Liputan Mendalam

Liputan Mendalam

Jatuh Bangun Seniman Bali Saat Pandemi

Jatuh Bangun Seniman Bali Saat Pandemi

Teks dan Foto :
Desak Ketut Putri Handayani & Made Ari Budiadyana

Kisah Seniman Bali Setahun Tak Beraksi, Kini ‘Payuk Jakan’ Mulai Terisi

Memasuki ruang berias bagian utara Panggung Arda Candra, Art Center, saya disambut oleh pemuda jangkung berkacamata menggunakan kaos oblong berwarna putih. Pemuda itu langsung mengenali saya dan mempersilakan menunggu di sebuah kursi.

Sore itu cukup gerah untuk sebuah ruangan ber-AC, saya memutuskan menunggu di luar dan berbaur bersama pemuda tadi. Tidak lama berselang, datang seorang bapak-bapak berperawakan gempal, menggunakan kamen, kain penutup kepala hitam, dan baju kaos hitam yang bertuliskan ‘Orang Gila’. Dengan luwes ia menyapa para pria yang duduk di atas rumput tempat saya duduk juga diselingi guyonan dan tawa. Sesaat saya menyadari, bapak ini adalah salah satu orang yang saya tunggu.

Ia bernama I Nyoman Ardika, pemeran tokoh Sengap dalam grup bondres Clekontong Mas. Kebetulan, hari itu, Senin (3/5) grup Clekontong Mas akan pentas sekitar pukul 7 malam dalam sebuah acara milik Pemprov Bali.  Nyoman Ardika yang kemudian saya panggil Jro Sengap mempersilakan saya masuk kembali ke ruangan gerah itu untuk bertemu rekan grupnya.

Saat itulah saya dikenalkan dengan I Ketut Gede Rudita pemeran tokoh Sokir dan I Komang Dedi Diana pemeran tokoh Tompel. Sekilas tidak kentara di raut mereka bahwa mereka adalah seniman lawak yang kini namanya telah tersohor seantero Bali: Clekontong Mas. Mungkin ketika kebetulan berpapasan di jalan, saya tidak akan ngeh siapa mereka sebenarnya.

Waktu menunjukkan pukul enam sore, tangan kanan Jro Sengap terlihat cekatan memulas bedak padat, bedak tabur, blush on, dan eyeshadow di wajahnya, sementara tangan lainnya memegang cermin. Ketimbang rekan lainnya yang terlihat santai, Jro Sengap menuntaskan rias karakter wajahnya kurang dari sepuluh menit. Saya perhatikan, tidak ada merk make up dari brand mahal di kotak lusuh itu.

“Seniman lawak itu, kan dia berkarakter, jadi harus norak. Ndak ada seniman pakai bedak mahal. Ini udah setahun kedaluwarsa,” celoteh pria asal Selemadeg Timur, Tabanan, itu sambil tergelak.

Melalui sebuah dialog panjang, saya akhirnya tahu bahwa Clekontong Mas lahir pada 8 Oktober 2012.

Namun tiga sekawan ini telah dipertemukan tahun 2009 silam dan sempat berganti-ganti nama grup, mulai dari Sengap Tompel Spanyol Portugis (STSP), lalu Ketut Sokir masuk, nama grup pun berubah menjadi Sengap Tompel Sokir Pokokne (STSP), hingga pada akhirnya berubah lagi menjadi Clekontong Mas setelah bertemu dengan Luh Kembung dan Cablek.

Menurut penjelasan Dedi Tompel, ‘clekontong’ artinya ‘wadah’ atau ‘serobong santun’ berukuran kecil yang sering terdapat pada sarana upakara umat Hindu, yang merupakan simbol stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan ‘mas’ dimaknai sebagai ‘sesuatu yang mulia’.

“Kenapa menggunakan emas, karena benda ini mengandung karat tetapi dia tidak berkarat. Harapannya, Clekontong Mas ini sebagai wadah untuk menghimpun berbagai kesenian yang ada, kemudian melahirkan sesuatu yang bersifat mulia,” jelas Jro Sengap dan Dedi Tompel saling melengkapi.

Selain pelaku seni bondres, ketiga personil Clekontong Mas ternyata juga seorang pendidik di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Dedi Tompel mengampu mata kuliah Seni Tari, Jro Sengap mengampu Pendidikan Agama dan Seni, dan Ketut Sokir mengampu Pendidikan Karawitan.

“Selain itu, kita juga sebagai dalang. Ini dalang wayang,” jelas Dedi Tompel sambil menunjuk Ketut Sokir. “Tiang dalang kerusuhan,” Dedi menunjuk dirinya sendiri. “Tiang dalang korona,” timpal Jro Sengap. Saya pun tidak kuasa menahan geli di perut.

Berprofesi sebagai seniman pertunjukan di Bali, apalagi bondres, tentu memiliki suka duka tersendiri. Terkadang sebagian orang memandang bahwa pelawak harus lucu dalam segala situasi dan kondisi. Bahkan, dalam keadaan sakit sekalipun dituntut untuk lucu dan profesional.

“Dukanya, kita pernah dihujat padahal maksud kita baik, itu pernah. Dibatalkan tanpa diberitahu pernah. Dibilang tidak pantas pernah, hingga terjadi kesalahpahaman antara panitia dan penyelenggara dan masyarakat marah sampai lempar kursi juga pernah. Kemudian, tidak lucu pun pernah. Tetapi, itu tidak kami jadikan pukulan, melainkan cambuk untuk semangat,” ungkap Dedi Tompel yang juga Alumnus ISI Denpasar itu.

Obrolan kami semakin serius. Topik tentang perjuangan di masa pandemi pun mencuat. Jro Sengap ingat terakhir kali Clekontong Mas pentas di antara ribuan penonton, tanpa masker, dan jaga jarak, yaitu pada 15 Maret 2020 di Festival Tanah Lot. Tepat sehari setelahnya, Bali menutup wilayahnya.

Pementasan menurun drastis, namun beruntung ada beberapa kegiatan yang masih bisa dijalankan untuk menopang hidup. Seperti mengajar di kampus, tawaran kerja sama dengan brand, dan membuka usaha. Misalnya, Jro Sengap bersama beberapa keponakan yang ter-PHK membangun usaha warung kopi yang diberi nama Warung Korona (KOpi JRO SeNgAp).

Lain dengan Dedi Tompel yang cenderung berkegiatan yang menjaga eksistensinya sebagai seorang seniman, seperti menggelar program siaran langsung di fanpage Facebook-nya yang diberi nama ‘Nunas Tembang Bali’ dengan memutar lagu-lagu Bali serta mengundang artis-artis Bali. Sedangkan Ketut Sokir, mengisi waktu dengan belajar membuat topeng arja bersama seniornya karena ia dulu pernah bergabung dalam grup kesenian arja.

“Kalau dibilang menopang ekonomi sebenarnya tidak karena nilai jual masyarakat tinggi, nilai belinya yang rendah. Barang kali banyak yang jualan sekarang tetapi yang membeli tidak ada,” tambah Jro Sengap.

Persentase pementasan Clekontong Mas juga jauh menurun dalam situasi pandemi ini. Sebelum pandemi, jadwal pentas grup yang telah melakukan 2.000 kali pementasan ini dalam sebulan sering kali penuh, sekitar 30-50 kali pementasan sebulan, satu hari bisa 4-7 kali pementasan.

Dibandingkan sekarang, sepuluh pementasan saja sudah paling untung, yang terdiri atas 4 pementasan reguler tiap minggu dan 6 pementasan dalam suatu acara berskala kecil.

Selentingan tentang ‘harga corona’ ternyata bukan mitos. Clekontong Mas pun tidak luput mengalami tawar menawar dengan embel-embel ‘harga corona’. Seakan sudah khatam dengan situasi tersebut, Clekontong Mas punya jawabannya sendiri.

“Tawar menawar harga tentu sering terjadi, paling sering itu ‘sing maan harga corona?’ makanya kami sering jawab, ‘ya, nanti kami kirimkan pregina covid’,” celoteh Dedi Tompel ditimpali tawa rekannya.

Clekontong Mas memiliki prinsip tidak membanting harga untuk mempertahankan eksistensi jenama dan menghargai perjuangan hingga di titik ini. Mereka cenderung memberi batasan dari harga tertinggi hingga harga tawar terendah menurut standar kesepakatan mereka dan juga menyesuaikan situasi dan tempat di mana mereka pentas. Ada kalanya Clekontong Mas tidak mematok harga, misalnya ketika pentas yang bersifat ngayah di pura.

Bahkan, grup yang telah melahirkan 16 karya monumental ini pun memiliki program seperti Ngayah Gratis dan Clekontong Mas Peduli hingga kini. Hanya saja, jika dahulu Clekontong Mas Peduli lebih menyasar anak-anak kurang mampu dan disabilitas, kini mulai dialihkan untuk merangkul para sahabat seniman yang sepi pentas.

Semangat grup bondres Clekontong Mas untuk bangkit di tengah pandemi tidak sekadar bertahan menyambung napas. Melainkan masih berkarya demi mempertahankan eksistensi sebagai seniman. Bahkan, baru-baru ini Clekontong Mas telah merambah dunia sinema dengan menggarap seri film Clekontong Mas the Movie, yaitu Nyi Rimbit dan Pan Balang Tamak.

Meski bukan aktor profesional, namun dengan bekal tekad yang kuat, film yang naskahnya ditulis oleh Dedi Tompel itu pun rampung dan diputar secara perdana pada Kamis (20/5) di Mini Bioskop Gedung Dharma Negara Alaya.

Meski terbilang sedikit beruntung daripada seniman tradisional lainnya, namun tetap saja Clekontong Mas memiliki harapan dan saran untuk pihak-pihak terkait agar menaruh perhatian pada para seniman tradisional Bali yang juga punya andil dalam memajukan seni budaya dan pariwisata Bali hingga dikenal di mancanegara.

“Artinya begini, sebenarnya, pihak-pihak yang berwenang minimal memberikan sebuah proses pendampingan kepada seniman karena selama ini kan yang recovery besar-besaran ada di sektor pariwisata. Nah, bagaimana membangkitkan ini, tentunya harus melibatkan seniman untuk berbicara. Seniman harus dikumpulkan untuk diminta apa yang bisa dibantu dari pemerintah,” tandas Jro Sengap tegas.

Seorang pria yang baru saja keluar dari mobil Suzuki Ertiga putih melambaikan tangan pada saya yang sedari tadi berteduh di bawah pohon palem. Tempat kami bertemu untuk pertam kalinya cukup asing bagi saya. Pria yang baru saja saya kenal itu bernama Komang David Darmawan, yang sering memerankan tokoh liku bernama panggung Gek Kinclong.

Kebetulan di hari itu, Rabu (5/5) David mendapat tawaran mengisi acara di enam bulanan anak dari salah satu kenalannya. Dengan ramah, pria berperawakan tinggi semampai, berambut lurus sepunggung, yang lengkap mengenakan pakaian adat madya itu menjabat tangan saya.

Terlihat tangannya penuh membawa sebuah koper hitam dan sebuah tas besar dari anyaman bambu. Barisan giginya yang terlalu putih sangat kentara saat ia berbicara dengan gaya kemayunya.

Langsung kami menuju ruang berias yang telah disiapkan oleh yang empunya acara. Hal berbeda saya lihat dari kotak make up Gek Kinclong dibandingkan kotak make up Clekontong Mas. Terlihat beberapa brand ternama di peralatan make up-nya.

Berperan sebagai liku yang terkenal memiliki paras cantik bak Ashanty, David tentu tidak sembarangan memilih make up, apalagi ia mengaku punya alergi dengan merk tertentu.

“Bukannya sombong atau gimana ya, soalnya aku pernah alergi make bedak itu. Jadinya gak berani ganti-ganti. Peralatan make up pun aku gak sembarangan mau minjemin, takut aja gitu,” curhat pria asal Banjar Pegok, Sesetan, Denpasar Selatan itu sembari sibuk menepuk-nepuk wajahnya dengan bedak.

Terhitung sekitar sejam setengah saya menunggu dari Gek Kinclong mulai berias hingga selesai tampil. Hari itu terlihat Gek Kinclong berusaha tampil maksimal meski jumlah penonton tidak sebanyak biasanya.

Ia tampil tanpa face sheild namun terlihat canggung karena tidak jelas melihat reaksi penontonnya, apakah mereka tertawa atau tidak. Beruntung, ada satu lawan mainnya ketika itu, sehingga pementasan tidak terlalu sepi dan kaku.

Bila Clekontong Mas mengawali karier bondresnya lebih dulu, lain halnya dengan Komang David Darmawan yang memulai karier sebagai Gek Kinclong di tahun 2015 saat menamatkan pendidikannya di Jurusan Sendratari Klasik IKIP PGRI Bali.

“Nama Gek Kinclong tercetus pada tanggal 4 April 2015 di Taman Ujung Karangasem. Jadi, ketika tiang pentas di pagi hari, bersinarlah wajah Tiang sehingga dipanggil Gek Kinclong oleh Jro Ajus,” kenang David

Pria kelahiran 22 Oktober 1993 itu lalu bergabung dengan salah satu grup kesenian asal Tabanan yang bernama Sanggar Canging Mas. Pria yang disebut Jro Ajus kemudian menuntun David untuk menjadi seorang liku profesional hingga jadi seperti sekarang. Akan tetapi, ketika itu karakter liku yang diperankan oleh David belum memiliki nama panggung.

Terhitung hanya setahun David bergabung di Sanggar Canging Mas dikarenakan bentrok dengan jadwal kuliah S2-nya ketika itu. David mengambil Jurusan Kajian Budaya di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Ia pun memutuskan untuk membranding dirinya secara mandiri dan mengambil job lepas sebagai liku hingga berkesempatan pentas dengan berbagai grup bondres dan arja di Bali.

Meski menikmati perannya sebagai seorang liku, namun David pun tidak terlepas dari suka duka menjalani peran sebagai Gek Kinclong, tokoh perempuan. Perundungan sering terjadi. Misalnya pertanyaan kenapa sih seorang cowok memilih karakter sebagai cewek? Kenapa sih sudah tahu itu tidak baik untuk cowok tapi tetap diteruskan? Kebanyakan pelecehan tersebut ia terima dalam bentuk kata-kata.

Sadar akan hal itu, David berusaha mengambil sisi positif dan memiliki jawabannya sendiri. Selain merasa nyaman dengan karakter Gek Kinclong, ternyata dalam diri David mengalir darah seni yang diwarisi dari kakek neneknya yang dahulu merupakan seniman arja di tempat kelahirannya, yakni Banjar Pegok, Sesetan.

Kisah liku dengan karakter anggun di panggung ini pun tidak jauh berbeda dari seniman tradisional lainnya. Sebelum adanya pandemi, David mengaku dalam sebulan bisa sampai sepuluh kali pentas dalam berbagai acara.

David juga mengeluhkan perbedaan situasi ketika menari di masa pandemi. Biasanya disaksikan meriah oleh banyak penonton, kini jumlahnya dibatasi.

Sedangkan kini, sangat menurun derastis menjadi dua kali dan maksimal hingga lima kali pentas sebulan. Pentasnya pun bukan dalam acara-acara besar, melainkan acara-acara rumahan seperti piodalan kecil, acara di hotel, manusa yadnya, HUT STT, dan acara intern lainnya.

“Tentu saja karena jarangnya kita pentas dan bertemu, tidak muluk-muluk pastinya pemasukan berkurang. Karena sebagai seorang seniman yang hanya terjun dalam bidang ini saja, ibarat ‘payuk jakan’, kita merasakan dampak yang sangat luar biasa,” ungkap David yang belum lama ini diangkat menjadi Dosen di Jurusan Tari dan Tata Rias Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.

David juga mengeluhkan perbedaan situasi ketika menari di masa pandemi. Biasanya disaksikan meriah oleh banyak penonton, kini jumlahnya dibatasi.

Adanya kebijakan untuk mengenakan atribut protokol kesehatan juga membuat David kurang puas dan percaya diri dalam membawakan perannya karena ia tidak bisa melihat tawa dari raut wajah penonton yang tertutupi masker. “Selain mendapat materi dalam bentuk uang, ada kepuasan tersendiri bagi saya ketika melihat penonton tertawa melihat pementasan saya. Ketika menggunakan masker, saya tidak tahu apakah mereka tertawa atau tidak. Tapi, bagaimana pun juga kita tetap harus menjalankan protokol kesehatan,” sambungnya.

Liku yang dijuluki Ashanty-nya Bali ini mengaku terakhir kali pentas dengan jumlah penonton banyak dan tanpa protokol kesehatan yaitu di akhir 2019 menuju 2020. Setelah Nyepi, jadwal pementasan pun mulai diatur ulang bahkan dibatalkan padahal DP sudah terbayar.

Saat itulah David mulai merasakan bagaimana pentas tanpa mic dan tanpa diiringi gamelan. Pentas malam pun sudah mulai jarang sejak pandemi.

Untungnya, David memiliki mindset gemar menabung jauh sebelum covid-19 mewabah. Meski kuantitas pementasannya menurun, setidaknya masih ada ‘jaring’ yang menahannya. Ia harus rela merogoh tabungan untuk menghidupi diri dan keluarga karena pemasukan dari mengajar tidak seberapa. Salon kecantikan yang ia jalani sejak 2017 pun ikut andil menopang finansialnya meski tidak banyak yang mampir. Satu sampai dua pelanggan rias wedding sebulan sudah sangat disyukuri.

Tarif harga pementasan Gek Kinclong juga berbanding lurus dengan merosotnya perekonomian akibat covid-19. Bahkan, penurunan harganya mencapai 50%. Namun, David juga tidak serta merta membanting harga meski keadaan sedang sulit. Ada batasan-batasan tertentu juga yang ia terapkan melihat dari segi acara dan tempat di mana ia pentas. Sama halnya dengan Clekontong Mas.

Entah sampai kapan pagelaran seni tradisional Bali dibatasi. Di samping itu, David juga menyayangkan terkait pembatasan kegiatan adat yang diterapkan. Ia menilai hal tersebut semakin mengikis nilai kesakralan ritual dan budaya Bali.

“Kita tahu virus ini berbahaya, akan tetapi jika terlalu berlebihan dalam menanggapinya akan membuat Bali yang dulunya memiliki taksu sakral perlahan akan meredup dan kalah populer dari Covid. Saya tidak keberatan untuk mematuhi prokes, tapi izinkan juga seniman mendapatkan kembali panggung dan masyarakat berkegiatan,” pungkas pelantun tembang ‘Liku Cetar (Cantik Sebentar) itu.

Tanpa terasa, lebih dari sejam saya ngobrol dengan para pelaku seni tradisional Bali yang jam terbangnya tinggi ini. Anehnya, mereka sama sekali tidak keberatan, melainkan sesi ini menjadi ajang curhat berjamaah.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun ini akan menghelat Pesta Kesenian Bali (PKB) pada Juni hingga Juli dengan tema ‘Purna Jiwa: Prananing Wana Kerthi (Jiwa Paripurna Napas Pohon Kehidupan). Ini boleh jadi angin segar bagi pegiat seni tradisional di Bali untuk mendapat panggungnya kembali.

Dilansir dari Denpost.id, PKB 2021 rencana akan digelar secara daring dan luring mengingat Bali belum sepenuhnya bersih dari Covid-19. Skemanya pun masih didiskusikan untuk mencari formula yang pas. Jika keseluruhan pertunjukan melalui daring, maka para seniman dan kontingen masing-masing kabupaten akan pentas tanpa penonton dan penayangannya menjadi satu kesatuan di kanal YouTube Disbud Bali.

Penonton Konser Musik di Bali

Panggung Sepi, Musisi Bali Adu Nyali

Dunia musik di Bali ternyata memberikan peluang dan harapan. Dari segi ekonomi pun cukup menjanjikan. Berbagai macam profesi ada di dunia musik ini, dari artis musik, kru belakang panggung/backstage artis dan manajemen artis itu sendiri. Masing-masing profesi ini memiliki peran yang sama penting terutama saat pementasan di  panggung.

Gus Bim, manajer dari Band Lolot bercerita, saat mulai terjun, ia masih pesimis bisa hidup dari musik. Ia tidak pernah membayangkan akan mampu membiayai hidupnya kelak. Namun setelah  terjun di dunia musik secara profesional dan jadi pekerjaan utamanya, ia bisa menghidupi diri dan keluarga.

Begitu juga dengan Widi Widiana legenda Penyanyi Pop Bali yang sudah hampir 30 tahun berkarir. Ia bisa menghidupi keluarganya dengan cukup.

Sebelum pandemi ia pentas minimal satu kali dalam seminggu. Pentas tidak hanya di Bali bahkan sampai luar Bali yaitu di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.

Insan seni musik lain dalam “zona nyaman” menjalankan profesinya adalah Lanang, personil Lolot Band. Dunia musik yang ia tekuni sejak 25 tahun silam ini mampu memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum pandemi ia bisa pentas minimal 8 kali sebulan dengan pendapatan sekali pentas  lebih dari Upah Minimum Kota Denpasar saat ini.

Lain lagi dengan cerita Nyoman Gede Tri Bayu Usadha, drummer Band Painful By Kisses (PBK). Copletz begitu ia sering disapa, bercerita walaupun pekerjaannya di dunia musik bukan sebagai profesi utama namun hasil sejak gabung di PBK lumayan dan terkadang melebihi profesi utamanya sebagai desain grafis dan web. “Lumayanlah, dengan jadwal manggung dari PBK, hasilnya lebih dari cukup,” cerita Copletz. Sebelum pandemi ia bersama PBK pernah manggung sampai 4 kali dalam seminggu.

Manisnya kue di dunia hiburan atau dunia musik ini selain dinikmati oleh artis atau manajemen artis juga dinikmati oleh kru “backstage” atau kru di belakang panggung. Kru backstage ini mempunyai peran penting untuk kelancaran pentas artis atau bandnya.

Salah satu kru backstage yang kami jumpai adalah Bayu Agung, yang akrab dipanggil Bagleg dari kru Dialog Dini Hari (DDH).  Ia bercerita kalau ia terjun di dunia musik ini sebagai profesi utama walaupun saat awal masih sebatas menjalankan hobi di dunia musik. Jumlah panggung DDH cukup padat baik di Bali maupun di luar Bali, pendapatannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan. Selain pendapatan, ia juga bisa sekaligus jalan-jalan ke kota-kota di luar Bali.

Pandemi dan adaptasi

Bagaimana dengan pandemi Covid-19 ini? Awalnya Widi Widiana dan Bayu Copletz memiliki anggapan  kalau Covid-19 ini tidak akan sampai ke Indonesia khususnya Bali. “Saya saat itu tidak resah sedikitpun, saya mengira pihak otoritas dunia atau Indonesia akan mengambil langkah cepat untuk antisipasi penyebaran virus ini,” Bayu menambahkan.

Sedangkan Gus Bim yang juga ru Backstage band Superman Is Dead (SID) ini menceritakan tidak menyangka pandemi ini akan lama, sampai lebih setahun. Saat itu hanya risau bagaimana  cara orang dalam jumlah banyak jika pandemi sampai ke Indonesia atau ke Bali.

Tidak ada yang pernah membayangkan Covid-19 ini menjadi pandemi yang berkepanjangan. “Pandemi ini otomatis akan mengubah semua cara hidup, cara kerja, merubah tatanan sosial, dan mata pencaharian kita,” ungkap Lanang yang kerap dipanggil Mr. Botax. Ia mengira pandemi sampai Juli 2020.

Saat ini pendapatannya dari dunia musik terjun bebas karena konser atau pertunjukan dengan mendatangkan orang banyak sudah tidak diijinkan lagi. Hiruk pikuk tata suara menggelegar dengan gemerlap tata cahaya semarak sudah tidak bisa dijumpai lagi saat ini.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana industri pertunjukan khususnya dunia musik saat ini. Artis, kru, dan manajemen sudah harus memikirkan dirinya masing-masing untuk tetap bisa bertahan di pandemi ini.

Awal pandemi pada 2020 tahun lalu, mulai digagas pertunjukan secara virtual atau online. Apakah ini akan menjadi solusi saat pandemi? Memang bermunculan konser atau pertunjukan secara online. Banyak band mencoba melakukan hal tersebut untuk mecoba beradaptasi dengan keadaan.

Namun lambat laun, konser atau pertunjukan online ini seperti kurang diminati. Menurut Gus Bim yang memiliki hobi bersepeda road bike ini, masyarakat masih belum terbiasa dengan konser online apalagi berbayar. Selain itu, menonton konser online dengan durasi lama di layar ponsel tidak nyaman, terutama untuk mata.

Penonton ingin melihat secara langsung performa artis idolanya di atas panggung. Ikut bernyanyi, bergoyang bersama penonton lainnya dan menikmati vibrasi keriuhan suasana konser. Inilah yang tidak didapat oleh penonton saat menonton konser online.

Gus Bim sebagai manajer band mengungkapkan untuk pendapatan dari konser online ini masih minim bahkan harus merogoh kocek sendiri kalau tidak ada sponsor. Dari pihak sponsor pun kurang dukungan terhadap konser online atau virtual ini. Sponsor menginginkan massa atau orang dalam jumlah banyak sehingga sponsor juga bisa berinteraksi.

Hal yang dirasakan oleh penonton juga dirasakan oleh band atau artisnya. “Konser online itu tidak asyik dan sangat menyiksa bagi saya. Vibrasi dan interaksi dengan penonton tidak ada dan tidak ada gunanya bagi saya,” jelas Lanang. Ia yang biasanya disambut riuhnya penonton, namun saat konser online hanya melihat kamera saja.

Saat pandemi ini, Bagleg melakukan pekerjaan sampingan menjual frozen food.

Saat artis atau band diatas panggung, kemudian diikuti teriakan penonton, nyanyi bersama sampai lompat-lompat atau bergoyang bersama akan membuat vibrasi. Otomatis adrenalin si artis juga akan meningkat dan menikmatinya dari atas panggung. Begitu juga halnya dengan kru pendukung band atau artis.

Saat pandemi ini, Bagleg melakukan pekerjaan sampingan menjual frozen food. Menurutnya sangat berbeda situasi konser virtual dengan konser biasa.

Dari segi pendapatan pun menurutnya jauh dari konser biasa, namun dalam situasi pandemi, berapapun nilainya perlu disyukuri. “Cukup membantu setidaknya ada kerjaan dan pendapatan dari pada tidak ada sama sekali,” imbuh Bagleg yang juga menambah penghasilan jadi driver online ini.

Walau konser online masih belum bisa menggantikan konser biasa, baik dari segi pendapatan maupun suasana, tetap perlu dukungan fans. Menurut Bayu Copletz, yang diperlukan adalah apresiasi dari kedua belah pihak. Musisi bisa tetap berkreasi, dan vendor alat bisa tetap menggunakan alatnya agar tidak rusak. Penonton bisa tetap mendukung dengan membeli tiket kalau konsernya berbayar atau menonton di kanal konser.

“Kekuarangan konser virtual ini banyak namun bisa menjadi opsi lain agar musisi tetap kreatif dan berkarya,” tandas Bayu yang terkenal dengan gebukan pedal “tripletnya” ini.

“Kekuarangan konser virtual ini banyak namun bisa menjadi opsi lain agar musisi tetap kreatif dan berkarya,”
tandas Bayu Copletz

Bertahan dan bangkit

Lebih dari setahun kita berkawan dengan pandemi. Belum tahu kapan kondisi ini akan berakhir atau membaik apalagi ada lonjakan kasus di negara lain dengan varian baru virus Covid-19. Haruskan kita hanya berdiam diri, protes atau pasrah menerima nasib?

Konser atau pentas dengan mengundang masa yang banyak sudah tidak diijinkan lagi namun bukan berarti pintu rejeki sudah tertutup. “Kita punya dua tangan dan kaki, punya otak dan punya waktu 24 jam, kita harus lebih kreatif lagi untuk bertahan hidup,” ungkap Lanang yang menggundul rambutnya karena salah menggunakan obat pewarna rambut dan berpengaruh ke akar rambutnya.

Saat ini ia mulai kembali ikut mengelola Warung Nasi Celengnya bersama istri. Ia kelola dengan mencurahkan waktu untuk warungnya. Lanang tidak malu melayani pembelinya. Dari menyiapkan makanan dan membersihkan piring. “Kalau dulu saya yang dilayani namun sekarang saya yang melayani. Saya tidak malu melakukan hal itu semua,” ujar Lanang sambil tertawa kecil. Pendapatan dari warungnya saat ini cukup membantunya bertahan dibanding tahun sebelumnya.

Siasat lain adalah membuka layanan sound engineering seperti yang dilakukan Gus Bim. Ia memiliki studio rekaman di rumahnya, daerah Gatsu. Sebelum pandemi ia malah sangat jarang menggunakan studio miliknya ini. Namun saat ini ia mulai lagi menerima pesanan rekaman atau mixing dari beberapa rekan musisi yang ia kenal.

Teman-temannya datang untuk “mixing” lagu. “Hanya ini yang bisa saya kerjakan saat ini untuk tetap bisa bertahan.”
cerita Gus Bim

Demikian juga Gus Bim. Teman-temannya datang untuk “mixing” lagu. “Hanya ini yang bisa saya kerjakan saat ini untuk tetap bisa bertahan,”cerita Gus Bim saat ditemui di studio miliknya. Sebagai manajer band, ia tetap mencari peluang-peluang kerjasama dengan pihak-pihak sponsor. Melalui Bola Kutus Management, saat ini menjadi ia merasa lebih kreatif menciptakan peluang seperti mengadakan lomba cover lagu LOLOT, lagu nasional, dan lainnya sehingga memberikan pendapatan tambahan kepada timnya.

“Maunya mengeluarkan album secepatnya, cuma kondisi masih pandemi seperti ini ya saya tunggu membaik,”
terang Widi Widiana.

Kanal Youtube juga dijadikan alternatif untuk berkreasi di masa pandemi ini. Banyak musisi berkarya melalui kanal Yotubenya masing-masing. Salah satunya adalah Widi Widiana, musisi Pop Bali yang baru saja menelurkan single berjudul Angkihan Ban Nyilih.

Di masa pandemi ini ia menjadi lebih banyak berkarya. Hampir setiap 2 atau 3 bulan ia merilis lagu baru. “Walaupun pendapatan jauh dari saat pentas, sudah cukup membantu apalagi lagu saya mendapatkan apresiasi positif dari penggemar. Menjadi penyemangat saya dalam masa pandemi ini,” cerita Widi Widiana. Ia juga kini suka berkebun di rumahnya.

Selain itu, karena sepinya job manggung, ia sekarang memiliki lebih banyak waktu untuk mengumpulkan materi lagu untuk album berikutnya. “Maunya mengeluarkan album secepatnya, cuma kondisi masih pandemi seperti ini ya saya tunggu membaik,” terang Widi Widiana.

Dalam masa pandemi ini memang dituntut untuk mengambil semua peluang yang ada tanpa harus memikirkan gengi atau rasa malu. Memiliki banyak relasi juga sangat membantu untuk mendapatkan peluang-peluang tersebut. Seperti yang dialami Bayu Copletz, saat awal pandemi ia sempat berjualan buah dan sayur di depan rumahnya, namun tidak berlangsung lama karena banyaknya saingan dan modal jualannya habis.

Karena ia banyak memiliki relasi di bidang konveksi, ia mendapatkan tawaran membuka bisnis konveksi. Bayu tanpa berpikir panjang langsung menyetujui tawaran tersebut. “Saat tidak ada job manggung, apapun opsi yang ditawarkan oleh relasi saya, ya saya ambil. Sebagai kepala keluarga harus bertanggung jawab untuk keluarga saya,” tandas Bayu yang baru saja membuka usaha konveksi dengan nama Comet Halley.

Di band PBK sendiri, ia bersama bandnya sepakat dalam masa pandemi proses kreatif dalam bermusik harus tetap jalan. Dengan tetap berkarya inilah PBK bisa tetap eksis dan bisa bangkit dari keadaan ini. PBK akan merilis single terbaru dengan konser virtual bekerja sama dengan pihak Konserku menggunakan sistem tiket berbayar.

Namun, membuat peluang kerja baru tak selalu berhasil. Hal ini dialami Bagleg. Pekerjaan di musik sepi job dan kerjaan sampingan sebagai suplier makanan beku (frozen food) juga dihantam pandemi.

Jadi sopir online pun juga harus berhenti karena mobil yang dipakai ditarik bank. Namun hal itu tidak membuatnya putus asa, ia bertekad harus tetap bisa hidup dengan mencari celah-celah lain. “Everything I brush” Itulah motto Bagleg saat ini. Semua bentuk pekerjaan ia lakoni tanpa harus malu menjalaninya. Saat ini ia mengambil pekerjaan bersih-bersih, mengantar barang, dan pekerjaan serabutan lainnya.

Selain itu bersama temannya mulai terjun ke dunia Youtube dengan membuat konten-konten berhubungan dengan dunia musik. Karena memiliki banyak relasi dalam dunia musik, ia memanfaatkan hal ini dengan mengundang teman-temannya mengisi konten Youtubenya di kanal Astaga TV. Bentuk konten yang ia buat adalah interview atau wawancara para insan musik di Bali dan diselingi dengan penampilan dari narasumber yang diundang.

Para insan musik ini juga meminta dukungan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan sehingga dunia hiburan/musik di Bali bisa bangkit dari mati suri ini. Mereka berharap ada kebijakan misalnya dengan memberikan ijin mengadakan pertunjukan musik.

Walau dengan penonton lebih sedikit dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini sangat membantu terutama menarik sponsor sebagai pendukung acara. Selain itu bisa melepas rindu penonton maupun band dan kru pendukung yang rindu mendengar riuh suara penonton saat bernyanyi bersama.

Di Ubud sempat diadakan konser menyiasati prokes dan jaga jarak. Penontonnya menonton dari mobil mereka masing-masing. Menurut Bagleg yang saat itu ikut bersama bandnya, konser seperti ini cukup menarik, suasananya juga sudah sama dengan konser saat sebelum pandemi.

Namun konser seperti ini hanya untuk kalangan terbatas, dikhususkan bagi penonton yang memiliki mobil saja. Sedangkan penonton konser-konser tidak hanya dari kalangan menengah ke atas. Tak mudah mendapatkan konser yang mendukung model seperti ini.

“Pandemi ini otomatis akan mengubah semua cara hidup, cara kerja, merubah tatanan sosial, dan mata pencaharian kita.”
ungkap Lanang

Dikutip dari KataData, https://katadata.co.id/ariemega/berita/60603bc63a49e/spanyol-gelar-konser-musik-perdana-di-masa-pandemi Spanyol menggelar konser musik perdana di tengah masa pandemi corona. Sekitar lima ribu orang hadir dalam konser musik rock yang digelar di arena Palau Sant Jordi, Sabtu (27/3/2021).

Mereka yang ingin masuk ke arena harus menjalani tes Covid-19 terlebih dahulu. Selain itu, para pengunjung harus memakai masker selama konser berlangsung. Apabila semua hal itu sudah dilakukan, tidak perlu lagi social distancing antara satu penonton dengan penonton lain.

Dari tes tersebut, ada tiga orang yang dinyatakan positif Covid-19 dan satu orang melakukan kontak dengan orang yang positif. Salah satu dokter yang mengawasi tes tersebut, Josep Maria Libre mengatakan, mereka yang positif tidak boleh hadir ke konser dan panitia akan mengembalikan biaya tiket yang sudah dikeluarkan.

Pihak-pihak terkait sebaiknya segera mengambil langkah-langkah cepat agar ekosistem musik ini perlahan berdenyut. Diskusi harus melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk insan musik untuk jalan tengah.

Keterangan: laporan mendalam ini adalah bagian AJW 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.