Liputan Mendalam

Oleh: Riza Salman

Demi, 33 tahun, mengaku pusing tujuh keliling memikirkan solusi menjaga kelangsungan spesies hiu sirip hitam (black tip reef shark) pada perairan laut di kampung halamannya, Desa Sombu, Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Menurut Demi ada anggapan salah di kalangan warga umum. Pemikiran mereka, hiu itu sangat ganas seperti yang mereka lihat di film-film di televisi. Karena itu, warga merasa tak apa jika membunuh hiu-hiu tersebut. “Padahal, kalau kita menyelam bersama hiu, mereka ramah,” lanjutnya.

Ia berkisah pada suatu ketika pernah mendapati nelayan sedang membelah perut hiu hasil tangkapannya. Di perutnya terdapat dua ekor janin hiu yang mungil dalam keadaan hidup. Dengan memelas kasih, ia memohon kepada nelayan tersebut untuk diberi izin melepas dua bayi hiu itu ke laut.

“Saya sarankan bayi hiu dilepas saja biar tumbuh besar. Setelah nelayan itu mau, saya langsung berenang ke bagian tubir karang di sana melepas anak hiu,” kenangnya sambil menunjuk ke arah laut. Jaraknya hampir 300 meter dari tepi pantai, tidak jauh dari lokasi penyelaman Shark Point.

Selama berpredikat sebagai master selam, baru kali itu Demi lupa menggunakan peralatan kaki katak untuk memudahkan keseimbangan tubuhnya ketika berenang-mengimbangi empasan ombak-ombak kecil menuju ke bagian tubir terumbu karang di sekitar Shark Point

Shark Point adalah salah satu titik penyelaman favorit wisatawan mancanegara dan domestik yang melancong ke Wakatobi, khususnya di pulau Wangi-Wangi.

Di sini penyelam dapat mengamati langsung hiu karang sirip hitam atau blacktrip (Carcharhinus melanopterus), spesies fauna predator unggul laut yang tergolong eksotik meliuk-liuk di habitat terumbu karang di sekitar kedalaman 20 meter. 

Hiu sirip hitam tersebar di perairan laut Indopasifik. Ciri khasnya terdapat warna hitam pada ujung siripnya dan juga moncong mulut yang agak bulat. 

International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan hiu sirip hitam dalam kategori risiko rendah. Penyebarannya luas dan sering dijumpai di perairan terumbu karang tropis. Pengambilan dalam jumlah tidak terkendali dalam waktu singkat akan berdampak terhadap pemotongan generasi dan mengancam kehilangan gen unggul turunannya.

Karang menjadi habitat utama hewan ini. Ekosistem karang merupakan tempat berkembang biak ikan sarden, ikan makarel, gurita dan udang yang menjadi makanannya.

“Hiu di sini kan predator yang menstabilkan ekosistem terumbu karang. Bagaimana kalau hiu itu pergi pindah tempat?” kata Demi dengan dahi mengernyit.

Sepengetahuannya, keberadaan hiu sangat penting untuk menjaga ekosistem terumbu karang. Hiu juga hanya memakan ikan-ikan sakit dan menyisakan ikan-ikan sehat untuk berkembang biak.

“Semakin banyak ikan kecil akan mendatangkan predator hiu,” tegasnya.

Aktivitas transportasi laut antar pelabuhan kembali normal di perairan laut Kabupaten Wakatobi sejak pemberlakuan era new normal oleh pemerintah. Kini, Wakatobi telah masuk dalam zona hijau persebaran COVID-19.

Memberdayakan Warga

Demi bukan pemuda semata wayang yang peduli untuk mengurus hiu-hiu tak bertuan itu. Mariadi, 21 tahun, merupakan pemuda lain yang dalam beberapa bulan terakhir menghabiskan waktu turut melestarian kawasan shark point dari kerusakan.

Demi dan Mariadi menggabungkan diri dalam Forum Pesisir Wakabibika (FPW). Lembaga ini ingin mewujudkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan pesisir secara berkelanjutan untuk masyarakat Desa Sombu. Wakabibika adalah sebutan terhadap suatu tempat di area pantai yang memiliki sejarah bertuah oleh masyarakat setempat.

Forum ini telah beranggotakan 30 orang. Menurut Sariono, ketua FPW, anggota forum terdiri dari perwakilan aparatur desa, nelayan, pemuda, gender, seniman dan pengusaha kuliner.

FPW adalah dibentuk sejumlah warga desa setempat yang peduli dengan ekosistem pantai pada Maret 2019 lalu. Terbentuknya lembaga ini mendapat dukungan dari pihak Balai Taman Nasional (TN) Wakatobi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat lokal terhadap pelestarian lingkungan. Namun, pada masa itu, lembaga ini hanya eksis sebatas kampanye lingkungan di media sosial. Belum memiliki fasilitas apapun.

Setelah setahun berjalan, pada tahun 2020 FPW mengajukan proposal ke Balai TN Wakatobi. Mereka memohon diberi kewenangan untuk mengelola perikanan berkelanjutan dan ekowisata di pantai dan perairan setempat. 

Walhasil, TN Wakatobi menyambut permohonan FPW dengan menyetujui draf Perjanjian Kerja Sama Kemitraan Konservasi. Perjanjian ini mengatur tentang pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola wisata alam terbatas pada zona pemanfaatan TN Wakatobi. Untuk menunjang efektivitas kerja kelembagaan ini, TN Wakatobi mengucurkan bantuan uang tunai Rp 50 juta.

Dana itu dialokasikan oleh FPW untuk pengadaan tujuh alat snorkling dan tujuh alat selam. Sejak saat itu mereka mulai mengelola dan melayani tamu yang ingin snorkling dan menyelam di kawasan shark point. Selain terjun di ekowisata, FPW melakukan upaya pelestarian ekosistem karang sebagai habitat sirip hitam.

Sayangnya, baru berjalan beberapa bulan pandemi COVID-19 membuat aktivitas pariwisata di Wakatobi lumpuh total. Meski sepi kunjungan, mereka terus mempromsikan trip wisata shark point hingga memasuki era new normal kemarin hingga sekarang.

“Sebelum pandemi COVID-19, hampir setiap saat turis mancanegara dan domestik ramai ke sini menyelam. Namun, pas COVID, selama enam bulan tidak ada tamu,” ungkap Demi. 

“Saat ini kami terus melakukan terus promosi paket trip eksplor 2H1M (dua hari satu malam), tetapi belum ada yang beli sesuai paket trip,” Sariono menambahkan. 

“Pemesan cenderung hanya menginginkan paket satu hari menyelam,” lanjutnya.

Monitoring FPW - Kartika Sumolang

Memantau Terumbu Karang

Lesunya penjualan trip tidak membuat Sariono dan anggota lain patah arang. Malahan mereka memanfaatkan kekosongan ini untuk melakukan kerja-kerja konservasi laut.

Mariadi dan beberapa anggota lain contohnya, terus menerus melakukan monitoring dan pendataan hiu. FPW mencatat telah melakukan 81 kali penyelaman untuk dua kegiatan itu. Hampir di setiap penyelaman, hiu sirip hitam kerap terlihat berombongan mencari makan di antara terumbu karang.

“Di kedalaman 20 meter kami melakukan monitoring selama 20 menit, kemudian naik ke kedalaman 12 meter melakukan monitoring selama 10 menit, kemudian naik ke kedalaman 10 meter,” papar Mariadi.

Selain hiu, ia dan timnya juga memonitoring ikan-ikan lain seperti ikan pari di dua titik lokasi monitoring yang saling berdekatan, yaitu shark point dan ranger

Untuk kelangsungan ekosistem hewan-hewan itu, mereka juga melakukan pemantauan tutupan karang yang menjadi habitat utama dan sumber makanan hiu.

Kata Mariadi, tidak menutup kemungkinan saat memonitoring di kedalaman 20 meter, hiu terlihat berenang dalam kelompok dengan beragam jenis ukuran. Momen itu dimanfaatkan untuk melakukan estimasi jumlah dan ukuran spesies hiu dengan cara observasi.

“Dari situ kami memperkirakan. Seumpamanya ada 10 ekor hiu; 5 ekor di antaranya memiliki panjang tubuh 100 cm, 2 ekor 80 cm, dan 3 ekor sisanya 120 cm,” ujarnya. 

Namun, dalam proses ini Mariadi dan kawan-kawan mengaku sangat sulit membedakan kelamin hiu. “Kami hanya melihat dari hiu yang jalan berpasangan, dan yang terlihat hamil diidentifikasi betina. Kami juga belum memiliki pengetahuan tentang itu,” tambahnya.

Pengakuan itu bukan tanpa dasar. Hiu sirip hitam memang dikenal sebagai spesies ikan yang tergolong unik karena memiliki alat kelamin yang terpisah. Pada hiu jantan memiliki dua organ kelamin atau clasper, yang terletak pada bagian bawah badannya.

Hal itu juga diakui Harno Acing, 38 tahun. Nelayan tangkap dari suku Bajo setempat ini berbagi pengalaman kepada Mariadi dalam suatu diskusi ringan membahas upaya pelestarian habitat hiu. Harno merupakan mantan pemburu hiu kelas kakap. Sejak tahun 1996 bersama rombongan menggunakan kapal layar melakukan perburuan hingga memasuki perairan laut Australia.

Harus Dibatasi

Seto Ariyadi (36) seorang dive master yang sudah bertahun-tahun menjadi pemandu selam di perairan laut Wakatobi mengungkapkan keberadaan shark point pertama kali diketahui oleh para penyelam sekitar tahun 2009 lalu. 

Namun, rekan-rekan penyelam dan pemandu selam lainnya sengaja untuk tidak mempopulerkan lokasi ini agar hiu tidak terganggu akibat aktifitas penyelaman yang berlebihan di kemudian hari. Mereka khawatir, hiu akan merasa tidak nyaman dan bergeser yang akan berakibat pada hilangnya spot penyelaman andalan ini.

“Penyelam wisatawan senang karena bisa melihat hiu dalam jumlah banyak dalam sekali menyelam…dari tiga ekor yang masih baby shark sampai tiga puluhan ekor yang berukuran besar hampir dua meteran,” kata Seto.

“Tapi kami mewajibkan bagi yang ingin menyelam di sini setidaknya sudah mengantongi sertifikat selam advance (penyelam lanjutan tingkat menengah), karena hiu muncul di kedalaman 18 sampai 25 meter,” tegasnya.

Ia juga memaparkan bahwa di lokasi penyelaman yang sama sering terlihat kehadiran ikan jenis tuna gigi anjing, napoleon, barakuda ekor kuning, pari (eagle ray) dan penyu.

“Saya selalu mengajak teman-teman untuk bagaimana membatasi aktivitas penyelaman berlebihan di situ. Baiknya dalam sehari hanya satu sampai dua grup yang turun,” harap Seto demi kenyamanan hius sirip hitam di habitat karang.

Kekayaan Bahari

Kabupaten Wakatobi terletak di kaki Pulau Sulawesi, tepatnya di sebelah tenggara. Kabupaten ini berbentuk kepulauan yang terdiri dari empat pulau terbesar yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Keempatnya lalu disingkat menjadi Wakatobi

Wakatobi termasuk dalam kedalam jalur segitiga karang dunia. Ada enam negara yang masuk dalam “segitiga emas” yang terbentang mulai selatan dari Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia (Wakatobi, Bali, Kalimantan, Lombok dan Papua), Timur Leste, Papua Nugini dan berakhir di Kepulauan Solomon di Samudera Pasifik.

Operational Wallacea melansir laut Wakatobi memiliki lebih dari 750 spesies karang (koral) dari 850 jenis koral di dunia. Lebih banyak dan beragam dari keragaman terumbu karang yang dimiliki oleh perairan laut Karibia.

Kekayaan bahari itu menarik perhatian wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara untuk berpelancong. Sementara sebagian lain menjadikan karang Wakatobi sebagai destinasi wisata ilmiah. 

Laporan resmi berjudul Kabupaten Wakatobi Dalam Angka 2021 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Wakatobi; mencatat sebelum pandemi COVID-19 total kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara ke Kabupaten Wakatobi meningkat drastis. Pada tahun 2016 tercatat sebanyak 15.640 pelancong dan terus meningkat hingga di tahun 2019 mencapai 28.857 pelancong.

Namun, pada tahun 2020 jumlah kunjungan wisatawan drastis anjlok hingga mencapai angka 3.511 pelancong di masa pandemi corona. Bahkan, di bulan Mei tidak ada satu pun wisatawan yang datang berkunjung ke Wakatobi.

Pada tahun itu, angka pengangguran di Kabupaten Wakatobi tahun 2020 sebesar 4,18 persen. Akibat pandemi, angka ini meningkat 1,75 persen dari tahun sebelumnya.

Selama diberlakukannya pembatasan perjalanan lintas negara secara global hingga akhir tahun 2020; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi hanya mencatat pernah dikunjungi empat wisatawan mancanegara antara April sampai Desember tahun kemarin.

BPS juga menunjukkan jika alokasi penggunaan dana desa di Kabupaten Wakatobi sebagian digunakan untuk pembangunan sipil selama ini, belum banyak diarahkan ke pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia serta program penciptaan lapangan kerja masih yang tersedia di wilayah pedesaan masih terbatas.

Pada Juni di tahun kemarin, Dosen Faklutas Biologi Universitas Gajah Mada, Akbar Reza menilai pandemi COVID-19 berdampak positif bagi perbaikan kondisi ekosistem laut.

“Pandemi memberi waktu bagi laut untuk beristirahat tapi ini sifatnya jangka pendek,” kata Akbar Reza melalui keterangan tertulis di Yogyakarta sebagaimana dikutip pantau.com.

Selama pandemi COVID-19 tidak ada keramaian di berbagai objek wisata perairan Indonesia sehingga berdampak positif pada kondisi laut termasuk ekosistem di dalamya.

“Tekanan dari aktivitas turis jadi sangat berkurang selama pandemi,” katanya.

Dampak positif lain memberi pengaruh pada pengurangan sampah plastik yang dihasilkan ketika berwisata, dan laut bebas dari polusi suara atau kebisingan dari kapal-kapal laut yang mengangkut wisatawan maupun pelayaran kapal-kapal-kapal besar berkurang.

La Dini, 48 tahun, warga desa pesisir Sombu yang saban hari bekerja sebagai nelayan tangkap menunjukan suatu tempat di perairan yang tidak jauh dari desanya. Di area itu ia sering melihat berbagai jenis hiu yang jumlahnya semakin banyak.

Hiu sirip hitam, hiu putih dan hiu biru adalah yang jenis hiu yang sering ia lihat di kedalaman ketika sedang memancing atau memanah ikan-ikan karang.

“Tapi itu musiman, artinya kalau orang menyelam hari ini, hanya terlihat dua atau tiga ekor hiu. Dan ada juga musimnya banyak,” katanya. 

“Jumlahnya tambah banyak! karena kalau sekarang di Wakatobi sudah dilarang pancing hiu, penyu…sangat dilarang sekali,” lanjutnya.

Selain hiu, jumlah ikan jenis Lumba-lumba juga mengalami peningkatan dalam bentuk rombongan. Hampir setiap pagi ketika ia turun melaut-mendapati iring-iringan lumba-lumba bergerombol menyertai perahunya di sekitar rumpon ikan.

***

Sementara itu, pengelolaan wisata di Desa Sombu boleh dikata belum cukup  berhasil. Masih memerlukan perencanaan dan strategi tepat dalam meminimalisir potensi konflik. Tumpang tindihnya pengelolaan juga berpotensi menjadi ancaman serius terhadap permasalahan sosial dengan nelayan di kemudian hari.

Untuk mencegat potensi-potensi konflik itu, FPW merasa penting bekerja sama dengan operator-operator selam lokal untuk mengelola ekowisata berbasis lingkungan. Paling penting dari semua itu adalah bagaimana mewujudkan pengelolaan kawasan perikanan secara berkelanjutan.

Sariono dan anggotanya optimis dapat membangkitkan sektor pariwisata dan perikanan berkelanjutan di Desa Sombu kini. Pandemi COVID-19 memberi kesempatan bagi mereka untuk melakukan perbaikan dan kesempatan dalam menata ulang sinergitas antara ekoturisme dan perikanan berkelanjutan dan kehidupan sosial nelayan di desa Sombu.

Sariono tak henti-hentinya melakukan pendekatan kepada nelayan untuk terlibat aktif dalam aktivitas ekoturisme.

“Nelayan juga harus memahami bahwa keterlibatan mereka juga akan mendapatkan manfaat dari situ,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.