Jam di layar telepon genggam Juhardi sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia yang sedari tadi duduk sambil menyeruput kopinya, berdiri dan bergegas masuk ke rumah yang keseluruhan dindingnya berbahan kayu.
Pada Jumat malam pertengahan Juni 2021 lalu itu, Junai, begitu ia disapa, bersiap turun memantau penyu yang naik ke daratan untuk bertelur di Pantai Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Dalam semalam Junai bisa dua kali ini turun. Pertama, biasanya menjelang tengah malam. Antara pukul 20.00 hingga 00.00 WIB. Kedua, mendekati dini hari. Dari pukul 04.00 WIB hingga matahari terbit.
Junai mengencangkan resleting jaket dan mengambil senter. Ia memacu sepeda motornya sejauh enam kilo meter ke arah barat Pantai Paloh. Tongkat khusus sudah terikat rapi di samping kanan motornya. Tongkat ini yang nantinya akan digunakan untuk mengecek di mana saja penyu meletakan telurnya.
“Ujung tongkat ditusuk-tusuk ke pasir. Akan terasa berbeda, jika di dalam pasir itu sudah ada telur penyu,” kata Junai sambil mengendarai sepeda motor.
Tak hanya tongkat, Junai juga membawa ember bekas cat seukuran 25 kg. Ember itu untuk membawa telur-telur penyu. Dia lalu memindahkan mereka ke tempat penampungan sementara. Setelah menetas, barulah bayi penyu atau tukik dilepas ke laut.
Selama memantau, satu-satunya penerangan yang dipakai hanya senter terikat di kepala. Sesekali ia berpaling ke kiri dan ke kanan untuk melihat jejak-jejak penyu yang naik ke daratan. Deburan ombak dan angin pantai menjadi teman setia saat ia memantau jejak penyu di Pantai Paloh.
Malam itu jejak penyu yang naik ke pantai terlihat jelas. Hampir sepuluh jejak yang ditemukan. Namun tak semua membuat sarang untuk bertelur. Hempasan ombak di bibir pantai membuat tebing pasir yang tingginya kira-kira lima puluh centi meter. Tebing itu menyebabkan penyu tak bisa membuat sarang untuk bertelur.
Alhasil, penyu memilih kembali lagi ke laut. Hanya satu saja yang berhasil melewati tebing batas ombak. Meski sempat membuat sarang, penyu ini juga batal bertelur. Hewan ini kembali ke laut.
“Biasa seperti ini. Bisa saja karena pasir yang basah,” kata Junai.
Junai adalah petugas monitoring penyu di Pantai Paloh. Ia tergabung dalam Kelompok Masyarakat Wahana Bahari sejak 2016. Kelompok ini melaksanakan program dan kegiatan pelestarian lingkungan di kawasan Pantai Paloh. Selain menjaga telur penyu dari perburuan, kelompok ni juga membudidayakan madu kelulut untuk mendukung aktivitas konservasi. Saat ini mereka juga sedang membuat konsep eduwisata tentang Penyu di Pantai Paloh.
Anggotanya kelompok adalah masyarakat yang tinggal di seputaran Desa Sebubus, Kecamatan Paloh. Termasuk Junai, warga di Desa Sebubus. Namun, aktivitas menjaga telur penyu dari perburuan itu sudah dilakukannya sejak tahun 2011.
Saat turun memantau sekaligus mendata penyu termasuk jumlah, jenis dan titik koordinat penyu yang mendarat. Penyu yang biasa mendarat antara lain penyu sisik, lekang dan hijau. Sementara Penyu Belimbing sudah jarang terlihat mendarat di Pantai Paloh. Junai menyebutkan terakhir terlihat Penyu Belimbing mendarat tahun 2011.
“Paling dominan itu Penyu Hijau,” katanya.
Sehari-hari ia tinggal di Camp Wahana Bahari. Camp itu sudah seperti rumah kedua baginya. Dalam setahun bisa dihitung hari ia pulang ke tempat tinggalnya di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh. Jarak tempuh dari camp ke rumahnya terbilang jauh, sektar dua jam perjalanan.
Medan yang dilintasi juga terbilang berat. Harus melintas di jalan tanah kuning berlumpur. Kemudian jalan aspal dengan kondisi yang sudah rusak parah. Setelah itu baru tiba di Penyeberangan Cermai. Penyeberangan itu menghubungkan Desa Sebubus dan Camp Wahana Bahari Sungai Belacan.
Bangunan itu rumah bagi petugas monitoring penyu di Pantai Paloh, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Bangunan berdiri bersisian dengan pohon cemara itu juga tempat menginap bagi pelancong yang ingin menikmati destinasi wisata di Pantai Paloh. Inilah pantai peneluran penyu terpanjang di Indonesia.
Ada tiga bangunan berdiri tegak di antara Pohon Ketapang. Semuanya berbahan dasar kayu. Masing-masing bangunan bisa digunakan untuk tempat menginap bagi pelancong. Jarak bangunan dengan Pantai Paloh sekitar seratus meter. Tak heran jika suara ombak menghantam tepian pantai jelas terdengar.
Menariknya operasional dari aktivitas monitoring petugas Wahana Bahari juga didukung dari hasil penjualan Madu Kelulut. Kelompok Masyarakat Wahana Bahari melakukan budidaya madu kelulut. Selain dilakukan dalam bentuk kelompok, sebagai anggota, Junai juga melakukan budidaya madu di rumahnya. Ada tujuh belas log madu kelulut milik bapak tiga anak ini. Dari tujuh belas loq itu, rerata madu kelulut yang bisa dipanen dalam sebulan sebanyak lima hingga sembilan kilo.
Junai mulai membudidayakan madu kelulut tahun 2016. Awalnya dari coba-coba, tetapi kerap gagal. Tahun yang sama ia ikut dalam pelatihan yang digelar Yayasan WWF Indonesia di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.
Dari pelatihan itu ia belajar cara memotong log atau kotak lebah madu kelulut. Belajar juga cara memanen yang baik. “Sebelum pelatihan, asal-asal saja memotong log. Padahal, tidak bisa langsung dipotong karena koloni lebah kelulut akan lari. Kayu yang baru diambil dari hutan, harus dibiarkan dua pekan dulu baru dibuatkan log,” jelas Junai.
Selain itu, budidaya ini pun tidak terlalu rumit. Biaya produksinya pun tidak besar. Biaya hanya untuk membeli kotak lebah madu kelulut. Harganya berkisar Rp250 untuk yang belum siap dibudidaya. Atau seharga Rp500, kotak lebah yang sudah siap untuk produksi. Meski demikian tetap harus dirawat dari hama. Salah satunya adalah semut.
“Tidak ada biaya listrik karena dibiarkan begitu saja,” kata Junai.
Budidaya madu kelulut ini menjadi alternatif pendapatan bagi Junai. Apalagi ketika dihantam pandemi Covid-19. Madu dipercaya mampu meningkatkan imunitas tubuh. Tak heran permintaan masyarakat terhadap madu kelulut meningkat signifikan.
Pasaran madu kelulut milik Junai tak hanya seputaran Kecamatan Paloh, dan Sambas saja. Melainkan hingga ke Pontianak. Mengingat jarak yang jauh, alternatif pengiriman produk menggunakan taksi. Pilihan karena ongkis kirim lebih murah.
Budidaya madu kelulut sebenarnya sedang naik daun dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya Junai, masyarakat yang tinggal di Desa Sebubus juga banyak melakukan budidaya madu kelulut. Salah satunya Rhani Ardi atau akrab disapa Bujang.
Pria yang tak memiliki pekerjaan tetap ini mulai membudidaya madu kelulut sejak tahun 2017. Namun, saat itu ia belum tahu cara yang tepat membudidaya madu kelulut. Hingga kemudian ikut pelatihan yang digelar oleh Yayasan WWF Indonesia.
Bagi Bujang, madu kelulut tak asing baginya. Dia pernah bekerja sebagai pemotong kayu di hutan dan kerap mendapatkan madu kelulut. Bahkan log atau kotak lebah itu justru dijualnya. Kala itu ia tak tahu jika madu kelulut bisa dibudidaya dengan nilai ekonomis tinggi.
Di awal-awal memulai membudidaya, Bujang juga mengalami kegagalan. Hanya tersisa empat dari sepuluh log yang diambilnya dari hutan. Terhitung selama setahun, Bujang lebih banyak mengalami kegagalan. Baru kemudian di tahun 2018 budidaya madu kelulutnya mulai menunjukkan hasil.
“Setelah belajar selama ikut pelatihan, saya coba di rumah dan lumayan hasilnya,” kata Bujang.
Hingga saat ini Bujang sudah memiliki 30 sarang madu kelulut. Sebagian dari sarang itu disimpannya di samping rumah. Sebagian lagi di simpan di tempat penangkaran khusus. Jauh dari pemukiman.
Bujang beralasan memindahkan sarang jauh dari pemukiman untuk menghindari hama. Salah satunya ayam. Alasan lain karena sumber pakan. Jika sarang berada di dekat pemukiman maka sumber pakan tidak banyak. Alhasil, madu yang dihasilkan juga tidak banyak.
Selain itu pun sarang yang jauh dari pemukiman merupakan sarang lama dan sudah siap panen. Untuk memindahkan tak bisa sembarangan. Sarang itu harus dipindahkan saat malam hari agar kelulut tidak lari dari sarang.
“Sarang baru saya simpan samping, begitu ada yang baru lagi, yang sudah lama di samping rumah saya pindahkan ke penangkaran khusus,” kata Bujang.
Bujang menambahkan budidaya madu kelulut membantu menambah pendapatannya di masa pandemi COVID-19. Sebab tak sedikit madu diburu masyarakat karena dapat meningkatkan imunitas tubuh. Kualitas madu kelulut dikenal lebih baik dibandingkan madu hutan.
Untuk pemasaran Bujang memanfaatkan media sosial, seperti WhatsApp, YouTube, Instagram hingga Facebook. Cara ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan sebab pembeli madunya tidak hanya dari kawasan Sebubus, Paloh tapi hingga Pontianak, Sintang dan Landak.
Produksi madu kelulut milik Bujang sudah memiliki jenama atau merek sendiri yakni Madu Logen’s Desa Sebubus. Jenama itu itu diambil dari nama panggilannya. Madu yang dijual Bujang dibagi dalam tiga kemasan. Kemasan 1 kg, 500 gram dan 250 gram. Madu yang dijual Bujang juga sudah dalam kemasan rapi. Bahkan sudah memiliki izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Bujang mengatakan saat musim puncak biasanya dalam satu log bisa dapat 1 kg madu kelulut. Jika ada 30 log maka diperkirakan mendapat 30 kg madu. Musim puncak itu dari bulan lima hingga delapan. Namun, jika dihitung rata-rata setiap bulan dalam setahun, panen madu kelulut sekitar 5 kg per bulan.
Meskipun demikian hasil produksi madu tersebut juga dipengaruhi kondisi cuaca. Umumnya musim puncak ditandai dengan musim panas. Jika lebih dominan hujan maka madu yang dihasilkan pun tidak banyak. Biasanya setelah melewati musim puncak, panen madu akan dihentikan selama empat bulan. Rata-rata peternak madu kelulut mengusung konsep panen lestari.
Biasa dari bulan sepuluh hingga bulan satu. Meski demikian masih melihat kondisi cuaca. Jika lebih dominan kemarau maka bisa saja memanen budidaya madu kelulut. Sementara jika kondisi sebaliknya. Cuaca hujan yang lebih dominan, peternak tidak berani memane madu kelulutnya.
“Kalau musim hujan itu kelulut susah keluar sarang untuk cari makan, sehingga madu yang ada itu untuk dikonsumsi kelulutnya,” kata Bujang.
Sama halnya dengan Junai, hasil dari budidaya ternak kelulut juga menjadi pendapatan alternatif bagi Bujang. “Saya memang kerja motong kayu tapi susah juga diberhentikan, sehingga tambahannya dari budidaya madu kelulut,” jelas Bujang.
Ternak madu kelulut ini tak hanya dilakukan penduduk di Desa Sebubus. Kelompok Masyarakat Wahana Bahari juga melakukannya.
Ketua Kelompok Masyarakat Wahana Bahari Zulfian mengatakan ternak madu kelulut sudah dilakukan sejak tahun 2017. Lokasinya tepat di belakang camp Wahana Bahari. Jarak ke pantai sekitar 200 meter. Ada sekitar 50 log atau rumah lebah yang terhampar dan dikelilingi pohon cemara.
Zulfian menambahkan ternak madu kelulut yang kelola Kelompok Masyarakat Wahana Bahari sempat mengalami kegagalan. Sekitar 30 log rusak karena hama. Tersisanya hanya 10 log. “Hamanya monyet dan kendalanya memang itu. Apalagi berada di tepi pantai dan dekat hutan,” kata pria yang akrab disapa Zul ini.
Namun, situasi itu tak membuat Kelompok Masyarakat Wahana Bahari jera. Mereka kemudian membuat lagi dengan jumlah log yang lebih banyak. Sekitar 50 unit. Hingga saat ini log-log itu masih berdiri utuh di antara pohon-pohon cemara.
Zul mengatakan jika dihitung rata-rata per bulan dan banyak log yang produktif, panen madu kelulut bisa mencapai 20 kg. Namun, untuk saat rata-rata panen sepuluh hingga 12 kg per bulan. Sebab tak semua log produktif, karena masih ada baru.
Ia menambahkan ternak kelulut ini akan terus dikembangkan. Pihaknya menargetkan seratus log. Semakin banyak log maka semakin banyak produksi yang dihasilkan.
“Jika memang ada pendanaan untuk modal kami targetkan menambah log. Dari lima puluh menjadi seratus log,” kata Zul.
Pasaran madu kelulut Kelompok Masyarakat Wahana Bahari hingga ke Pontianak. Madu dikemas dalam berbagai ukuran. Dari kemasan 1 kg dan 250 gram. Menariknya, hasil penjualan madu kelulut untuk sebagian disimpan untuk kas monitoring. Sementara sebagian lagi untuk kebutuhan penjaga di Camp Wahana Bahari.
“Kami baginya 60 persen untuk kas monitong dan 40 persen untuk pengelola,” kata Zul.
Ia menambahkan saat pandemi Covid-19 penjualan madu kelulut sempat naik drastis. Apalagi pada akhir tahun 2020. Biasanya permintaan madu kelulut dalam situasi normal 30 kg hingga 40 kg per bulan.
Ketika pandemi kemarin, permintaan melonjak bisa hingga 80 kg per bulan. Jika produksi di Kelompok Masyarakat Wahana Bahari tak memenuhi, pihaknya mendatangkan madu milik penduduk dari Desa Sebubus untuk memenuhi permintaan madu kelulut.
Kepala Desa Sebubus, Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas Irfan mengatakan sebagian besar mata pencaharian masyarakat di desanya adalah nelayan. Namun, situasi pandemi COVID-19 sempat membuat pendapatan mereka menurun.
Hasil tangkapan nelayan tak banyak yang laku. Jika pun laku harga turun drastis. Utamanya pada hasil tangkapan untuk ekspor. Kondisi itu disebabkan permintaan dari luar negeri juga terganggu. Sebagai contoh ikan bawal putih. Ikan ini memiliki harga tinggi. Per kg bisa mencapai Rp200 ribu. Ketika pandemi kemarin harganya turun drastis menjadi Rp80 ribu. Lalu Udang Wangkang. Saat situasi normal harganya Rp80 ribu per kg. Ketika pandemi harga turun menjadi Rp40 ribu per kg.
Irfan mengatakan situasi seperti itu sempat berjalan selama tiga bulan. Tak banyak pengepul datang untuk membeli tangkapan nelayan. Namun, Irfan menilai masyarakat masih mampu bertahan. Sebab, selain memiliki pendapatan utama sebagai nelayan, masyarakat juga memiliki pendapatan tambahan. Salah satunya dari ternak madu kelulut. Hampir sebagian besar masyarakat melakukan budidaya ini. Bahkan jumlah log yang dimiliki untuk satu orang juga tak sedikit. Ada yang mencapai seratus log.
Potensi ternak madu kelulut karena melihat kondisi geografis Desa Sebubus. Desa dengan hutan yang di dalamnya banyak sarang lebah madu kelulut. Selain madu, Desa Sebubus juga dikenal sebagai sentra lada, padi dan kelapa, ikan dan udang.
Adanya ternak madu kelulut itu, dinilai bisa membantu pendapatan masyarakat. Apalagi saat pandemi COVID-19. Ia mencontohkan jika dirata-rata total panen madu kelulut dari seluruh peternak di Desa Sebubus mencapai satu ton untuk satu kali panen.
“Rata-rata masyarakat punya log atau sarang madu kelulut di rumah. Baik satu atau dua. Kalau untuk kebutuhan pribadi tidak harus beli,” kata Irfan.
Ia mengklaim dari pendataan yang dilakukan, pasar madu kelulut sudah ke berbagai wilayah di Indonesia. Para peternak itu membangun jejaringnya sendiri untuk memasarkan madu kelulutnya. Baik secara individu maupun melalui komunitas.
Koordinator Bentang Laut Kalimantan Yayasan WWF Indonesia Hendro Susanto mengatakan pihaknya melakukan program pendampingan masyarakat melalui pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
Program ini sebagai langkah menyandingkan upaya perlindungan dengan peningkatan taraf hidup masyarakat lokal dampingan. Pendampingan itu pada madu kelulut (Heterotrigona itama) yang hasil budidaya sudah mulai dikenal di masyarakat Paloh. Selain karena harga jual madu yang tinggi, teknis pengelolaan yang mudah, serta ketersediaan sarang yang masih berlimpah, membuat ternak kelulut menjadi salah satu opsi yang menjanjikan.
Hasil studi awal di delapan desa di Kecamatan Paloh terdapat setidaknya 82 peternak kelulut dengan jumlah total sarang sebanyak 2.627 log. Jika produktivitas madu pada periode panen (Maret-November) rata–rata 400 ml per bulan per log (Laba Lebah Tanpa Sengat–Trubus), maka diperkirakan potensi produksi madu kelulut di Paloh adalah 7 hingga 9 ton per tahun.
Tentunya ini merupakan sebuah peluang dan tantangan dalam membangun keharmonisan, antara masyarakat dan kerja konservasi untuk perlindungan penyu di pesisir Paloh. Hendro menambahkan tantangan terbesarnya adalah pada pengetahuan, sehingga WWF Indonesia mengambil peran dengan menggelar pelatihan untuk masyarakat.
“Jadi tahun 2016 kami mulai. Tidak bisa berbicara penyu dilindungi jika masyarakat tidak mendapat mata pencaharian. Salah satunya intervensi itu pada pendampingan madu kelulut dan memberikan dampak yang luas,” jelas Hendro.
Hendro menambahkan awalnya ada 30 orang yang ikut pelatihan madu kelulut. Mereka yang sudah terlatih ini kemudian menular pengetahuan dalam budidaya madu kelulut ke desa-desa lainya di Kecamatan Palo. Hingga hari ini dalam catatan WWF sudah lebih 100 orang yang ikut pelatihan budidaya madu kelulut.
Bertambah banyak peternak juga memberikan dampak negatif yakni produktivitas madu yang melimpah dan kemudian harga jualnya juga turun. Puncaknya pada tahun 2019. Harga madu kelulut saat itu mencapai titik terendah Rp60 ribu hingga Rp70 ribu per kilo.
Namun, situasi itu tak berselang lama. Satu tahun kemudian harganya merangkak naik. Tepatnya di saat pandemi Covid-19 melanda. Saat itu harganya mencapai Rp130 ribu di peternak. “Jadi masyarakat merasa harga madu kelulut lebih baik harganya,” kata dia.
Hendro menambahkan pihaknya pernah melakukan survei di tahun 2019 untuk melihat perkembangan madu kelulut. Dari survei itu didapatkan, pendapatan rata-rata peternak hampir mendepati Rp2 juta. Ini menggambarkan bahwa upaya mengenalkan madu kelulut sebagai mata pencaharian alternatif itu memberikan dampak positif ke masyarakat.
Selain itu, survei yang dilakukan menggambarkan perekonomian masyarakat terbantu. Secara otomatis mengurangi tekanan pada pemburuan telur penyu. “Pendekatan ke masyarakat untuk tidak memburu telur penyu dan proses edukasinya pun lebih mudah,” imbuhnya.
Masyarakat tertarik melakukan budidaya juga bukan karena nilai ekonomis saja. Alasan lainnya karena tidak rumit dalam praktik budidaya. Ini dilihat dari jumlah peternak. Hingga 2019, telah ada 91 peternak madu kelulut di Paloh dengan peningkatan kapasitas budidaya 42 persen.
Survei yang dilaksanakan pada Maret 2019 terhadap 29 peternak dampingan menunjukkan selama tahun 2018 produksi madu kelulut paloh yang berhasil dipasarkan mencapai empat ton dan turut memberikan penghasilan tambahan Rp2.140.000 ke setiap peternak per bulan.
Dampak lain yang dirasakan berkaitan dengan kawasan konservasi penyu di Pantai Paloh. Hendro menyebutkan dari pendataan, data pada Maret 2021 menyebutkan sarang penyu untuk bertelur yang hilang hanya berkisar 10 hingga 15 persen dari keseluruhan. Angka itu stabil dalam 3 tahun terakhir.
“Gambaran seperti itu dan angkanya stabil pada sepuluh hingga lima belas persen,” kata Hendro.
Ia meyakini angka itu ada kaitannya dengan budidaya kelulut yang dilakukan masyarakat, dengan sisi lainnya, budidaya ini diharapkan menjadi tiang penyangga ekonomi masyarakat Paloh. Sementara bagi Kelompok Wahana Bahari, harapan dengan budidaya kelulut bisa mendorong kemandirian finansial untuk menjalankan program pemantauan penyu di Pantai Paloh.