Liputan Mendalam

Oleh: Ebed de Rosary

Lamakera merupakan nama sebuah kampung di ujung timur Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tengggara Timur (NTT). Lamakera terdiri atas 2 desa yakni Desa Watobuku dan Motonwutun.

Nama Lamakera terkenal berkat tradisi menangkap ikan Pari Manta (Manta birostris). Nelayan di wilayah ini menangkap Ikan Pari Manta dengan cara menombaknya.

Ditemui di kantor Koperasi Kera Murin di Desa Menanga, Ibukota Kecamatan Solor Timur, Selasa (8/6/2021), Moh. Natsir Hasan, putra asli Lamakera banyak bercerita soal tradisi ini.

Natsir sapaannya mengatakan tradisi penangkapan ikan besar seperti paus, lumba-lumba, hiu, pari dan lainnya ada sejak hadirnya masyarakat Lamakera pertama di wilayah itu.

Dikisahkan Natsir dari penuturan turun temurun, dua bersaudara bernama Kia Bagalalimari, sang kakak menggunakan Perahu Sowa dan Juang Meti sang adik menggunakan Perahu Barebok berlayar meninggalkan Paga, wilayah di Kabupaten Sikka. Keduanya meninggalkan tempat kediamannya ketika terjadi air pasang atau tsunami yang melanda wilayah ini. Mereka bersama para pengungsi, berpindah mencari sebuah tempat yang aman untuk menetap.

“Keduanya sepakat berlayar ke arah timur mencari tempat yang aman untuk menetap. Syaratnya di tempat tersebut ada pertemuan dua arus karena ikan-ikan besar berada di wilayah itu,” ucapnya.

Natsir menyebutkan, kedua kakak beradik ini pun berlayar menuju Laut Sawu di ujung timur Pulau Flores. Selama perjalanan, kedua perahu ini selalu singgah di setiap tempat dan menurunkan pengungsi yang ikut bersama di dalam perahu.

Singkatnya, sampailah mereka di ujung Pulau Solor bagian barat. Keduanya sepakat untuk berpisah. Sang kakak berlayar melewati laut utara Pulau Solor dan adiknya melewati laut selatan Pulau Solor. Mereka berjanji akan bertemu di ujung timur pulau ini.

Dalam pelayaran, sang kakak selalu singgah di setiap tempat yang dianggap layak, tapi selalu diusir oleh pemilik tanah setempat. Hingga akhirnya berlabuh di ujung timur Pulau Solor sambil menunggu adiknya.

Sang adik selama dalam pelayaran memanfaatkannya dengan mengejar dan menangkap ikan. Ia terdampar di Lamalera, Kabupaten Lembata dan meminang Sabu Juang Ninang sebagai istri dan menetap di wilayah ini.

“Mengingat pesan dan kesepakatan bersama sang kakak, si adik Juang Meti dan istri dan anak buahnya kembali ke ujung Pulau Solor bagian timur,” ungkap Natsir.

Akhirnya kedua kakak beradik ini bertemu di ujung tanjung Pulau Solor bagian timur yang kini disebut Tanjung Motonwutun. Juang Meti bertanya kepada kakaknya kenapa tidak berusaha turun ke darat. Kakaknya menjawab bahwa di darat, nampak warga selalu membawa tombak, panah, dan parang serta ditemani beberapa ekor anjing peliharaan.

Setiap pagi, mereka turun dari bukit dan menjelang petang kembali ke atas bukit, kediamannya. Kakaknya mengaku trauma karena setiap persinggahan sebelumnya selalu diusir warga asli.

“Sang adik berdiskusi dengan pemilik tanah bernama Mana Dato Nama yang mengajak keduanya turun ke darat dan bernegosiasi. Dicapailah kesepakatan, tanah di tanjung tersebut bisa dimiliki jika kedua belah pihak bisa sama-sama barter hewan yang ditentukan,” papar Natsir.

Kedua kakak beradik harus menyiapkan seekor ikan paus berekor, disebut ikan Mana, dan pihak pemilik lahan memberikan seekor babi berekor ular. Kedua belah pihak sepakat bertemu 7 hari kemudian untuk barter hewan yang disepakati.

Si adik, Juang Meti yang didaulat mencari ikan tersebut. Juang Meti melakukan seremonial adat Buka Lewa (membuka laut). Sejak saat itulah, kata Natsir, tradisi menangkap ikan berukuran besar di Lamakera mulai dilakukan.

Juang Meti pamit pada istrinya dan menyampaikan selama tujuh akan melaut dan istri tidak boleh mengatakan apapun. 

“Satu minggu kemudian Juang Meti dijemput namun tidak membawa hasil. Tuan tanah Mana Dato Nama juga kembali tidak membawa hasil tangkapan,” ucap Natsir.

Sesuai waktu yang disepakati, kedua belah pihak bertemu tepat di ujung tanjung Motonwutun. Akibat kedua belah pihak tidak mendapatkan hewan sesuai kesepakatan, maka konsekuensinya batas dari pinggir laut sampai ke batas selatan kampung Tanahwerang (kampung asli Mana Dato Nama yang berada di atas bukit selatan Kampung Lamakera) adalah milik kedua belah pihak.

Keduanya bersatu dalam “Naju Baja” sesuai kesepakatan. Saat pertemuan ada jamuan makan. Makanan dan minuman ditempatkan di dalam Lamak, wadah yang terbuat dari anyaman daun Lontar atau Kera. Nama kampung baru ini dinamakan “Lamak di Kera” yang dalam perkembangannya berganti menjadi Lamakera.

Sementara sisa makanan yang dimakan pada saat terjadi perundingan di tanjung (Wutun) digantung di ujung ranting pohon kelor (Moton). Makanya, nama tanjung di ujung Lamakera dinamakan Tanjung Motonwutun yang juga nama desa di Lamakera.

Moh.Natsir Hasan yang merupakan salah satu tokoh masyarakat yang peduli konservasi ekosistim laut, yang juga pengurus koperasi nelayan Kera Murin. Foto: Ebed de Rozari

Bertahan Saat Pandemi

Pagi itu, Selasa (8/6/2021) cuaca di Lamakera nampak cerah. Laut Flores tampak bersahabat. Sejak subuh, satu per satu kapal kayu nelayan tradisional mulai merapat ke pantai. Para perempuan pembakul tampak duduk di balik talud pengaman pantai.

Pandemi Corona membuat pendapatan nelayan dan perempuan pembakul yang biasa menjual hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan pendapatan. Ditemui saat membeli ikan dari kapal lampara, Jubaidah Suwaib perempuan pembakul tampak bersemangat. Dirinya berkisah soal menurunnya pendapatan.

Ia mengaku membeli ikan cakalang dari nelayan seharga Rp8 ribu per ekor dan menjualnya seharga Rp10 ribu per ekor. Ikan tuna ukuran 5 kg dibeli seharga Rp18 ribu.

“Selama Corona sulit sekali jual ikan apalagi terjadi banjir bandang di Pulau Adonara karena kami biasa menjual ikan di Waiwerang dan wilayah Kecamatan Adonara Timur,” ungkapnya.

Jubaidah mengaku sebelum pandemi Corona biasanya sehari bisa mengantongi keuntungan bersih Rp200 ribu. Sejak Corona ia hanya dapat untung bersih Rp50 ribu sehari.

Tidak laku terjual, ikannya pun dibawa pulang, dibelah dan dijemur di panas matahari untuk dijadikan ikan asin. Covid-19 juga membuat nelayan jarang melaut sehingga dirinya dan puluhan pembakul lainnya tidak menjual ikan. Selain susah menjual ikan, harga jualnya pun merosot tajam.

Nelayan Lamakera, Sulaiman mengaku tetap melaut meski harga jual ikan tuna dan cakalang anjlok. Sebelum Corona nelayan menjual ikan tuna ukuran 5 kg dengan harga Rp30 ribu sampai Rp40 ribu per ekornya tapi sejak Corona turun hingga Rp20 ribu per ekor.

“Akibat pembatasan wilayah dan beberapa pabrik ikan di Kota Larantuka tutup membuat harga ikan turun. Selain itu daya beli masyarakat juga menurun drastis,” terangnya.

Sulaiman tetap semangat melaut guna memenuhi kebutuhan keluarga. Ia berterus terang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Meski pendapatan menurun, melaut tetap jadi andalan karena sebagian besar nelayan Lamakera menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.

Daging ikan Pari Mobula yang dijemur hingga kering sebelum dijual ke pasar. Foto : Ebed de Rozari

Harga Jual Menggiurkan

Kampung nelayan Lamakera merupakan wilayah padat penduduk.Kampung ini terdiri atas dua desa yang berdekatan hanya terpisah jalan. Desa Motonwutun di sebelah timur dan Watobuku di wilayah baratnya.

Dahulu warga Lamakera menggunakan perahu menombak berbagai ikan berukuran besar selain memancing.

Perahu penombak pari manta di bagian depannya ada anjungan sebagai tempat berdiri para penombak. Perahu tersebut juga merupakan perahu layar dan menggunakan dayung.

Kini perahu yang dipakai menombak ikan termasuk pari manta diubah menjadi kapal penangkap ikan. Anjungan dilepas dan tempat memasang dayung di samping perahu ditutupi kayu. Perahu pun dipasangi mesin sehingga bisa digunakan sebagai kapal lampara maupun kapal jaring gill net.

Arifin, mantan penombak pari manta yang ditemui di rumahnya di Desa Motonwutun, Lamakera, Selasa (8/6/2021) mengaku sejak kelas 4 SD sudah mulai melaut bersama sang ayah. Selain melepas bubu dirinya pun ikut jadi penombak pari manta. Ia mengatakan hampir semua nelayan di Desa Motonwutun menombak pari manta. Saat pari manta berada di atas permukaan laut kapal nelayan akan mengejar dan menombak.

“Sebelum tahun 2014, insangnya mahal. Satu kilogram Rp75 ribu dan satu ekor pari manta berukuran besar insangnya bisa mencapai 15 kilogram. Dagingnya dipotong berbentuk bulat seperti gelang sehingga sering disebut ikan gelang,” ucapnya.

Selain insang, dagingnya pun lumayan mahal. Satu ikat dijual Rp350 ribu. Satu ekor pari manta berukuran besar dagingnya bisa mencapai 20 ikat.

Dia menyebutkan, ikan pari manta mulai banyak ditangkap sejak bulan Juni dan nelayan berhenti menombak saat musim hujan. Dalam sehari satu kapal kadangkala bisa menombak 3 sampai 4 ekor pari manta.

“Kalau musim hujan kami tidak menombak pari manta karena dagingnya tidak bisa dijemur. Harus musim panas agar dagingnya bisa dijemur di panas matahari agar cepat kering dan dijual,” ucapnya.

Kemeterian Kelautan dan Perikanan menerbitkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.

Pari Manta yang ditetapkan perlindungannya adalah 2  jenis Pari Manta yaitu Manta Karang (Manta alfredi) dan Manta oceanik  (Manta birostris) .

Kepala Bidang Perijinan Usaha dan Sumber Daya Perikanan, Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, NTT, Apolinardus Y. Lia Demoor yang ditemui di kantornya, Jumat (11/6/2021) mengaku kerap melakukan penangkapan penjual insang pari manta.

Dus, sapaannya mengatakan insang pari manta biasanya dijual nelayan kepada pengepul di Lamakera. Pengepul menjualnya kepada penjual di Surabaya yang datang membelinya di Kota Larantuka.

Penjual hanya mengetahui insang tersebut dipergunakan sebagai bahan campuran obat oleh orang Cina. Ini yang membuat harganya menjadi mahal karena sulit diperoleh.

“Kalau dagingnya sejak dahulu dijual untuk dikonsumsi masyarakat lokal saja. Banyak yang mengatakan dagingnya lebih enak sehingga harga jual pun lebih mahal,” terangnya.

Dus menambahkan, sejak mulai berlakunya Kepmen tersebut, sudah beberapa kali dilaksanakan sosialisasi dan advokasi bagi nelayan Lamakera. Tahun 2016, sosialisasi dilakukan Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur  dan tahun 2017 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT beserta tim terpadu.

Tahun  2018 dilaksanakan sosialisasi dalam workshop tim terpadu yang melibatkan juga Direktur Pol Air Polda NTT, BPSPL Denpasar, Kapolres Flores Timu, Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, dan DKP Provinsi NTT.

“Beberapa kali kami menangkap penjual insang pari manta. Gencarnya operasi membuat penjualan insang pari manta perlahan hilang dan berdampak terhadap penangkapan pari manta,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Satwas SDKP Flores Timur Petrus Rinto Fernandez saat ditemui di kantornya, Jumat (11/6/2021). Rinto sapaannya mengaku penjualan insang pari manta pun tidak ditemukan lagi.

Operasi terakhir yang dilakukan diamankan 15 kg insang pari manta yang dibawa nelayan di KM.Trisakti. Dalam operasi penangkapan, Senin (1/10/2018) di Pelabuhan Larantuka, pelakunya sempat kabur meninggalkan insang pari manta di dalam 3 kardus.

Para perempuan pedagang ikan atau pembakul sedang membawa ikan yang baru dibeli dari nelayan Lamakera. Foto : Ebed de Rozari

Konservasi Manta di Flotim

Pagi itu, Selasa (8/6/2021)laut depan Talud Lamakera nampak tenang. Menjelang pagi, satu persatu kapal lampara, penangkap tuna dan pukat hanyut mulai merapat ke bibir pantai.

Para perempuan pembakul yang biasa membeli ikan dari kapal nelayan telah setia menanti. Mereka terlihat duduk di batang-batang kayu berukuran besar di balik tanggul penahan gelombang. Ada yang duduk di atas tanggul sambil memandang kapal yang merapat.

Di pesisir pantai terlihat daging ikan pari sedang dijemur di batang-batang kayu. Daging ikan dipotong berbentuk bulat sehingga sering dinamakan Ikan Gelang.

Satu per satu ikan hasil tangkapan nelayan seperti selar, tongkol, cakalang, dan tuna diturunkan dari kapal. Perempuan pembakul pun berebut menawarkan ikan-ikan tersebut dan membelinya.

Terlihat seekor ikan pari manta berukuran sekitar 700 sentimeter diletakan nelayan di pasir. Pari manta tersebut terkena jaring insang (gill net). Nelayan Lamakera kerap menggunakan jaring insang hanyut saat malam maupun siang hari.

Bagaimana siasat mengurangi penangkapan pari manta? Pada 2014, LSM Misool Baseftin menggandeng beberapa LSM melakukan riset dan survei terkait ekonomi, sosial, dan budaya terkait penangkapan ikan pari manta bagi nelayan Lamakera.

Ditemui di kantornya di Kota Larantuka, Senin (7/6/2021), Maria Yosefa Ojan kepala kantor Misool Baseftin Flores Timur mengatakan hasil dari riset dan survei meyimpulkan konsep pemberdayaan dan menawarkan pengembangan ekowisata berbasis komunitas.

Evi sapaannya menerangkan, pada 2017 pihaknya membentuk kelompok home stay dan kelompok atraksi wisata. Tapi dalam perjalanan, penegakan hukum mulai diperketat pada 2015 hingga 2016.

“Tahun 2015 ada penangkapan penjual insang pari manta asal Lamakera oleh polisi sehingga menimbulkan resistensi atau konflik di Lamakera yang berimbas pada program yang kami tawarkan,” ucapnya.

Evi sebutkan, warga berpikir pihaknya melakukan pengawasan terhadap penangkapan pari manta sehingga kepala desa memberhentikan sementara programnya di Desa Motonwutun. Karena mengkhawatirkan keselamatan tim di lapangan maka Misool Baseftin akhirnya mundur. Padahal peralatan selam dan lainnya untuk menunjang wisata melihat pari manta sudah dibeli.

“Masyarakat dan pemerintah desa beralasan takut akan ada dampak negatif dari pariwisata ketika wisatawan asing banyak berkunjung ke Lamakera,” ucapnya,

Pihaknya mencoba melakukan strategi pendekatan ke Desa Watobuku tetangga Desa Motonwutun di Lamakera. Saat itu belum ada pemilihan kepala desa sehingga sementara dijabat ASN dari kantor camat. Misool mendapat dukungan dari pejabat kepala desa sehingga masyarakat dilibatkan dalam kegiatan observasi pari manta tahun 2016.

“Kapal-kapal yang digunakan dalam observasi merupakan milik nelayan yang biasa menangkap pari manta. Kami sewa dengan biaya sehari maksimal Rp1 juta agar mereka tidak melaut dan menangkap pari manta,” ucapnya.

Pada 2016 Misool juga mengembangkan program perikanan berkelanjutan lewat pembuatan rumpon, keramba jaring apung, dan kapal lampara. Semua proses pengerjaannya melibatkan mantan nelayan penangkap pari manta.

Namun, saat sedang proses pembuatan keramba jaring apung terjadi proses pemilihan kepala desa. Setelah 2 bulan menjabat, karena desakan masyarakat kepala desa membatalkan program Misool di desanya.

Dampaknya, pembuatan jaring apung tidak berjalan  dan pembuatan kapal lampara juga terhambat. Program pemberdayaan di Desa Watobuku pun ikut terhambat. Misool pun sementara vakum sementara di dua desa di Lamakera tersebut.

Kantor Koperasi Nelayan Kera Murin yang dibangun di Desa Mananga, Kecamatan Solor Timur. Foto : Ebed de Rozari

Koperasi Konservasi

Walau mengalami sejumlah penolakan, ada secercah harapan. Ketika ada seminar masyarakat Lamakera di Kupang, Misool hadir dan bertemu dengan salah satu anggota DPR RI asal Lamakera yang melihat program yang ditawarkan Misool.

“Ia mengutus beberapa anak muda untuk mendampingi program kami. Anak-anak muda ini berhasil mengakomodir 20 nelayan mantan penombak pari manta di Desa Motonwutun dan kepala desanya pun mendukung program perikanan berkelanjutan dengan pengerjaan kapal lampara,” sebut Evi.

Misool Baseftin akhirnya kembali lagi ke Desa Motonwutun, desa awal pendampingan. Pihaknya melakukan inisiasi hingga pembentukan koperasi. Saat kapal lampara selesai dikerjakan, koperasi nelayan Kera Murin pun secara legal berdiri.

Sejak 2017, sebanyak 20 nelayan eks pemburu pari manta ini pun mulai sadar bahkan ada yang menjual kapal penangkap pari manta dan bergabung di Koperasi Kera Murin. Mereka membuat kapal lampara dan mengelolanya. Kantor koperasi pun didirikan di Desa Menanga.

“Untuk menjadi anggota koperasi harus ada pernyataan tertulis. Ada komitmen yang harus dipatuhi anggota koperasi yakni tidak lagi menombak pari manta dan menangkap ikan menggunakan bom atau bahan peledak dan racun,” terang Evi.

Misool juga menggaet nelayan dengan memberikan bantuan beasiswa bagi anak nelayan. Koperasi juga memiliki unit usaha kapal lampara, simpan pinjam, mini market, dan mesin es serut untuk pengawet ikan.

Kini telah 3 tahun koperasi menjalankan Rapat Anggota Tahunan (RAT). Jumlah anggota hingga Mei 2021 sebanyak 118 orang.

Evi mengatakan Misool mengkampanyekan konservasi dan program edukasi nelayan melalui koperasi. Karena koperasi nelayan, maka setiap kali pertemuan di kelompok nelayan pihaknya selalu mengkampanyekan konservasi laut.

Sebanyak  85 persen anggota koperasi merupakan nelayan dan sisanya 15 persen berprofesi lainnya seperti guru dan pegawai yang dianggap berkontribusi mengembangkan koperasi dan peduli terhadap konservasi.

“Tantangan yang utama bagaimana kita membutuhkan waktu cukup panjang menyadarkan anggota mengenai koperasi bukan sekedar pinjam uang tetapi saling membantu dan ada prinsip keberlanjutan,” ucapnya. Kera artinya wadah anyaman dari daun Lontar yang dipakai untuk meyendok arak, sementara Murin artinya anak muda. Koperasi Kera Murin maknanya kumpulan anak muda.

Pemilihan koperasi untuk mengajak masyarakat melakukan konservasi laut dan sejauh ini positif. Secara keseluruhan, nelayan dinilai sudah tidak menombak pari manta dan menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan racun. Kalau diketahui ada pelanggaran maka akan dikeluarkan dari keanggotaan koperasi.

Pihaknya melihat, koperasi bisa membantu pemenuhan kebutuhan pokok dan mempermudah pembelian alat tangkap bagi nelayan. Misool memilih melakukan pendekatan persuasif ketimbang pendekatan hukum karena saat dilakukan pendekatan hukum masyarakat akan menjauh.

Evi menilai, gerakannya baru mencapai angka 6 dari skor 1-10 karena baru ada 118 anggota koperasi. Masih banyak nelayan yang belum bergabung di koperasi.

“Untuk mengalihkan nelayan menangkap pari manta maka koperasi saat ini menjadi pilihan yang bagus,” ucapnya.

Arifin Tawi, mantan nelayan penombak Pari Mata saat ditemui di rumahnya di Desa Wotonmutun, Lamakera. Foto : Ebed de Rosary.

Bisa Membawa Perubahan

Malam itu, Senin (7/6/2021) beberapa tokoh nelayan berkumpul. Kehadiran staf Misool Baseftin selalu dinantikan. Diskusi mengenai koperasi nelayan dan pari manta yang masih ditangkap pun mewarnai pembicaraan.

Mantan penombak pari manta Husain Ahmad mengaku penangkapan pari manta marak sebelum adanya larangan pemerintah. Dirinya ikut di kapal nelayan Desa Motonwutun yang saban hari mencari pari manta untuk ditombak.

Husain mengatakan, adanya larangan pemerintah dan edukasi dari Misool membuat nelayan kian sadar. Dirinya pun salut dengan kerja keras Misool dalam pendampingan meskipun kerap ditentang warga Lamakera.

Mantan penombak pari manta asal Desa Motonwutun, Arifin Tawi pun mengaku kehadiran Misool bisa membantu nelayan yang mengalami penurunan pendapatan sejak pelarangan penangkapan pari manta.Bersama mantan penombak pari manta lainnya, ia ikut membuat kapal lampara milik Koperasi Kera Murin.

“Adanya koperasi Kera Murin yang dibentuk Misool membuat kita bisa menyimpan uang, meminjam dan jadi ABK di kapal lampara. Kita juga dapat pembagian keuntungan dari koperasi,” ucapnya.

Ketua Badan Pengawas Koperasi Kera Murin, Moh. Natsir Hasan mengakui, walau terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat Lamakera, namun masih ada sebagian yang masih mau terima kehadiran Missol. Para nelayan diberdayakan dan mulai memahami arti pelestarian lingkungan khususnya lingkungan laut. Sebagai lahan nelayan dalam mempertahankan hidup dan mewariskan pada generasi selanjutnya.

Masyarakat juga belajar berorganisasi dalam wadah kooperasi, belajar menyimpan uang dan lainnya. Natsir meyakini, kehadiran Misool bisa membuat nelayan sejahtera dan membawa kemajuan bagi Lamakera.

Unit Usaha Perikanan Kapal Lampara yang dikelola oleh para mantan penombak Pari Manta. Foto: Yayasan Misool Baseftin.

Pekerjaan Rumah

Data yang diperoleh dari Misool Baseftin Flores Timur menyebutkan,Pari Manta (Manta birostris) yang ditangkap nelayan sejak tahun 2015 hingga 2020 mencapai 568 ekor.

Rinciannya, pada 2015 sebanyak 187 ekor, lalu 128, dan tahun 2017 hanya 23. Pada 2018 ada 59 ekor, pada 2019 sebanyak 136, serta 2020 hanya 35 ekor.

Sementara Pari Mobula (Mubula spp) yang ditangkap sejak tahun 2015 hingga 2020 jumlahnya mencapai 1.537 ekor. Rinciannya, mulai 2015 tertangkap 166 ekor, lalu 132, 292, 506, 370, dan tahun 2020 hanya 71 ekor.

Evi mengaku lega keberhasilan pendampingan pemberdayaan di Lamakera mulai nampak meski ada riak-riak kecil hingga saat ini. Secara keseluruhan, penangkapan pari manta dengan cara menombak sudah tidak dilakukan tetapi pari manta yang tertangkap di pukat hanyut masih tetap ada.

“Nelayan mengimani bahwa ikan yang tersangkut di jaring merupakan rezeki yang diberikan Tuhan. Pekerjaan rumah kami masih besar soal penggunaan pukat hanyut ini karena masih banyak pari manta yang terkena jaring dan mati,” ucapnya.

Natsir juga mengakui, penangkapan ikan pari manta dengan cara menombak sudah tidak dilakukan lagi sejak tahun 2019 sampai dengan saat ini. Namun karena pari manta terperangkap dalam pukat nelayan.

Kapal nelayan Lamakera sedang merapat ke pesisir Pantai Lamakera. Foto: Ebed de Rozari

Peluang Pariwisata

 

Site Coordinator for Flores Waters dari Yayasan WWF Indonesia, Khaifin, menyebutkan sejumlah pari manta yang ditemui di Flores Timur. Misalnya Giant Oceanic Manta Ray (Mobula birostris), Giant Devil Ray (Mobula mobular), Spotted Eagle Ray (Aetobatus narinari), dan Blue Spotted Ribbontail Ray (Taeniura lymma).

Ia menambahkan, secara khusus WWF Indonesia tidak melakukan kegiatan terkait konservasi pari manta di Flores Timur. Menurutnya, pihaknya fokus pada program efektivitas pengelolaan Kawasan Konservasi Daerah (KKPD) Kabupaten Flores Timur yang saat ini dalam proses penetapan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Kegiatan konservasi pari manta merupakan bagian dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKPD Kabupaten Flores Timur. 

Khaifin menyebutkan pari manta adalah hewan dilindungi sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor 4/KEPMEN-KP/2014. Pihaknya belum mengeluarkan position paper terkait penangkapan pari manta di Flores Timur. 

Ia mendukung upaya semua pihak untuk bersama-sama membantu masyarakat dalam melepas ketergantungan dalam penangkapan pari manta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *