
Siapa sangka piknik hari itu berhasil menggores bagian istimewa dalam catatan saya. Bahwa piknik juga bisa menjadi ruang bersantai, belajar, bahkan perlawanan. Berlokasi di lapangan Monumen Bajra Sandhi yang berdiri kokoh di tengah kota Denpasar, anak-anak muda dengan untaian pernak-pernik mereka berkumpul di bawah teduhnya pohon kota. Sabtu, 29 November 2025, sekitar pukul 2 siang, tikar-tikar berbahan kain mulai dibentangkan di atas tanah dan rerumputan. Wanita, pria, segala usia, segala latar belakang duduk melingkar dengan berbagai niat, dan kegemaran.
Kebersamaan hari itu bagai simpul yang memperkuat tali perjuangan perempuan di tengah derai darah dan air mata yang belum berhenti juga hingga kini. “Jadi, kita berkumpul saat ini untuk meningkatkan kesadaran bahwa hingga saat ini, negara masih belum hadir untuk memberikan ruang bagi perempuan. Baik itu untuk perempuan tani, guru, tenaga medis, untuk ibu rumah tangga dan semua orang yang diidentifikasikan sebagai perempuan,” ungkap Tabita selaku founder dari Ahava.id yang bersama komunitas-komunitas lain di Bali mengusung acara Pernak Piknik untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).
Pernak Piknik hari itu diselenggarakan dengan menggabungkan berbagai kegiatan workshop dari berbagai komunitas di Bali, diskusi, hingga obrolan santai antar peserta. Ada berbagai stand workshop yang dapat diikuti, seperti workshop merangkai manik-manik menjadi aksesoris yang beragam bersama Ahava.id, merangkai bunga bersama Jardin Poetique, Zine making bersama Jahe Biru, Poetry making/membuat puisi bersama Sanggar Puan, menggambar gantungan kunci bersama MyCelium ArtLab, Lino art/sablon cungkil bersama Omah Laras, dan tak ketinggalan pameran foto esai mengingat kekerasan terhadap perempuan Papua bersama Kamis Manis Bali.
Peserta tidak dibatasi dan bebas mengikuti kegiatan manapun yang membuat mereka merasa tertarik. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada podium kaku. Yang ada hanya tikar panjang dan wajah-wajah yang siap belajar dari satu sama lain.
Melalui momentum ini, Pernak Piknik menciptakan ruang yang mindful, tempat di mana para peserta bisa berhenti sejenak, bernapas, dan memulihkan diri di tengah tekanan hidup dan situasi politik yang terus mendesak. “Nah, di pernak-pernik ini enggak ada yang namanya kompetisi, enggak ada yang namanya benar atau salah. Kita enggak harus cepat-cepat menyelesaikan apa yang menjadi kegiatan kita hari ini,” tutur Tabita kepada peserta untuk memanfaatkan momentum hari itu, menikmati setiap desir waktu sembari perlahan menyulam kembali diri ditengah hiruk-pikuk sosial-politik negeri.
Menjelang sore, angin semilir membuat tikar-tikar sedikit terangkat. Sesi refleksi di salah satu sudut ruang piknik dari kawan-kawan Kamis Manis Bali menarik perhatian saya. Di atas tikar kain berwarna gelap yang menutupi rerumputan, berjejer belasan lembar kertas-kertas penuh gambar, yang melihatnya saja sudah langsung menyayat hati. Berapa panjang lagi perjuangan-perjuangan yang harus ditempuh perempuan di negeri yang disebut “Ibu Pertiwi” ini?

Kamis Manis Bali sendiri merupakan agenda rutin dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam mendiskusikan berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam sesi tersebut, peserta mendengar langsung pengalaman para anggota AMP selama berada di Bali, terutama bagaimana mereka menyuarakan isu sensitif terkait kekerasan dan pelanggaran HAM.
Para anggota AMP menjelaskan bahwa upaya mereka untuk bersuara kerap dihadapkan pada berbagai bentuk teror. “Terkait soal pengalaman di sini untuk biasa menyuarakan hal ini sudah pasti diteror, ya,” ungkap salah satu anggota AMP dalam diskusi. Bentuk teror tersebut seperti dibuntuti intelijen, hingga pengambilan gambar tanpa izin. Foto-foto mereka kemudian bisa dicetak dan ditempel di berbagai titik, termasuk di sekitar kawasan Sudirman, Denpasar.
Namun, teror yang menyulut tak menghentikan semangat api perjuangan. Pameran foto esai hari itu disusun untuk menunjukkan realitas kekerasan militer yang dialami perempuan Papua. Foto-foto tersebut lebih dari sekadar bukti dokumentasi, sekaligus menjadi medium untuk membuka percakapan yang lebih luas tentang bagaimana perempuan di Papua masih menghadapi kekerasan yang berlapis, baik akibat situasi konflik maupun dari pendasaran perilaku laki-laki terhadap perempuan yang masih dipengaruhi budaya patriarki.
Di Papua, perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan domestik akibat norma sosial patriarkal yang menempatkan mereka sebagai pihak yang harus menanggung beban rumah tangga dan kontrol tubuh, tetapi juga menjadi korban dari aparat, militerisasi, dan perebutan tanah adat. “Jadi, kami juga kasih tahu kepada kawan-kawan perempuan yang lain, juga biar mengetahui apa yang kawan-kawan perempuan alami di Papua sana begitu,” ujar Andreas Paulus Kurpay dari AMP.
Beberapa kasus yang menjadi sorotan terutama perihal kekerasan yang dialami perempuan Papua dalam memperjuangkan tanah adat. Seperti kasus proyek strategis nasional (PSN) di Merauke yang menyebabkan sumber kehidupan masyarakat adat terancam. Kemudian yang tidak kalah menginspirasi datang dari cerita tentang Mama Yosepha Alomang, seorang pahlawan lingkungan perempuan dari Amungme yang sejak lama menghadapi tekanan, intimidasi, hingga kehilangan pribadi dalam perjuangannya melawan perampasan tanah adat. Meski mengalami penyiksaan dan diskriminasi, ia tetap berdiri tegar membela kampung, hutan, dan martabat kaumnya. Kesaksiannya dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I pada 1999 menggugah solidaritas perempuan adat dari berbagai daerah, dan perjuangannya kemudian diakui melalui penghargaan HAM dan lingkungan internasional.
Jalan-jalan terjal bagi perempuan belum berhenti sampai di sana. Zaman memang telah berubah namun luka yang sama tetap menganga. Selain penyiksaan secara fisik, nyatanya perempuan tidak hentinya menerima serangan dari berbagai bentuk. Pada dewasa ini, kekerasan dalam ruang digital turut menggerogoti luka-luka bagi putri Pertiwi. Komnas Perempuan menulis Catatan Tahunan (Catahu) yang pada 2024 menunjukkan 330 ribu lebih kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Tidak hanya itu, melalui catatan SAFEnet pada bulan Juli hingga September 2025, di ranah daring perempuan masih sangat rentan menjadi objek Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan sekitar 605 kaus, dan 399 aduan.
Pernak Piknik hari itu nyatanya tidak hanya menyajikan perhiasan-perhiasan cemerlang, tapi juga realita tentang orang-orang yang berjalan di atas tanah yang kaya, namun mati tertusuk duri. Pada akhirnya acara hari itu menjadi ruang ingatan bahwa ada kisah-kisah getir yang terus berlangsung, kisah tentang perempuan, tentang tanah, tentang tubuh yang dipertaruhkan, dan tentang suara-suara yang masih harus diperjuangkan untuk benar-benar terdengar.
“Kalau untuk acara hari ini ini sebetulnya sangat bagus sekali karena bisa mengumpulkan setiap elemen,” ungkap Andreas Paulus Kurpay melihat antusiasme peserta. Menurutnya kegiatan seperti ini membuat semua peserta dapat saling berbagi pengalaman dan membuka pemahaman baru. Dengan begitu, pengalaman yang dialami masyarakat Papua dapat dibagikan kepada kawan-kawan di tempat lain, dan sebaliknya, pengalaman peserta di daerah juga dapat dipelajari oleh mereka. Ia menegaskan bahwa proses saling belajar inilah yang membuat pertemuan semacam ini menjadi penting.
Tidak lama menjelang turunnya matahari di ufuk barat, para peserta mulai menyelesaikan karyanya masing-masing. Bunga-bunga sudah terangkai, terikat menjadi satu kesatuan yang menunjukan kreativitas peserta. Gantungan kunci, gelang-gelang, puisi dan sablon cungkil juga turut menunjukkan ragam kreativitas.
Pernak Piknik menunjukkan bahwa kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tidak harus seremonial. Dan hari itu, piknik yang tampak sederhana menjadi ruang yang nyaman untuk terus bertumbuh, belajar, dan bersenang-senang di tengah penatnya hari. Acara seperti ini berfungsi sebagai grassroots mobilization atau ruang pertemuan akar rumput di mana solidaritas dibangun melalui obrolan, kreativitas, dan perjumpaan antarkomunitas.




