
Riki (nama samaran) sudah melaut sejak tahun 2017. Ia berasal dari pesisir Jawa Tengah, sehingga sudah akrab dengan laut. Melaut dari satu kapal ke kapal lain membuatnya kenal dengan banyak kapten kapal.
Bosan dengan kapal laut domestik, Riki mencoba peruntungan menjadi pekerja migran di kapal asing. Namun, proses pemberkasan memakan waktu yang cukup lama. Sembari menunggu pemberitahuan pemberangkatan dari perusahaan, Riki mencoba mencari pekerjaan lain.
Di Facebook, Riki menemukan iklan lowongan kerja Anak Buah Kapal (ABK). “Dicari dua orang untuk dipekerjakan di kapal C Bali, Benoa,” begitu kurang lebih isi iklannya dengan kontak WhatsApp yang dapat dihubungi. Hal yang membuat Riki tertarik dengan iklan tersebut adalah lokasinya, yaitu di Bali. Sudah sejak lama Riki ingin pergi ke Bali, tapi tak kunjung mendapatkan kesempatan.
Riki masih ingat betul ketika melihat iklan di Facebook ia langsung mengontak pemasang iklan pada tanggal 6 Agustus 2025 pukul 09:00 siang. Tak lama setelah itu, ia langsung dikabarkan bahwa mereka akan berangkat pukul 14:00. Riki pun mengiyakan tawaran tersebut.
Namun, kendaraan yang menjemputnya tak langsung menuju Bali. Mereka berhenti di Pekalongan pukul 18:00 untuk menunggu ABK lainnya. “Kalau besok mah mending saya balik lah,” ujar Riki. Pasalnya, menunggu di sana berarti menghabiskan uang untuk makan, minum, dan rokok.
Akhirnya, pukul 24:00 Riki bertanya pada orang yang membawanya ke Pekalongan. “Bos, ini maksudnya gimana? Kalau besok mah mending saya balik,” kata Riki. Orang yang disebut “bos” itu pun menjawab bahwa makan, minum, dan rokok selama perjalanan akan ditanggung, sehingga Riki tak perlu khawatir. Mendengar hal itu, Riki merasa lebih tenang dan memutuskan untuk ikut menunggu.
Keesokan harinya pukul 18:00, semua ABK yang akan berangkat ke Bali sudah berkumpul di Pekalongan. Mereka pun berangkat menuju Bali pukul 20:00 menaiki jet bus mini. Rombongan tiba di Benoa tanggal 9 Agustus 2025 pukul 04:00. Mereka tak langsung naik ke kapal, tetapi diajak untuk ke mes.
Perasaan Riki tak enak. Ia khawatir dirinya ditempatkan di kapal cumi. Artinya tidak sesuai dengan iklan yang ia lihat. Ia juga khawatir “kena calo”, yaitu ditempatkan oleh perantara tanpa izin resmi. “Saya sudah hafal kalau kita sudah ke mes, sudah pasti kena calo,” ujar Riki. Di mes, Riki berusaha tidur dengan perasaan khawatir.

Pukul 09:00 tanggal 9 Agustus 2025, setelah tidur hanya beberapa jam, Riki dibanggunkan untuk bertemu dengan seorang calo berinisial M. M meminta dokumen yang dipegang para ABK, yaitu KTP, buku pelaut, dan sertifikat Basic Safety Training (BST). Selain dokumen, M juga meminta handphone para ABK. Namun, Riki menolak karena prosedur yang dijalankan berbeda dari biasanya dan tidak sesuai dengan tawaran awal.
M marah ketika mendengar penolakan Riki. “Kalau nggak mau ya udah. Balikin aja uang ongkos tadi,” kata M menagih ongkos perjalanan sebesar Rp2,5 juta. Permintaan tersebut dianggap tak masuk akal oleh Riki karena perjanjian awal menyebutkan bahwa biaya berangkat ditanggung oleh calo. Riki pun tak bisa berkutik. Ia tak memegang uang sepeser pun dan tak mungkin meminta uang pada istrinya di rumah.
Keanehan pun muncul lagi ketika M menunjukkan kontrak kepada para ABK. Di kontrak tersebut tertulis masa kerja 8 bulan. Idealnya, kapal dari Bali ke Merauke membutuhkan waktu setidaknya 10 bulan sampai 1 tahun. Tak bisa menolak lagi, Riki hanya bisa berpasrah. Upah yang dijanjikan Rp5 juta dipotong Rp2.5 juta untuk biaya akomodasi, dipotong lagi dengan bon makan dan rokok ketika di kapal nanti.
Tiba di kapal KM Awindo 2A, para ABK bertemu dengan IPS (inisial tersangka pelaku) dan rekannya diduga oknum dari kesatuan Polisi Air dan Udara (Polairud). Dua oknum Polairud memotret kartu identitas para ABK.
Selama berada di KM Awindo 2A, Riki mengaku makanan yang diberikan tidak layak. Nasi yang dimasak koki tidak matang, masih terasa seperti beras. Belum lagi lauk yang disajikan hanya mie instan. Lima bungkus mie instan dibagi untuk 30 orang. Tempe dipotong kecil-kecil, satu orang mendapat satu potong tempe. Air bersih untuk minum pun tak pernah dikonsumsi Riki. Sehari-hari, ia bersama ABK lainnya hanya minum air mentah dari palka, tempat penyimpanan ikan.
Dari tanggal 9-13 Agustus 2025, para ABK diminta bekerja membersihkan kapal, dari mengecat kapal hingga mengangkat barang logistik. Padahal, saat itu belum ada tanda tangan kontrak.
Kondisi kapal selama 5 hari itu masih berada di kawasan Pelabuhan Benoa, tetapi tidak bersandar ke daratan. Apabila ingin ke darat, mereka harus naik sampan (perahu kecil). Namun, akses ke darat pun susah karena pengawasannya sangat ketat. Tiap malam para ABK tidak bisa beraktivitas karena lampu padam total pada pukul 18.00. “Kalau pengen gunain perahu itu diatur sama pengurus atau kapten. Jadi, semisal mereka butuh beli sesuatu ke darat, itu harus izin dulu. Kalau misalnya kaptennya nggak ngasih izin, ya udah mereka nggak bisa apa-apa,” ujar Riki.
Tanda tangan kontrak baru dilakukan sekitar hari kedua atau ketiga di atas kapal. IPS dan satu rekannya dari oknum Polairud mendatangi kapal dengan membawa kontrak. Dua orang tersebut menodongkan kontrak kepada para ABK untuk ditandatangani. Riki menemukan kejanggalan karena penyerahan kontrak tersebut tidak disertai penjelasan. “Buruan tanda tangan. Saya mau ke darat ini ada kepentingan lagi,” kata IPS. Kejanggalan lain adalah kontrak tersebut dibawa oleh oknum Polairud. Di daerah lain, kontrak biasanya diberikan oleh perusahaan kapal.
Lima hari terisolasi di kapal, para ABK akhirnya bisa menghela nafas lega ketika sejumlah petugas dari Polda Bali menemukan kapal mereka.
Riki merupakan satu di antara 21 korban penyekapan di atas kapal KM Awindo 2. Dugaan penyekapan muncul dari temuan Polda Bali ketika sedang patroli di wilayah Pelabuhan Benoa. Dari sejumlah temuan dan pernyataan korban, kasus ini dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melanggar hak asasi manusia. Saat ini, Polda Bali sedang mengembangkan tersangka. Sementara, ada enam tersangka yang sudah ditetapkan, yaitu MAS, JS, I, R, TS, dan IPS.
Fenomena gunung es pelanggaran hak pekerja
Kasus pelanggaran hak pekerja perikanan bagaikan fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan, padahal kasusnya sangat banyak di bawah. Dari tahun 2019 hingga saat ini, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menerima 29 aduan kasus pelanggaran dengan jumah korban 98 orang. Pengaduan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Pulau Bali. Aduan kasus pelanggaran paling banyak terjadi adalah gaji tidak dibayarkan atau pemotongan upah dan terkait asuransi.

“Bali ini termasuk yang cukup banyak kasus-kasusnya. Dia ada pelabuhan besar di situ dan banyak ABK yang keluar masuk itu dari Bali,” ujar Siti dari DFW Indonesia sekaligus Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap). Hal serupa juga disampaikan oleh Andi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali bahwa pelaporan TPPO Benoa bisa dibilang sangat masif. “Pola yang sering kami temui dan tangani itu soal penanganan dokumen,” ujar Andi.
Sebelumnya, ada kasus aduan ABK masuk terkait upah tidak layak. Ketika kasus tersebut ingin ditangani oleh DFW Indonesia dan LBH Bali, pihak perusahaan sudah lebih dulu mengubah kontraknya.
Selain kasus TPPO ABK, LBH Bali bersama DFW Indonesia juga pernah menemui kasus anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sedang magang dikirim untuk menjadi ABK oleh salah satu agen. Padahal, anak tidak bisa dipekerjakan. Namun, kasus ini berakhir karena orang tua korban tidak ingin meneruskan laporan.
Dua kasus tersebut menunjukkan bahwa indikasi TPPO masif ditemukan di Pelabuhan Benoa. Namun, kasus-kasus tersebut berhenti di tengah jalan, sehingga tidak muncul ke permukaan.
Perlindungan pekerja perikanan di Indonesia hanya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022. PermenKP Nomor 33 Tahun 2021 mengatur tentang log book penangkapan ikan, pengaturan pemantauan di atas kapal, inspeksi, pengujian, dan tata kelolanya. Permenhub Nomor 59 Tahun 2021 mengatur tentang penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. Sementara, PP Nomor 22 Tahun 2022 lebih mengatur tentang pekerja migran.
Andi menyebutkan adanya tumpang tindih antara tiga peraturan ini karena diatur oleh tiga kementerian yang berbeda. “Ini yang membuat eksekusinya agak bermasalah,” ujar Andi. Misalnya, dalam kasus Riki, ketika Tangkap bertanya kepada Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Benoa terkait perlindungan pekerja, mereka hanya berpaku pada PermenKP. “Padahal sebenarnya aturan di luar itu, contoh di Undang-undang Tenaga Kerja atau Peraturan Pemerintah terkait ABK sebenarnya mengatur, tetapi dari Syahbandar Pelabuhan tidak mau membuka perspektifnya bahwa ada aturan perundang-undangan lain yang legal di Indonesia,” jelas Andi.
DFW Indonesia, LBH Bali, bersama beberapa pihak sedang mengadvokasi agar pemerintah daerah dapat mengeluarkan Perda terkait perlindungan pekerja perikanan. Pasalnya, Bali menjadi tempat keluar masuk ABK, tetapi masih terjadi kekosongan hukum karena tidak ada peraturan terkait perlindungan pekerja perikanan.
Pada 11 Juni 2025, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 372/03-R/HK/2025 tentang Forum Daerah Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan Provinsi Bali dan Sekretariat Forum Daerah Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan Provinsi Bali Periode Tahun 2025-2028. Forum ini merupakan forum lintas institusi dinas untuk mendiskusikan tumpang tindih regulasi perlindungan pekerja perikanan. Namun, lima bulan setelah disahkan, belum ada diskusi kembali dalam forum ini.





