Liputan Mendalam

Oleh: Habib Almascatye

Desa pesisir penuh nelayan di tahun 60an lalu menjadi kota kabupaten di tahun 2010an, kemudian jadi perhatian seluruh dunia saat Komodo terpilih menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia yang baru (The New Seven Wonders) pada 2011. Komodo tak hanya hidup di Pulau Komodo, namun ditemukan di daratan Flores bagian utara maupun yang paling jauh di Riung, Kabupaten Ngada, Flores Tengah. Namun, Labuan Bajo menjadi perhatian wisatawan dengan keindahan alamnya selain Komodo adalah saat digelar Sail Komodo pada 2013.

Penduduk Labuan Bajo menyebut daerah pesisir ini sebagai “Labuan”, tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai bangsa membuang sauh, memperbaiki kapal, membawa barang-barang perdagangan dari berbagai kota di Indonesia. Kadang mengisi air minum atau memuat kembali barang-barang hasil pertanian yang akan dijual ke seluruh pelabuhan lain. 

Penduduk Manggarai yang tinggal di pegunungan menyebut daerah pesisir ini dengan kata “Lembajo”. Penduduk di Pulau Komodo, menyebutnya dengan kata “Le’mbajo” dengan huruf ‘m’ seperti menggumam. 

Di Pulau komodo, saya mendengar percakapan warga yang akan berangkat ke Labuan Bajo “Laho Le’mbajo” atau dapat diartikan “pergi ke Labuan Bajo.  Sedangkan penduduk Pulau Rinca menyebut Labuan Bajo sebagai “Lehe” atau Kampung dalam bahasa Bima. “Lehe’ Pamang mole” alias kampung tempat pulang.

Penyebutan Lembajo, Le’mbajo, atau Lehe sama-sama merujuk pada daerah pesisir Labuan Bajo yang saat ini berada di daerah sekitar pelabuhan Pelni Labuan Bajo dan sekitarnya. 

Sejauh ini yang bisa dilacak penggunaan kata “Labuan Bajo” tertua tercatat pada Laporan Jacques Nicolas Vosmaer, tahun 1862. 

Dalam tulisannya Vosmaer menyebutkan bahwa pada artikel 1833 terdapat laporan perjalanan laut menuju “Laboean Badjo”, catatan Vosmaer ini sekaligus menjadi catatan penamaan Labuan Bajo tertua.  Sedangkan nama lain yang tercatat ada pada peta Flores  yang dibuat oleh J.G Veth, muncul nama “Laboean Badjak” yang terbit pada tahun 1874 dan dicetak di Amsterdam, Belanda. 

Catatan yang cukup baru adalah nama Labuan Bajo muncul malah pada sebuah lagu Rakyat Manggarai Barat. Ada syair yang memuat kata “mbom bajo” dan dicatat oleh Pastor SVD Piet Heerkens dalam bukunya Flores Manggarai yang terbit tahun 1930. 

Bentang alam ini dibentengi pulau-pulau kecil yang melindungi daratan dari terjangan badai musim barat, dan memastikan laut akan tenang sepanjang musim. Tak heran Orang-orang Suku Bajo di masa lampau jatuh hati dan memilih daerah ini sebagai tempat singgah. Untuk memperbaiki kapal atau beristrahat ketika mencari ikan di kepulauan sekitarnya. 

Lama-kelamaan daerah sekitar itu pun terkenal sebagai tempat berlabuhnya orang-orang bajo atau Labuan Bajo. Banyak orang dari berbagai suku di Indonesia hadir dan membentuk perkampungan nelayan di pesisir Labuan Bajo.

Labuan Bajo Kini

Pada 2019, Presiden Jokowi mencanangkan Labuan Bajo dan berapa daerah lain sebagai Destinasi Pariwisata Super Premium yang akan diterapkan pada tahun 2020. Namun, pada Maret 2020 untuk pertama kalinya pemerintah mengumumkan pasien pertama Covid-19 telah terdeteksi di Indonesia. 

Pada 22 Maret, Victor Laiskodat, Gubernur NTT mengirimkan surat edaran kepada seluruh bupati dan walikota di NTT untuk menutup seluruh aktivitas pariwisata dan memberlakukan pengetatan keluar masuk wilayah. Merespon surat tersebut, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menyampaikan surat Nomor: Kesra.440/94/III/2020  yang ditandatangani Wakil Bupati Manggarai Barat, drh. Maria Geong pada 25 Maret 2020 meminta Menteri Perhubungan untuk Penutupan Pelabuhan Laut, darat dan Bandar Udara di Manggarai Barat.

Sejak beredarnya surat tersebut, Labuan Bajo secara resmi menghentikan segala kegiatan pariwisata dan pembatasan terhadap kegiatan warga. Sebagian besar pelaku pariwasata berhenti bekerja seperti pemandu wisata, dan lainnya.

Pada Juni, Gubernur NTT mencabut larangan pembatasan dan mulai menerapkan New Normal pada Agustus 2020. Namun, pandemi memburuk, dan kunjungan turis menurun drastis. 

Jumlah kunjungan wisatawan anjlok. Pada 2017, jumlah pengunjung Taman Nasional Komodo (TNK) yang didata sebanyak 117.102 dengan pengunjung tertinggi wisatawan mancanegara sebanyak 69.893 orang. Sedankan wisatawan domestik sebanyak 47.209 orang.

Kunjungan meningkat di tahun 2018, dengan total pengunjung 176.830 orang. Pada 2019 meroket jadi 221.703 orang. Saat pandemi menurun drastis sebanyak 51.618 turis pada 2020.

Ata Modo dan Komodo di tengah pandemi

Komodo adalah ikon pariwisata Labuan Bajo, NTT, bahkan Indonesia. Wisatawan berkunjung untuk melihat Komodo, mengunjungi Pantai Pink, Pulau Padar, atau diving di berbagai site-site yang ada di TNK.

 

Pada 2021, dengan kondisi pariwisata yang makin tidak tentu, warga di pulau atau pesisir mulai mengubah kapal-kapal wisata mereka menjadi kapal nelayan penangkap ikan.

 

Jahrudin, biasa dipanggil om Dion oleh warga sekitar. Lelaki berumur 37 tahun ini adalah salah satu pemilik kapal wisata yang tinggal di Kampung Komodo. Ia mengubah kapalnya menjadi kapal nelayan. Pada April 2020, sejak penutupan pariwisata, Jahrudin sudah kembali turun melaut. Menggunakan perahu kecil, Jahrudin yang lahir di Kampung Komodo sejak kecil telah menjadi nelayan. 

 

“Dulu saya cuma fokus menjadi nelayan, setiap hari saya cuma tau sekolah dan turun ke laut,” katanya. 

 

Pada 2006, Ia memilih jadi membawa Ojek Kapal. Ojek Kapal adalah sebutan bagi kapal transportasi untuk mengangkut penumpang dan barang dari Komodo ke Labuan Bajo, dengan tarif Rp30 ribu sekali jalan. Ojek Kapal merupakan satu-satunya alat transportasi selama ini yang melayani rute Komodo ke Labuan Bajo. 

 

Jahrudin bercerita, pada 2013, ada tamu 3 orang yang datang ke Kampung Komodo. Ia mengantar mereka berkeliling ke beberapa lokasi di sekitar kampung. Sebulan kemudian teman mereka datang dan kembali menggunakan jasanya. 

 

Karena makin dikenal, pada 2014, ia menggunakan kapal kecil dengan kapasitas 8 orang mulai mengantar tamu. Ojek Kapal mulai ditinggalkan dan lebih banyak memilih tinggal di Labuan Bajo agar maksimal melayani tamu untuk trip wisata. 

 

Usahanya berkembang, pada 2017, Jahrudin membuat kapal yang khusus melayani tamu. Jahrudin pun membuat homestay di rumahnya untuk kebutuhan menginap tamu-tamu itu. 

 

Saat Covid-19 melanda, Jahrudin masih mengantar tamu. Namun, mulai April, jahrudin langsung memutuskan untuk kembali melaut. “Semacam putus harapan ketika Covid melanda,” keluhnya.

 

Ia memulai dengan menggunakan perahu kecil untuk memancing ikan wilayah sekitar perairan Komodo. “Jika dibilang dengan lagu Rhoma Irama, Gali lobang tutup lobang,” Jahrudin tertawa.

 

Pada Januari 2021, Jahrudin memutuskan untuk mengubah kapal wisatanya menjadi bagan. Selama hampir sebulan, kapal yang sebelumnya melayani tamu disulap menjadi bagan. Untuk membuat jadi Bagan, kapal wisata Jahrudin harus dibongkar, terutama atap bagian depan dan papan penghalang air ketika wisatawan duduk. 

 

Kayu-kayu sepanjang 10 meter dipasang melintang di atas kapal untuk membuat sayap-sayap kapal, tempat meletakkan jaring di sekeliling kapal. 

 

“Paling kelihatan, bagian depan sudah tidak ada atap lagi dan tiang layar tinggi,” ungkap Jahrudin. Pada kapal wisata, tiang layar tidak diperlukan, namun ketika jadi bagan tiang layar diperlukan untuk mengikat lampu atau menahan tali. 

 

“Yang saya tinggalkan cuma kamar kecil. Biarkan saja,” lanjut Jahrudin. Kapal bagan ini digunakan untuk menjaring ikan di laut, dengan sayap-sayap memanjang ke kiri dan kanan sekitar 4-5 meter. Jenis ikan yang sering ditangkap adalah ikan lajang, tongkol, lure (teri), dan cumi. 

Dengan waktu melaut sejak sore sampai subuh, hasil yang didapat kapal bagan biasanya langsung dijual pada pengepul yang sudah menunggu di tengah laut. Jahrudin bisa pulang tanpa harus memikirkan ke mana menjual hasil tangkapan. 

 

“Saat ini belum terlalu banyak penghasilan, karena belum musimnya. Biasanya dari bulan 7 sampai bulan 1 baru hasil benar-benar bagus,” jelasnya.

 

Saat ini hasil tangkapan masih kebanyakan ikan, pada bulan 8 dan 9 baru mulai ada cumi-cumi. Jahrudin belum tertarik untuk  kembali memanfaatkan kapalnya menjadi kapal pariwisata, karena peningkatan tamu belum kembali normal.

 

Ada juga jenis kapal kabin yang mempunyai ruang kamar tidur. Kapal kecil seperti milik Jahrudin biasanya cuma melayani trip sehari dari pagi jam 5 subuh sampai jelang sore hari. Hanya ada beberapa tamu yang mau menginap di kapal open deck miliknya, biasanya dengan alasan untuk lebih irit. 

 

Mereka tidur beralasakan papan, dengan penutup dari terpal untuk menghalau angin malam. Namun dengan kapal kabin, wisatawan dapat memilih sistem trip Live On Board selama berapa hari.

 

Kenyamanan kapal kabin tergantung berapa rupiah yang mau dikeluarkan. Ada yang menggunakan air conditioner, ataupun hanya menggunakan kipas angin sebagai penyejuk dalam ruang-ruang sempit kabin tersebut. 

 

Selain kedua jenis kapal ini, ada kapal-kapal phinisi dengan ukuran lebih besar dan fasilitas lebih baik. Turis bisa memilih sesuai keinginan dan kantong.

 

Penghasilan melayani turis lebih besar, namun saat pandemi ini, menjadi nelayan memberi harapan.  Misalnya Jahrudin harus memenuhi kebutuhan anaknya 4 orang, yang sulung bersekolah di Pondok Pesantren di Jawa Tengah, ada juga SMP dan SD.

Mengenal Ata Modo

Kampung Komodo adalah satu-satunya kampung yang ada di Pulau Komodo, dengan jumlah penduduk sekitar 1900 orang. Sebagian Besar adalah warga yang biasa disebut Ata Modo. Sejak dulu Ata Modo hidup berdampingan dengan binatang purba yang dipercaya sebagai saudara kandung mereka. 

Warga menyebut binatang ini dengan panggilan Ora. Pada 1910, JKH Van Steyn, penjelajah asal Belanda mempublikasikan adanya pulau “buaya” ke seluruh dunia melalui hasil jepretannya. 

Pada 1912 Direktur Mueseum Zoologi Bogor, PA Owen menuliskan karya ilmiah “On a Larger Varanus Species from an island of Komodo” sebuah penelitian mendalam tentang binatang purba tersebut. 

“Ata Modo untuk warga lokal, tidak tau kenapa, Ora ini nama menjadi komodo,” kata Akbar. “Ko” dalam Bahasa Modo itu berarti kepunyaan (saya/kami), “Jadi mungkin dulu saat penilitan, Pa Owen bertemu Ata Modo, lalu Ata Modo menyebut Ora dengan “Ko Modo” : milik orang modo, sehingga peneliti itu kemudian menulis nama binatang itu sebagai Komodo,” ia menganalisis.

Akbar salah satu warga Komodo yang berprofesi sebagai pemandu pariwisata, sekaligus anak muda yang sangat peduli terhadap pariwisata. Akbar salah satu pendiri Komodo Community Centre, komunitas untuk mewadahi kreatifitas anak muda di Kampung Komodo. 

Salah satu fokus yang sedang dikerjakan adalah menggalang dana untuk membuat public space untuk menghimpun benda-benda bersejarah Ata Modo, kerja dokumentasi, pengarsipan, dan pengembangan kreativitas sumber daya manusia. 

“Ini akan menjadi segmentasi pasar pariwisata sendiri,” yakinnya. Harapannya pariwisata pendukung ini sebagai alternatif bagi pariwisata kebanyakan di Labuan Bajo. 

“Fokus kami adalah dibalik objek wisata itu,” lanjut akbar. Tahap pertama dalam menyiapkan ruang publik ini adalah mencari lokasi, komunitas ini menemukan satu kebun cabe yang rencananya akan dimanfaatkan sebagai tempat awal “museum” sebelum mulai membangun.

“Komodo begitu kaya dengan narasi lokal, kebudayaan. Sehingga target pasarnya memang pada mereka yang cenderung pada ilmu pengetahuan bukan pada objek wisata saja,” tambah Akbar. Komodo Community Centre juga mulai membuat beberapa kegiatan wisata berbasis lokal Kampung Komodo. Salah satunya dengan membuat kegiatan kemah.

Ditujukan untuk membuat orang lebih mengenal Kampung Komodo dengan melakukan perjalanan eksplorasi kampung dan bercerita dengan tokoh-tokoh kampung yang dihormati.

Pulau Rinca

Tak Jauh dari Komodo, terdapat Pulau rinca, berasal dari kata “Rincak” Bahasa Bajo, yang artinya singgah. Penduduk  Rinca terdiri dari suku Bajo dan suku Komodo serta warga. Mayoritas penduduk Rinca berprofesi sebagai nelayan, wisata adalah pekerjaan sampingan.  

Di Pulau Rinca terdapat dua desa, yakni Desa Pasir Panjang dan Desa Krawo. “Sejak tamat SD, saya sudah bekerja sebagai nelayan, sekolah tidak lanjut lagi, karena pada saat umur empat tahun saya ditinggal bapak,” kata Johading, salah satu warga Desa Pasir Panjang, yang sehari-hari bekerja sebagai “sawi”.

Sawi adalah sebutan lain bagi Anak Buah Kapal. Para sawi bekerja dengan pemilik kapal dalam mencari ikan yang disebut Juragan kapal. 

Hubungan juragan dan sawi tidak dalam bentuk karyawan dan pemilik. Sawi bisa ikut juragan mana saja selama mereka ingin melaut, tidak ada kontrak kerja antara juragan dan Sawi.

Sawi memiliki kebebasan untuk ikut atau tidak. Begitupun juragan, bisa mengajak siapa saja untuk menjadi sawi tanpa terikat pada kontrak kerja. Keterkaitan antara sawi dan juragan hanya terdapat dalam pembagian hasil melaut, dan ini sudah menjadi aturan dan berlaku turun temurun.  

Pembagiannya adalah total penghasilan dipotong ongkos produksi seperti minyak, solar, dan lainnya. Sisanya dibagi dua. Satu bagian untuk pemilik kapal, satu bagian lagi dibagi antara para sawi. “Jika musim ikan banyak, sehari mungkin kami bisa mendapatkan satu juta rupiah. Jika sedikit bisa Rp100-200 ribu rupiah,” lanjut Johading.

Di Rinca ada beberapa jenis tangkapan nelayan. Misalnya teripang, tombak ikan, pukat, mancing, jaring dan bagan. Namun, seiring perkembangan jaman, mencari teripang, pukat dan bagan sudah tidak ada lagi yang menekuni, tinggal jaring dan mancing.

Hasil laut yang didapat saat menjaring, jarang dijual segar ke pelanggan. Namun, untuk dijemur dan diproses menjadi ikan kering baru dijual.

Saat pandemi melanda, nelayan pulau Rinca pun ikut terkena dampak, meski tidak separah Kampung Komodo yang mata pencaharian dominan dari pariwisata. “Efeknya adalah harga ikan langsung turun,” lanjutnya. 

Misalnya ikan sampurea, sebelum pandemi, harganya sekitar Rp35 ribu per kilogram, kini menjadi Rp20 ribu. Ikan Maerum kecil paling mahal sekitar Rp60-70 ribu rupiah per kilogram, turun menjadi Rp30-40 ribu rupiah per kg. 

Pada Juni, banyak nelayan yang menganggur karena hasil tangkapan sangat sedikit, dan kembali ramai pada bulan tujuh sampai bulan satu. 

Kini kondisi berbalik, lebih banyak warga beralih jadi nelayan, sementara pelaku pariwisata bisa dihitung dengan jari. Mustafa, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Native Rinca menuturkan pariwisata makin ramai di Labuan Bajo pada 2013 ketika Sail Komodo.

Namun pariwisata hanya berkembang di Loh Buaya, yaitu daerah-daerah destinasi yang menjadi tujuan utama turis ke Labuan bajo. Pada 2015, Mustafa mulai memikirkan bagaimana caranya agar kunjungan wisatawan ini bisa mampir ke Desa Rinca, sehingga efek pariwisata bisa dirasakan oleh warga di desa-desa tersebut. 

Pada 2017, beberapa orang anak muda Rinca kembali ke desa mereka, lalu bersama-sama mulai merealisasikan ide. Prosesnya cukup lama hingga 2019 akhir, berdirilah Komunitas Masyarakat Peduli Wisata Rinca (Kompas Rinca). 

Dalam melakukan kegiatan, Kompas Rinca fokus membangun sumberdaya manusia dan pemetaan potensi untuk menyiapkan destinasi-destinasi yang bisa dikunjungi turis,  manajemen organisasi dan keuangan. 

Kegiatan yang telah dilakukan misalnya membersihkan sampah, menyiapkan perintisan jalur trekking ke wilayah destinasi, pelatihan guide dan Bahasa Inggris bagi anak-anak muda di Pulau Rinca. 

Pengajarnya adalah anak-anak muda di Rinca juga yang punya kemampuan atau pekerjaan di bidang tersebut. Pada 2020, Kompas Rinca menjadi Pokdarwis Native Rinca.

Salah satu pengajarnya adalah Edi Sudrajat, ia menjadi pemandu wisata sejak masih sekolah di SMK Labuan Bajo. Saat lulus 2014, Edi jadi training menjadi Ranger di di Koperasi Serba Usaha Taman Nasional Komodo.

Tugas Ranger adalah menemani tamu selama berada di Kawasan Komodo untuk menjaga keamanannya. Di tahun yang sama, Edi melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, sebuah sekolah kedinasan khusus untuk pariwisata namun tidak terikat.

Saat lulus, Edi kemudian kembali ke Pulau Rinca dan bersama anak-anak muda lainnya membangun Kompas Rinca. Pemerintah Desa mengeluarkan SK sehingga makin menguatkan kegiatan-kegiatan Kompas Rinca. Kegiatan Ekowisata atau jelajah Gua Kalong cukup memberikan kontribusi ke desa meski belum terlalu banyak. 

Sejak awal pandemi, TNK ditutup sehingga penghasilan mereka nol. Pokdarwis sudah menyediakan paket-paket ekowisata yang bisa dipilih dari trip sehari sampai paling lama 3 hari di Rinca. Mulai harga Rp100 ribu rupiah sampai Rp2 juta rupiah. 

Trip naik kayak keliling Pulau Kalong, Pulau Pempeng, Toroh Sarada atau pulau strawberry cuma dibandrol Rp100 ribu rupiah. Wisatawan pecinta kuliner juga dapat memilih Trip Bajo Gastronomi Tour. 

Tur ini mengenalkan kuliner orang-orang Bajo yang tinggal di Pulau Rinca.  Dengan harga Rp1 jutaan, wisatawan tidak hanya menikmati kuliner namun diajak berburu berbagai makanan laut yang menjadi makanan utama orang-orang Bajo. Misalnya di Pulau Punungkiah untuk mencari bulu babi, tetehe, dan babadek dan langsung diproses oleh warga sekitar.

“Dalam situasi pandemi ini, walau berjalan di tempat, tapi sudahlah, ini jalan terbaiknya. Tuhan memberikan kesempatan kita untuk membangun segalanya,” lanjut Musatafa, Ketua Pokdarwis.

Perbaikan yang ia harapkan misalnya, ketika wisatawan sudah semakin ramai, perlu persiapan SDM dan destinasinya agar kualitasnya lebih baik. Termasuk pelestarian lingkungannya. 

Yayasan WWF-Indonesia didukung Jaringan Kapal Rekreasi Indonesia (JANGKAR) dan akademisi sudah menyusun Best Environmental Equitable Practices (BEEP) atau Seri Panduan Praktis Operasional Kapal Rekreasi yang Bertanggung Jawab Sejumlah praktik baik yang dianjurkan. Sejumlah hal yang tercantum dalam panduan ini adalah menyediakan tempat pembuangan sampah yang cukup untuk sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), organik, dan non organik secara terpisah sehingga memungkinan untuk disimpan hingga kapal kembali ke pelabuhan.

Bagi kapal yang berukuran 100 GT atau lebih, minimal wajib dilengkapi dengan alat pencegahan pencemaran minyak yang meliputi peralatan pemisah air dan minyak (oily water separator), tangki penampungan minyak kotor (sludge tank), dan standar sambungan pembuangan (standard discharge connection).

Untuk kapal dengan jumlah pelayar 15 orang sampai dengan kapal berukuran 100 GT harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh kotoran yang meliputi alat pengolah kotoran, alat penghancur kotoran, dan/atau tangki penampungan kotoran, serta sambungan pembuangan standar.

Di darat, pembuangan limbah dilakukan melalui pompa/sambungan pembuangan di pelabuhan-pelabuhan yang akan diteruskan ke fasilitas pengolahan limbah di daratan. Bila fasilitas pompa/ sambungan pembuangan tidak tersedia, ada beberapa pembersih kimia (biodegradable) atau alat mekanis yang bisa digunakan untuk mengurangi limbah padat dan berbahaya sebelum dibuang.

Panduan untuk turis pada prinsipnya adalah mengedukasi agar turis tidak membuang sampah di laut, termasuk sampah-sampah kecil seperti puntung rokok. Turis diminta untuk mengelola sampah mereka selama perjalanan berlangsung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.