Oleh Ni Luh Putu Anjany, I Kadek Dwika Wahyudinata, dan Mutiara Diva
Desa Dukuh dan Tulamben kini memiliki harapan untuk mencegah kerusakan lingkungan melalui Rare Segara, pengelolaan sampah di hilir, dan upaya menghutankan desa.
Sekitar 30 anak-anak Desa Tulamben menunjukkan aksi bersih-bersih tiap Minggu. Langkah besar dari bocah-bocah kecil ini untuk mendobrak kesadaran masyarakat melestarikan lingkungan dan alamnya.
Pada Kamis (23/9), mentari tampak lebih sumringah menebar asa di kaki langit Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Menemani pasangan burung kecil yang menari di antara ranting-ranting jati yang nyaris rapuh. Pagi yang bersahabat, mengawali rekahan senyum di sudut bibir bocah-bocah berpakaian adat Bali itu. Anak laki-laki bahkan memakai saput melengkapi kamen, serius sekali dengan aksinya.
Puluhan anak ini baru mendapat donasi kaos biru muda. Puluhan anak-anak menyeret beberapa karung bekas, memungut sampah, dari wadah cemilans ampai puntung rokok. Kelompok Rare Segara ini tak sendirian, sesosok pria menemani. Ia mengendarai motor roda tiga bercat hijau pengangkut sampah kesayangannya.
Anak-anak itu kembali bersorak, menghampiri pria paruh baya itu, memuntahkan isi karung yang telah mereka isi penuh selama kurang lebih dua jam lamanya. Perjalanan menyusuri tepi pantai Tulamben terasa hangat dengan semangat sekitar 30 anak-anak Rare Segara yang sukarela memungut sampah dari pemukiman penduduk, banjar, sampai pantai. Rare artinya anak-anak, dan Segara adalah laut. Anak-anak ini memang anugerah.
Ni Komang Desi, salah satu gadis yang baru menginjak usia 11 tahun ini menyadarkan orang, bukan sekadar berwacana. Ia menceritakan pengalamannya. “Awalnya ikut Rare segare karena mau isi waktu luang, kebetulan juga udah banyak temen ikut kegiatan ini,” sebutnya. Kegiatan yang telah berjalan selama 2 tahun ini memberi dampak positif yang diapresiasi oleh masyarakat setempat.
Tempat pembuangan akhir (TPA) yang dahulunya tak terawat, kini berubah menjadi taman kreasi anak yang tertata dengan apik. “Kegiatan ini setiap hari minggu pagi kak, dengan kumpul awal di rumah pak Suastika lanjut jalan ke pantai Tulamben,” lanjutnya sambil memungut sampah yang ada.
Sampah yang diambil Desi dan kawan-kawan Rare Segara ini akan dikumpul di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dan diolah di sana. Perlahan namun pasti, program ini menjadi tamparan awal untuk masyarakat dalam menjaga alam sekitarnya. “Kalau tidak dari kita, siapa yang akan merawat alam ini. Apalagi disini alam menjadi sumber penghidupan,” sahut Desi seraya tersenyum.
I Nyoman Suastika memaparkan perjalanannya dalam penanganan sampah di desanya, Tulamben, Karangasem. “Rata-rata peduli, tapi kalau untuk desa wisata, rasanya tindakan kebersihan di sini belum maksimal. Daerah ini perlu sebuah gebrakan, ” jelas pria muda yang menjadi Kepala Dusun Tulamben ini.
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Tulamben mulai dibangun dari nol untuk memilah sampah organik dan anorganik. Disemangati gerakan bersama anak-anak Rare Segara tiap minggu memungut sampah di gang, pinggir jalan, sampai pantai.
“Setiap pagi, anak-anak itu selalu saja bermain gadget, kadang sampai siang. Makanya, saya ingin membuat aktivitas baru untuk mereka yang lebih produktif,” ujar Suastika. Sejatinya, semua berawal dari akar, apabila akar dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan bunga yang indah pula. “Saya mendirikan Rare Segara untuk menanamkan budaya peduli lingkungan kepada anak-anak Desa Tulamben. Siapa lagi kalau bukan mereka? Orang dewasa? Ah, rasanya tidak mungkin,” tuturnya.
Memulai dari aksi kecil, berlanjut, lalu makin banyak diikuti. “Ternyata program saya sangat didukung. Anak-anak sangat antusias. Begitu juga dengan orang tua mereka yang memberi ijin. Akhirnya saya sebarkan informasi melalui komunitas remaja desa,” kenang pria kelahiran Februari 1983 ini.
Menjadikan rumahnya sebagai markas awal, pada Hari Minggu pukul tujuh pagi tubuh-tubuh mungil sudah ramai menyapa. Menyusuri tiap jalan dan pantai selama kurang lebih dua jam, meraup sampah yang berserakan. Tahu-tahu mendapat perhatian dari beberapa lembaga. Program ini mendapat dukungan LSM seperti PPLH, Coral, dan Conservation Indonesia. Khususnya edukasi seperti diajak tracking oleh CI, semacam pengenalan lingkungan ke gunung.
Sementara TPST Tulamben juga makin berkembang. Sejauh mata memandang, hamparan lahan kering kini makin hijau. Ditumbuhi aneka bebungaan, buah, serta burung-burung kecil yang malu-malu menyapa. Teduh, sunyi, menghangatkan perbincangan kala itu. “Sampah-sampah hasil pungutan mereka akan ditampung disini, kalau bisa diolah ya diolah. Tapi belum maksimal sih, baru saya saja,” paparnya. Saat ini mereka hanya difokusan untuk mengumpulkan sampah saja, tapi bukan tak mungkin untuk mengolah ke depannya.
Tak berjalan begitu mulus. “Kami resmikan pada Februari 2017, tapi sempat vakum juga beberapa bulan. Yah karena Gunung Agung, cukup lama juga,” tutur pria berusia 35 tahun itu. “Saat vakum, rupanya anak-anak itu rindu,” membuatnya tersenyum lebar. Dan berbagai hal-hal menggemaskan lainnya, selalu meluncur dari bibir dan tingkah laku anak-anak itu kala bekerja.
“Yah agak ribet juga sih, sama mereka kadang ribet ngatur waktu. Ada yang jail, jadi sering berantem. Ada juga yang sekedar jalan-jalan aja, nggak pernah mungut sampah. Maklum, usia mereka dari TK sampai SMP. Eh, bahkan ada yang belum sekolah, anak saya sendiri,” tambahnya geli.
Ada hal yang sangat disayangkan, ada asa yang hendak diluapkan. “Tulamben ini desa wisata, apalagi pantainya. Saya ingin mereka tahu, bahwa kekayaan ini harus dijaga. Sekarang sudah mulai ada komunitas peduli lingkungan orang dewasa. Tapi tetap, saya ingin membudayakan regenerasi,” tarikan nafas panjangnya terdengar di akhir kalimat.
“Semoga Rare Segara mendapat menjadi contoh di masyarakat. Sekarang baru 50 orang anak, mungkin tidak terlalu banyak. Tapi suatu saat nanti, mereka akan tumbuh dan berkembang bersama beribu lainnya untuk membangun Tulamben,” tuturnya lagi.
Dari Kelebihan Air Kini Kekeringan
Kekeringan melanda, alam yang dulunya lestari kini berubah menjadi tandus. Bagaimana ini terjadi? Simak penuturan tim Madyapadma dengan I Gede Sumiarsa, Kepala Desa Dukuh saat dijumpai di kantor desa Dukuh, Karangasem, Bali, Kamis (23/09).
Bagaimana ya awalnya daerah Dukuh ini bisa mengalami kekeringan seperti saat ini?
Pengalaman saya saat SD tahun 90-an, situasi Dukuh sejuk dan adem rasanya. Namun setelah adanya program penanaman pohon Gamalina (jati putih), akhirnya perubahan iklim menurun drastis. Akarnya sangat besar, mengalahkan pohon lokal yang menjadi pohon asli Dukuh. Gamalina banyak menyerap air, di mana ada gamalina pasti kering. Karena dulu tingkat KK (Kepala Keluarga) miskin yang membuat pemerintah menggalakkan program penanaman tumbuhan gamalina tersebut.
Apa upaya bapak selaku kepala desa?
Melihat situasi, selaku perbekel (kepala desa-red) ingin mengembangkan iklim menjadi lebih baik dengan program perhutani untuk desa dapat mengolah hutan milik pemerintah. Yang nantinya akan ditanam pohon beringin dan bambu untuk lahan kering, di atas desa Dukuh agar dapat menyerap air.
Sedangkan di wilayah rindang, di sela-sela itu ditanami buah-buahan. Selain itu bekerja sama dengan instansi dalam mendorong program perhutani. Juga dengan adanya pihak Conservation International (CI) Indonesia yang membantu jalannya program penghutanan ini. Selain itu, ada program kerja yang ingin mengakomodir petani arak untuk dipasarkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) ke bungalow-bungalow, dan lain-lain.
Ada juga program bersama CI melalui pemetaan desa, tahun lalu CI telah membantu pelestarian alam di daerah bawah Desa Dukuh yaitu Tulamben atau lautnya. Kini giliran kawasan atas Desa Tulamben yang dilestarikan yaitu di Dukuh. Supaya terjadi keseimbangan hubungan gunung dan laut.
Di mana saja akan dilakukan program penghutanan tersebut, Pak?
Di seluruh kawasan Desa Dukuh yang meliputi yaitu di Desa Ban, Dukuh ini sendiri, Sukadana, Batu Ringgit. Ada juga daerah yang sudah lebat, kita akan menanam tumbuhan buah-buahannya.
Kira-kira itu akan dilaksanakan mulai kapan?
Bila sudah ada keputusan dari pihak pemerintah dalam menyetujui adanya pengelolaan lahan hutan pemerintah oleh masyarakat Desa Dukuh ini.
Yang akan dilibatkan untuk program ini siapa?
Melibatkan seluruh masyarakat tentunya. Dan beberapa pihak yang turut serta membantu jalannya program Perhutani ini.
Mengapa program ini penting dilaksanakan?
Penting untuk menjaga alam ini, konsep “Nyegara Gunung” dari tim CI sudah mampu menjelaskan pentingnya alam ini. Ditambah lagi, karena dulu Tulamben bagian dari Dukuh dari cerita orang tua terdahulu. Lalu terjadi pemekaran. Warga asli tulamben itu dari Dukuh, karena pura Parahyangan-nya mereka ada di Dukuh.
Kembali lagi dengan “Nyegara Gunung” konsep alam agar kita sebagai umat tidak mengotori apa yang telah diberikan Tuhan, harus sebagai manusia kita menjaga alam. Kesatuan antara segara dan gunung, menurut saya kita berada di gunung, saudara kita ada di segara. Tugas kita untuk melestarikan alam di atas dan di bawah. Sama dengan Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Kalau salah satu rusak, pasti yg lain rusak.
Selain itu alasan menjaga alam yang kedua adalah karena termasuk bagian dari program kerja saya sebagai kepala desa, untuk bagaimana mengembalikan daerah ini menjadi sedia kala. Dengan teknologi dan situasi yang kondusif, masyarakat pasti betah dan tidak merantau kembali. [b]
Menyemai Harum Cendana agar Air Tersedia
Waktu terus berjalan, hingga tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Namun tak menyurutkan ekspedisi ini dalam menggali informasi mendalam. Kini giliran petani cendana lah yang mengutarakan isi hatinya. Menyusuri bagian tengah hutan ke arah atas Gunung Agung, dengan melintasi bebatuan yang semakin curam. Tak mematahkan semangat tiga remaja Tim Madyapadma ini melakukan eksplorasi kawasan yang menjadi area program CI Indonesia.
Semilir angin menerpa dengan lembut, menambah aroma dedaunan yang segar. Sekumpulan masyarakat menyambut hangat dengan senyuman. Dengan berlumuran tanah di kaki, I Nengah Arta selaku koordinator pembibitan pohon cendana di kawasan Desa Kubu menyambut. “Cendana sangat langka, kalau tidak dibudidayakan bisa habis. Apalagi masyarakat hindu sangat mengharapkan cendana,” tuturnya. Daerah tandus dan gersang berpotensi mengembangkan tanaman bernilai mahal ini.
Di balik suram terselip harapan. Tanah seperti inilah yang cocok untuk menjadi tempat pembudidayaan pohon cendana. “Tanaman ini ternyata lebih bagus di Kubu, karena pasir berbatu yang dibutuhkan oleh tanaman cendana ini, bukan jenis tanah yang batu berpasir seperti di NTT,” lanjut Arta, pria paruh baya ini.
Inilah yang membuatnya bersyukur karena Kubu karena sangat berpotensi dalam pembudidayaan cendana. Kegiatan ini juga menjadi program dari tim CI, yang mendorong terwujudnya kegiatan pelestarian alam dalam pembudidayaan pohon cendana di daerah tersebut. Arta pun membagi wawasan mengenai proses dari pohon cendana yang membutuhkan kisaran 15 tahun untuk dapat dipanen.
“Penanaman cendana ini sangat sulit ya, karena Cendana tidak bisa tumbuh sendiri, maka perlu adanya inang. Inangnya bisa krokot atau boleh juga tanaman cabai,” ungkapnya dengan sumringah.
Mana yang lebih bagus dijadikan penginang? Pembibitan cendana dimulai dengan menanam di polybag. Di tempat akan ditanam atau sudah mulai pengakaran, Cendana ini masih tetap membutuhkan inangnya. Salah satu yang dapat digunakan adalah gebang (tanaman perdu bernama latin Agave sisalana). “Sekalian untuk mengembangkan gebang juga,” lanjutnya.
Tanaman Gebang: Penangkal Erosi, Peningkat Ekonomi
Apa yang dapat terlintas di pikiran orang-orang melihat pepohonan tua yang daunnya berguguran, matahari menusuk kulit, dan sampah berserakan? Bagai buah durian, di balik kulitnya yang berduri, tersimpan daging yang lezat.
Perumpamaan yang tepat ditujukan kepada Desa Dukuh, Karangasem. Sore itu, matahari tak segan-segan memaparkan sinarnya. Tampak dengan jelas panorama desa di bawah kaki Gunung Agung ini.
Di antara hamparan pepohonan tandus yang menjulang tegar, sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas berdiri cukup kokoh. Rumah tua itu milik pasangan suami istri Nyoman Darma dan Luh Sasih, yang tinggal bersama keluarga kecilnya. “Pekerjaan sehari-hari, petani dan pengrajin gebang,” begitu pengakuan dari pasangan tersebut.
Menapaki jalan-jalan di desa tersebut, tak jarang dijumpai tanaman yang sekilas tampak seperti lidah buaya, dengan ukuran yang jauh lebih besar. Tanaman tersebut tumbuh berdekatan dengan rumpun tanaman lainnya. Di areal yang sama, sepasang rakitan bambu bersekat kecil, dengan untaian serat-serat misterius, cukup menarik perhatian. “Itu alat penghasil serat sisal gebang, nanti seratnya akan kita produksi jadi kerajinan, yang paling utama sih untuk rambut rangda,” tutur Luh Sasih.
Gebang, tanaman bernama ilmiah agave ini punya fungsi ekologis yaitu sebagai penangkal erosi. Tak banyak yang tahu, fungsi ekonomis dari tanaman ini. Tanaman gebang, merupakan salah satu komoditas utama di daerah itu. Sudah turun temurun masyarakat mengolah serat gebang menjadi berbagai kerajinan. Pada awalnya hanya didistribusikan ke daerah Gianyar saja, namun kini sudah meluas ke berbagai daerah lainnya di Bali.
Tanaman gebang dapat dikatakan sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat Desa Kubu, terutamanya Dusun Bahel. Rupanya, perjalanan produksi kerajinan gebang ini tidak berjalan begitu mulus. Tanaman sumber bahan baku makin sedikit karena kurang dilestarikan sementara warga masih ingin membuat kerajinan serat sisal ini.
Bahkan ada pengerajin harus merogoh biaya Rp100 ribu untuk beli 1 Kg bahan baku yang dijual oleh pengepul. Kini, warga didorong membudidayakan dengan bantuan bibit dan pendampingan oleh CI Indonesia untuk meringankan beban masyarakat. Pengerajin tidak perlu beli bahan baku, semua telah disediakan oleh lembaga tersebut.
Desa-desa di Kecamatan Kubu, Karangasem terutama di kaki gunung yang tandus dinilai salah satu daerah penghasil gebang dengan kualitas terbaik. “Dulu sudah pernah buat yang bahannya dari luar Bali. Cuma gak bagus, karena daerah disana sedikit tidak cocok. Kurang alami, jadi warna pun kurang bagus,” ungkap Nyoman Darma.
Ia menjelaskan bahwa kerajinan dari gebang bisa saja diproduksi menggunakan mesin, tapi akan lebih baik apabila dengan tangan sendiri, walaupun memakan waktu cukup lama. Dengan sumber daya manusia sekitar 30 orang, belasan orang sudah pernah mendapat pelatihan dari CI Indonesia melalui pelatihan. Pasangan suami istri ini juga ikut mendirikan kelompok tani ternak Darma Kerti, sebagai wadah kreativitas dan mata pencaharian masyarakat.
Dukuh, bukan sekedar desa tandus yang tak bertuan. Dukuh adalah investasi, gebang adalah harapan untuk alam dan warganya. [b]
Editor: Luh De Suriyani
Keterangan: Tulisan ini adalah salah satu karya program beasiswa liputan Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2018 bekerja sama dengan Conservation International (CI) Indonesia.