “Semenjak peristiwa ini, malah lebih mudah mengumpulkan warga. Sekali minta, langsung datang. Bahkan ada yang kerja di luar desa itu mau pulang. Warga malah makin semangat,” kata Rudi dari jaringan Solidaritas untuk Warga Pakel.
Selain dukungan dari warga sekitar, solidaritas dari berbagai daerah juga mengadakan berbagai aksi untuk mendukung perjuangan Warga Pakel dan membebaskan ketiga petani yang saat ini dikriminalisasi. Para pemuda pakel dan tim hukum pun membagi tugas, ada yang berjaga di tapak dan lainnya ikut bersama LBH Surabaya dan Walhi Jawa Timur untuk menggalang dukungan di berbagai kota. “Kita roadshow ke beberapa media besar di Jakarta. Kemudian tanggal 15 [Februari] kita mengadakan media briefing yang difasilitasi Aji Indonesia. Lalu menggalang solidaritas dengan beberapa komunitas di Jakarta. Rencananya setelah ini kita akan mengadakan aksi mogok makan di [depan kantor] BPN. Harapan kita BPN juga merespon dan mengupayakan penyelesaian kasus di Pakel ini,” jelas Vina.
Terkait aksi mogok makan ini, Taufiq pun menjelaskan adanya hubungan yang erat antara kedaulatan petani dengan ketersediaan pangan kita. “Makan itu pasti berkaitan dengan pangan, petani itu kan produsen pangan, jadi kalo dikriminalisasi, maka krisis pangan berpotensi terjadi. Selain itu, konflik ini adalah konflik agraria, jadi kalo tanah itu dirampas, ya Petani Pakel dan warga sekitar yang makan dari hasil pertanian sangat terdampak. Maka kalo ga ada lahan [untuk petani], akan terjadi krisis pangan,” tegas Taufiq.
Pernyataan Sikap Solidaritas dari Bali untuk Warga Pakel, Banyuwangi
Peristiwa penangkapan yang semena-mena, terlebih kepada mereka yang memperjuangkan hak dan keberlangsungan banyak orang justru semakin memperkuat ikatan antar warga, baik di Desa Pakel maupun daerah-daerah lainnya. Aksi-aksi solidaritas terus dilakukan dan dukungan semakin bertumbuh. Untuk itu, kami Solidaritas dari Bali untuk Petani Pakel, Banyuwangi menyatakan:
1. Kami mengecam penculikan dan penangkapan 3 petani Pakel yang sedang berjuang atas tanahnya. Bebaskan mereka segera!
2. Kami menuntut PT Bumi Sari agar keluar dari bumi Pakel, Banyuwangi dan menyerahkan kembali tanah yang selama ini mereka kuasai kepada warga Pakel.
3. Hentikan tindakan semena-mena aparat dan negara khususnya kepada rakyat yang sampai hari ini harus berjuang mendapatkan hak atas tanah, air dan penghidupannya!
#RebutkembaliPakel
#BebaskanpetaniPakel