Apa yang terjadi pada Bali? Tak hanya hujan deras yang menyebabkan berbagai bencana dua tahun terakhir ini, tapi ada pemicunya.
Tiga kelompok pewarta terdiri dari jurnalis media di Bali dan pewarta warga melakukan liputan bersama di tiga kabupaten yakni Karangasem, Tabanan, dan Jembrana.
Selain jumlah kejadian bencana, ketiga kabupaten mengalami tiga model pemicu kerentanan bencana berbeda. Di antaranya alih fungsi lahan, pengelolaan hutan, dan sedimentasi sungai dengan material pasir dan batu.
Parwani, salah satu penghuni perumahan di Kediri, Tabanan, masih mengingat jelas banjir bandang yang menerjang rumahnya pada Juli 2023 lalu. Ia bersama ibu-ibu dan anak-anak mereka lebih dulu menyelamatkan diri ke SDN 6 Banjar Anyar, yang difungsikan sebagai posko bencana. Tak hanya trauma, sering terjadinya bencana banjir di sini juga bikin dilema. Keputusannya untuk menjual rumah sudah terlalu tanggung. Sebab dirinya hanya perlu melunasi cicilan rumah yang tersisa tiga tahun. Ia berpikir, siapa mau membeli rumah di perumahan yang terlanjur terkenal jadi langganan banjir ini.
Dari peneluran citra satelit, kawasan yang jadi perumahan adalah persawahan. Daerah aliran sungai pun menyempit sehingga kesulitan menampung luapan air hujan. Merujuk data pengurusan izin kawasan permukiman di Kabupaten Tabanan dari tahun 2015 sampai 2022, sudah ada 4.951 unit perumahan yang terbangun.
Selain banjir, Tabanan juga menghadapi ancaman longsor. Di sisi tidak ada sinkronisasi pemberian izin dan pengawasan pembangunan.
Pengurusan izin bangunan kini juga prosesnya jauh berbeda, setelah terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. UU ini memang memberikan dampak positif bagi kegiatan usaha yang dijalankan oleh masyarakat. Misalnya, memberikan kemudahan perizinan dalam bentuk apa pun melalui pendaftaran online single submission (OSS). Namun di satu sisi, juga berdampak negatif bagi daerah karena lemahnya dari sisi pengawasan bangunan, apakah sudah sesuai dengan tata ruang.
Baca selengkapnya s.id/bencanatabanan
Kabupaten Jembrana berasal dari dua kata, yaitu jimbar dan wana, yang berarti hutan belantara. Sesuai namanya, kabupaten di ujung barat Bali ini memiliki sepertiga hutan di Bali. Luasan hutan Kabupaten Jembrana adalah 41.351,27 ha atau 7,34 persen dari luas Pulau Bali.
Luas hutan di kabupaten ini juga mencapai 41,07 persen dari luas daratan Kabupaten Jembrana di mana hampir 80,47% berupa fungsi lindung.
Namun, pada masa transisi Orde Baru menuju Era Reformasi, banyak masyarakat justru merambah hutan lindung karena terdesak kebutuhan ekonomi. Alhasil, sebagian hutan di daerah berjuluk gumi makepung ini beralih fungsi menjadi ladang atau kebun yang ditanami komoditas, seperti pohon pisang dan kakao. Pohon-pohon yang jauh dari kategori penyanding hutan atau tanaman yang memiliki resapan air maksimal.
Salah satu dugaan penyebab banjir banding adalah perubahan situasi hutan di hulu. Masyarakat penyanding hutan dianggap telah mengelola hutan secara sewenang-wenang hingga menyebabkan banjir bandang. Sebab, pada banjir 2018 dan 2022 lalu ditemukan banyak batangan pohon kayu besar yang terbawa arus air bah. Kayu-kayu itu menumpuk di Jembatan Bilukpoh.
Bencana alam pada 2022 itu mengakibatkan 3.889 unit rumah warga terdampak. Kadek Budra yang berprofesi sebagai tukang bangunan merupakan salah satu warga yang memberanikan diri untuk tinggal kembali di rumah lamanya usai diterjang banjir bandang Oktober 2022 lalu. Sebab, beberapa warga lain yang terdampak banjir memilih tinggal di tempat kerabat bahkan ada yang mengontrak rumah di tempat lain.
Masyarakat di sekitar hutan pun enggan dikambinghitamkan. Namun, saat ini, mereka justru berupaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan. Salah satunya dengan mengusulkan izin pengelolaan hutan pemanfaatan sejak 2019.
Baca selengkapnya s.id/bencanajembrana
Sejumlah sungai mati (hanya ada air saat hujan) berubah menjadi sungai membawa air bah di Kabupaten Karangasem. Luapannya membawa material pasir dan batu, menggerus lahan pertanian dan gedung sekolah, bahkan mengubur rumah.
Rumah Gusti Ngurah Suparta digerus air bah di aliran sungai mati di Desa Santi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem pada 17 Oktober 2022 lalu. Ia masih ingat detail bagaimana kejadian yang mengakibatkan 2 anaknya meninggal. Sejak 2011 ia menempati aliran sungai mati itu, banjir tahun 2022 menjadi kejadian yang tak terduga.
Sementara itu MadeGeria bercerita pada Oktober 2022, debat air Sungai Mbah Api dari hulu meningkat. Material bebatuan dan pasir terbawa. Tanaman seperti pohon nangka, alpukat, dan pisang habis diterjang air bah. Aliran sungai meluap hingga mengakibatkan longsor, menggerus kebun warga di Banjar Nangka. Pada Juli 2023 lalu kembali terjadi.
Sedimentasi makin tak terelakkan karena tiap air bah membawa material pasir dan bebatuan. Apalagi di sejumlah sungai ada sejumlah titik penambangan galian C (batu dan pasir), sumber pendapatan asli daerah terbesar Karangasem. Mengalahkan pajak hotel dan restoran.
Erosi dan sedimentasi belum tertangani, sementara penambangan terus berjalan.
Baca selengkapnya s.id/bencanakarangasem
Serial liputan ini adalah kolaborasi antara: pewarta warga BaleBengong, wartawan Tribun Bai, Radar Bali, IDN Times Bali, dan Tempo.co, didukung Kurawal Foundation.