Liputan Mendalam

Siasat Desa Adat di Bali Kelola Dana Pagebluk

Teks dan Foto: Luh De Suriyani

Malam tahun baru 2021 kini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelum pandemi Coronavirus disease (Covid-19). Termasuk di Bali.

Jalan raya lengang, bahkan ada imbauan Gubernur Bali terkait jam malam. Kegiatan luar ruang hanya sampai pukul 23.00 WITA. Prosedur kesehatan seperti jaga jarak dan pengenaan masker masih diwajibkan.

Besaran denda Rp100.000 bagi perorangan, dan Rp1.000.000 bagi pelaku usaha dan tempat fasilitas umum lainnya. Tertuang dalam Peraturan Gubernur Bali No. 46 Tahun 2020 yang mengatur tentang sanksi administratif bagi pelanggar protokol kesehatan.

Salah satu yang ikut memantau protokol kesehatan ini adalah Pecalang. Sebutan bagi unit keamanan desa adat di Bali. Namun, mengawasi hal ini bisa jadi simalakama.

Misalnya pesta perayaan malam tahun baru. Jika di jalan raya pusat-pusat wisata tak ada kemacetan, tetapi keramaian masih terlihat di pinggir pantai. Salah satunya kawasan Canggu, Kuta. Area ini terkenal jadi lokasi sejumlah beach club populer.

Pada malam tahun baru juga beberapa beach club terlihat ramai. Polisi dan pecalang mengawasi keramaian sebuah beach club yang memacetkan ruas jalan menuju Pantai Berawa, Canggu. Kendaraan parkir di jalan raya, pengunjung nampak antre di pintu masuk sembari pemeriksaan suhu tubuh.

Sedikitnya dua beach club terlihat padat pengunjung, tak memungkinkan jaga jarak. Para pengunjung menikmati udara malam, suara musik DJ, ditemani gemuruh suara ombak yang disukai surfer di perairan Canggu.

Beberapa pecalang mengikuti sejumlah polisi yang mengawasi pengunjung di pinggir pantai. Made Sukarma adalah pecalang Desa Adat Tandak yang ikut patroli. “Pengelola club sepakat mematikan musik jam 11 malam,” sebutnya.

Selain patroli mengawasi keramaian, tugas tambahan lain desa adat dalam pandemi di Bali saat ini adalah membagikan sembako. Menentukan warga yang berhak mendapat Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) jadi tantangan untuk sejumlah pengurus desa adat di Bali.

Hal ini diakui I Ketut Sukanata, Ketua Satgas Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Desa Adat Panjer, Kota Denpasar. Dana desa adat sebesar Rp300 juta direalokasi setengahnya sekitar Rp150 juta untuk dialihkan ke program penanganan Covid-19. Alokasi terbesar adalah untuk distribusi BPNT itu senilai Rp100 juta.

Setelah itu, Pemprov menambahkan dana penanganan Covid-19 ke desa adat sebesar Rp50 juta per desa adat. Jadi jumlah alokasi dana total menjadi Rp200 juta/desa adat dikalikan 1493 desa adat di Bali.

Sulit menentukan warga terdampak sesuai Juknis itu, akhirnya kita bagi ke semua warga adat,” ujarnya. Ada 1.400 warga dengan syarat sudah lanjut usia (krama ngele). Namun, pelaporan disesuaikan dengan format Juknis.

Bahkan sebelum dana BPNT ini turun, pihak desa adatnya mengaku sudah mendistribusikan sembako senilai Rp50 juta ke 1400 orang warga adat per Mei dari dukungan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setempat.

Kesulitan menentukan warga yang berhak mendapat BPNT ini juga dialami Gusti Putu Dana, Kelian Banjar Adat Sidawa, Desa Adat Taman Bali, Kabupaten Bangli.

Sangat sulit menentukan orang miskin di kalangan desa adat. Beda dengan desa dinas. Di adat, tak ada yang miskin karena hak dan kewajiban terpenuhi seperti peturunan (sumbangan) saat upacara berjalan,” tuturnya.

Memberikan pada hanya warga tertentu akan jadi konflik baru. Karena kebiasaan berbagi rata.

Dalam Juknis Pergub, disebutkan BPNT diberikan dalam bentuk paket kebutuhan pokok sehari-hari berupa beras, telor, dan minyak goreng. Besaran pemberian bantuan berdasarkan jumlah anggota keluarga dalam kartu keluarga (KK).

Untuk KK paling banyak 4 orang, diberikan paket kebutuhan pokok sehari-hari seharga Rp500.000. Jika lebih dari 4 orang, seharga Rp600.000. BPNT diberikan setiap bulan dan dalam jangka waktu 3 bulan, mulai Mei, Juni, dan Juli tahun 2020.

Kriteria Krama Desa Adat penerima bantuan penyediaan Jaring Pengaman Sosial ini antara lain pemimpin agama seperti Sulinggih, Pamangku Pura KahyanganTiga/Desa. Berikutnya warga adat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan oleh perusahaan tanpa tanggungan. Bisa juga pekerja harian, seperti warung tradisional, pedagang kecil di pasar, industri rumah tangga, nelayan, peternak, tukang bangunan, buruh pasar, dan sejenisnya yang penghasilannya tidak tentu dalam keseharian.

Penerima BPNT desa adat dikecualikan jika warga sudah mendapatkan program bantuan dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Prakerja, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa.

Sebagai pengurus adat, Gusti Dana bersyukur ada alokasi dana desa adat Rp300 juta pada 2020 walau sebagian diarahkan ke penanganan Covid-19. Selain BPNT, hal lain yang menurutnya harus dikaji adalah jumlah dana yang diberikan sama ke seluruh desa adat walau memiliki krama atau warga yang jauh berbeda jumlah dan luas wilayah.

Ia mencontohkan desa adatnya, Taman Bali, terdiri dari 9 banjar. Sementara ada desa adat lain yang hanya 1-2 banjar adat. Menurutnya harus disesuaikan luas wilayah dan penduduknya. Untuk alokasi, Gusti Putu Dana tak bisa berkomentar karena sudah ditentukan peruntukannya.

Membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) uang negara menurutnya hal baru dan harus dijalankan sesusah apa pun. Kini pengurus adat harus membiasakan diri mengikuti administrasi negara. “Ada beberapa yang dikoreksi administrasinya tapi anggaran sudah sesuai peruntukan,” sebutnya.

Tak semua warga di sebuah desa atau kelurahan adalah warga desa adat. Misalnya Kelurahan Panjer, dari 5.454 KK, hanya seperempatnya warga adat karena syaratnya umat Hindu dan ikut kewajiban ritual di pura Khayangan Jagat di desa tersebut. Warga perantau, kemungkinan menjadi warga adat di kampung asalnya. Sementara di perantauan mendaftar sebagai warga desa dinas.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyebutkan Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Banjar Adat atau Banjar Suka Duka atau sebutan lain adalah bagian dari Desa Adat. Krama Desa Adat adalah warga masyarakat Bali beragama Hindu yang terdaftar di suatu desa adat.

Krama desa adat menjadi bagian dari desa dinas yang secara struktur di bawah pemerintah daerah.

Pada tahun 2020, seluruh desa adat di Bali yang berjumlah 1.493 desa adat menerima anggaran Dana Desa Adat sebesar Rp300 Juta. Anggaran tersebut diberikan untuk menyelenggarakan kebutuhan Belanja Rutin dan Belanja Program.

Belanja Rutin sekitar Rp80 Juta untuk membayar insentif Bandesa Adat (pemimpin desa adat) sebesar Rp18 Juta per tahun, insentif Prajuru (pengurus) yang membantu Bandesa Adat yang besarannya ditentukan secara musyawarah dengan biaya maksimal Rp45 Juta per tahun, serta biaya operational sebesar Rp17 Juta per tahun.

Sedangkan Belanja Program berkisar Rp220 Juta digunakan untuk melaksanakan program wajib dari Pemerintah Provinsi Bali yang menggali dan membina seni berbasis ritual (wali/bebali), dan seni tradisi di desa. Ada juga kegiatan pesraman atau pesantian (seni suara) serta Bulan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.

Seiring pandemi, pada April 2020 Pemerintah Provinsi Bali melalui Pergub No. 15 Tahun 2020 tentang Paket Kebijakan Percepatan Penanganan COVID-19 di Provinsi Bali mengarahkan Desa Adat merealokasi Dana Desa Adat yang sudah diterima sebelumnya. Dana Desa Adat yang direalokasi diambil dari anggaran Belanja Program dengan nilai Rp150 Juta. Realokasi Dana Desa Adat sebesar Rp150 Juta tersebut dibagi ke dalam dua skema peruntukan.

Pertama, Rp50 Juta untuk pencegahan dan penanganan Covid-19 berupa pelaksanaan upacara, penyediaan disinfektan, masker, sabun, sosialisasi, dan lain sebagainya. Kedua, Rp100 Juta untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) bagi krama Desa Adat yang miskin dan terdampak Covid-19 serta tidak memperoleh bantuan dari pemerintah kabupaten maupun pusat.

Pada Oktober 2020, Pemprov Bali kembali menambah suntikan dana bagi Desa Adat dari APBD Perubahan. Tambahannya Rp50 Juta bagi setiap Desa Adat untuk mengaktifkan kembali Satgas Gotong Royong Covid-19.

Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan bantuan ini diberikan sebagai bentuk dukungan bagi desa adat yang telah bekerja dengan sangat baik, berkolaborasi, dan bersinergi dengan relawan desa maupun kelurahan dalam menangani Covid-19. Misalnya, desa adat dinilai berhasil melakukan karantina lokal di awal masa pendemi untuk membatasi aktivitas warga.

Namun penambahan alokasi dana desa adat tak serta merta mengerem jumlah kasus Covid-19 di Bali.

Lonjakan kasus harian di Bali

Jelang berakhirnya batas waktu LPJ pengelolaan dana Covid oleh desa adat pada 10 Januari 2021 ini, situasi pandemi di Bali makin meresahkan. Pemerintah pusat menetapkan Jawa dan Bali harus melakukan pembatasan ketat atau PSBB. Di Bali yang diminta menerapkan adalah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, kawasan padat penduduk di Bali selatan.

Laporan terbaru kasus per 9 Januari 2021 menunjukkan kasus baru terkonfirmasi 189 orang (166 orang melalui transmisi lokal, 22 pelaku perjalanan dalam negeri, dan 1 luar negeri). Sembuh sebanyak 110 orang, dan 4 orang meninggal.

Jumlah kasus secara kumulatif sebanyak 19.215 orang, Sembuh 17.196 orang (89%), dan meninggal 560 orang (3%).

Kasus aktif yang sedang dirawat 1.459 orang (7,5%), yang tersebar dalam perawatan di 17 RS rujukan, dan dikarantina di Bapelkesmas, UPT Nyitdah, Wisma Bima dan BPK Pering.

Sayangnya, per 9 Januari, dicek dari https://infocorona.baliprov.go.id/ tak ada laman resmi yang memperlihatkan kasus Covid per desa dinas atau adat untuk memperlihatkan strategi penanganannya. Halaman yang merujuk ke statistik sebaran kasus https://pendataan.baliprov.go.id/ tak bisa dibuka. Data yang tersedia per kabupaten.

Bahkan Ketut Sukanata, pengurus desa adat dan ketua Satgas Gotong Royong pun heran kenapa ia sendiri tak tahu kasus Covid-19 di desanya.

Ia menyatakan secara terbuka di sebuah forum, Rapat Konsultasi Publik Kemitraan Pemerintah dengan Masyarakat Sipil dalam Pencegahan Penularan COVID-19 serta Pemulihan Ekonomi Nasional di Bali oleh Kementerian Dalam Negeri, difasilitasi INFID pada 21 Desember 2020 lalu. “Saya hanya dengar 2 kasus, tapi setahu saya ada 5 orang, kan kami di lapangan,” herannya.

Desa Panjer mengambil inisiatif pada awal pandemi untuk pembatasan keluar masuk desa dengan melakukan pengawasan di sejumlah pintu masuk. Kawasan ini padat pemukiman, kantor, area usaha, dan kampus.

Pengalokasian dana seragam untuk kebutuhan beragam ini apakah menjawab masalah kesehatan yakni penanganan Covid-19?

Tantangan Pengelolaan oleh Desa Adat

Dalam petunjuk teknis (Juknis) penggunaan dana Covid-19, desa adat diinstruksikan melakukan kegiatan sekala dan niskala. Namun, Juknis ini muncul setelah program dijalankan.

Dalam banyak kesempatan Gubernur Bali Wayan Koster selalu minta desa adat “nyejer daksina” merujuk sejumlah persembahyangan agar pandemi cepat berlalu.

Ternyata Koster membuktikannya dengan merealokasi dana desa adat cukup besar yakni Rp50 juta untuk pos penanganan kesehatan secara niskala dan sekala yang dilaksanakan sejak 2 April 2020.

Menurut Juknis Pemanfaatan Dana Desa Adat dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi Bali tahun 2020, bentuk kegiatan niskala dengan Nunas Ica (berdoa) bersama pemangku di Pura Kahyangan Tiga dengan cara Nyejer Daksina (isitilah ritual) di Desa Adat sampai Covid-19 berakhir. Niskala merujuk segala sesuatu yang tak terlihat, seperti koneksi manusia dengan Tuhan.

Namun, Covid-19 belum ada tanda berakhir sampai batas LPJ penggunaan dana desa adat per 10 Janauri 2021 ini.

Adapun kegiatan secara sekala adalah pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi kepada warga, membatasi pergerakan, mengarahkan warga yang termasuk kategori orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) agar melaksanakan isolasi mandiri, menyiapkan masker, handsanitizer, dan cuci tangan.

Juknis juga menyebutkan desa adat bisa belanja pengadaan alat/bahan seperti disinfektan, masker, sarung tangan, hand sanitizer, sabun cuci tangan, alat semprot, tempat cuci tangan dengan air mengalir dan alat/bahan lainnya yang terkait dengan pencegahan.

Penggunaan lain adalah untuk menunjang operasional pelaksanaan tugas Satgas Gotong Royong di Desa Adat, seperti pembelian konsumsi, Bahan Bakar Minyak (BBM) kendaraan operasional patroli dan belanja penunjang lain.

Mekanismenya, desa adat harus melakukan perubahan Rencana Keuangan Tahunan Dana Desa Adat dengan Surat Pernyataan Perubahan Rencana Keuangan Tahunan (RKT). Surat disampaikan kepada krama Desa Adat, dan ditembuskan ke Gubernur Bali melalui Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali.

Dalam mempertanggungjawabkan penggunaan ini, Dana Desa Adat wajib mengumpulkan dan menyimpan semua bukti-bukti transaksi kegiatan. Menyampaikan Surat Pernyataan dan RKT Perubahan kepada Krama Desa Adat, dan ditembuskan kepada Gubernur Bali melalui Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali.

Selama pandemi ini, Desa Adat Panjer tidak lagi membunyikan kulkul, alat komunikasi tradisional yang ada di tiap bangunan banjar ketika ada warga meninggal. “Tidak madedauh istilahnya untuk mengurangi keramaian,” sebut Ketut Sukanata, Ketua Satgas Gotong Royong Desa Adat Panjer. Namun, sebagian warga tahu dan mengunjungi keluarga duka dari komunikasi via grup WA.

Jika ditengarai meninggal dengan gejala Covid-19, warga diminta cukup membawa sumbangan ke banjar, bukan rumah duka. Ia mengingat ada 5 kasus seperti ini di desa adatnya.

Sementara untuk edukasi dan sosialisasi, Sukanata memperlihatkan sejumlah audio sosialisasi yang diperdengarkan di pengeras suara banjar, dalam bahasa Bali dan Indonesia. Ia mengingat di luar dana desa adat, banyak pihak swasta seperti perusahaan menyumbang masker dan lainnya.

Ia menyayangkan Juknis dan standar prosedur pengelolaan dana Covid-19 ini muncul belakangan setelah desa adat bekerja. Jadi perlu energi tambahan untuk menyesuaikan dengan aturan. Alokasi dana desa menurutnya harus sesuai jumlah banjar dan KK karena tiap desa adat berbeda.

Kemudian, untuk strategi penanganan Covid-19 menurutnya harus sesuaikan dengan situasi lapangan, wilayah-wilayah yang terpapar. Sementara hingga kini ia tidak tahu kluster penularan. Menurutnya desa harus lebih tahu kasus dan datanya.

Sebelum mendapat dana APBD, desa adat memiliki pendapatan dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan retribusi sesuai aset yang dimiliki. Misal tanah yang disewakan, retribusi pasar tradisional, tempat usaha, dan lainnya.

Perbandingan dana

Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan percepatan penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berupa Peraturan Gubernur (Pergub) No. 15 tahun 2020. Dalam Pergub ini disebutkan alokasi anggaran di Bali dari sumber APBD sebanyak Rp 756.069.643.295.

Dibagi menjadi tiga kelompok besar. Yakni, penanganan kesehatan terkait COVID-19, Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan dampak ekonomi.

Posko pemeriksaan yang dijaga Pecalang Desa Pelaga di jalan raya awal masa pandemi di Bali.

Pergub 15/2020 diubah dua kali. Pertama, diubah dengan Pergub Nomor 32 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Paket Kebijakan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Provinsi Bali (disahkan 25 Juni 2020).

Menjawab surat permohonan informasi publik yang diajukan pada 22 Desember 2020, Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) Pemprov Bali memberikan jawaban umum, tidak detail realisasi anggarannya seperti diminta pada 8 Januari 2021.

Dari lebih dari Rp756 miliar dana penanganan Covid, realisasi terbanyak hingga akhir Desember untuk alat kesehatan sejumlah Rp65.067.053.382, alat dan bahan medis habis pakai Rp84.494.120.563, dan lainnya (karantina, penyediaan ruang isolasi, gaji dan insentif) sejumlah Rp78.645.636.189.

Total realisasinya lebih dari Rp228 miliar atau 83% dari alokasi. Ada juga Bantuan Langsung Kementerian Sosial di Provinsi Bali melalui Dana APBN Tahun 2020 melalui beragam skema JPS.

Sementara realokasi dana Covid-19 yang dikelola desa adat berjumlah Rp200 juta dikalikan 1.493 desa adat senilai Rp298.600.000.000 atau 39% jika dibandingkan total dana Covid yang dikelola Pemprov Bali. Tertinggi dibandingkan mata anggaran lain seperti kesehatan, JPS, dan dampak ekonomi.

Jika nilai itu dibagi jumlah penduduk kategori miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Bali sebanyak 163 ribu, maka tiap orang bisa mendapat bantuan tunai sekitar Rp1,8 juta. Jika dikonversi ke beras seharga Rp10 ribu/kg, tiap orang mendapat 180 kg.

Dana di desa adat ini realokasi dari anggaran APBD untuk desa adat sebesar Rp300 juta per desa adat yang ditransfer langsung tahun lalu sebelum pandemi.

Hasil pengawasan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Bali sudah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan pada Pemerintah Provinsi Bali dan instansi lain atas Penanganan Pandemi Covid-19 Tahun 2020 pada 28 Desember 2020. Diterima oleh Wakil Ketua 1 DPRD Provinsi Bali I Nyoman Sugawa Korry didampingi Inspektur Daerah Provinsi Bali I Wayan Sugiada, dan Kepala Dinas Kesehatan Ketut Suarjaya.

Tak ada resume laporan tersebut dalam website Inspektorat Bali, dan ketika ditelusuri, dokumen pemeriksaan dimasukkan informasi dikecualikan. Kepala Inspektorat atau Inspektur Provinsi Bali I Wayan Sugiada yang ditemui 11 Januari 2021 di kantornya mengatakan dokumen pemeriksaan tidak bisa ditunjukkan ke media.

Ia mengatakan kinerja penanganan pandemi di Bali dinilai cukup optimal. Catatannya untuk administrasi, perlu ada standar prosedur operasional atau SoP dalam sejumlah program dan surat kewajaran harga dalam pengadaan barang dan jasa.

“Realisasi anggaran di atas 87%, ini di atas rata-rata nasional,” lanjutnya. Sugiada mengatakan tugas Inspektorat adalah memberi peringatan dini untuk menghindari penyalahgunaan dan kesalahan. Misalnya dengan buat pengawasan tahunan dan hasil pemeriksaan unit dengan risiko tinggi, kaitannya dengan jumlah dana yang dikelola. Di antaranya Dinas Kesehatan, Pekerjaan Umum, Satpol PP, Perhubungan, dan lainnya.

Pihaknya juga melakukan pendampingan dalam perubahan APBD untuk penanganan Covid-19, membuat protokol belanja tak terduga, dan lainnya sebelum diperiksa BPK.

Terkait revisi Pergub untuk landasan hukum pengelolaan dana Covid oleh desa adat yang Juknis-nya disusulkan, Sugiada menyebut ini diperbolehkan sebagai diskresi. “Tindakan untuk kepentingan umum, negara dalam keadaan darurat,” kilahnya. Juknis ditandatangani Gubernur pada Juni 2020, tetapi untuk pengalokasian dana mulai Mei.

Menurutnya desa adat efektif dalam penanganan Covid dengan membuat posko gotong royong. Ia mengapresiasi Dinas Pemajuan Desa Adat (PMA) Bali yang membuat aplikasi untuk memasukkan rencana anggaran dana desa dan penggunaannya.

Dari konfirmasi ke Ombudsman Bali disebutkan belum ada laporan warga terkait pengelolaan dana desa adat ini. Hanya distribusi bansos oleh Pemda dan desa dinas.

I Ngurah Suryawan dari Departemen Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Warmadewa dalam risetnya yang diterbitkan Jurnal Politik (Universitas Indonesia) pada 2020 http://jurnalpolitik.ui.ac.id/index.php/jp/issue/view/23 menyimpulkan kebijakan pembentukan satgas gotong royong berbasis desa adat dilakukan dengan hasrat pengaturan negara terhadap desa adat.

Dalam jurnal ini disebutkan, Pecalang dan prajuru desa adat menjadi ujung tombak pengendalian pandemi Covid-19 di masyarakat bawah. Jauh sebelumnya, desa adat telah ditundukkan dengan merangkulnya kepada sistem negara melalui kelahiran Perda No. 4 Tahun 2019. Negara berselancar di atas modal sosial dan pengaruh yang dimiliki desa adat terhadap warganya. Desa adat menjadi alat negara yang paling efektif untuk mengendalikan pandemi. Kebijakan pembentukan satuan tugas gotong royong berbasis desa adat adalah pilihan rasional yang tepat dan menguntungkan negara untuk menampilkan kehadiran dirinya di tengah masyarakat.

Kepala Dinas Pemajuan Desa Adat AA Ngurah Kartika mengakui desa adat otonom, tapi kehadiran negara sangat dibutuhkan desa adat. “Intervensi positif bukan negatif, justru Perda Desa Adat pemerintah beri penghormatan, perlindungan,” sebutnya. Ia merujuk UU 1945 pasal 18B, misalnya dengan alokasi anggaran.

Ia juga mengelak dana desa adat yang besar ini sebagai upaya kontrol secara politik. Tak ada, murni di adat, seni, tradisi, kearifan lokal,” lanjutnya. Namun, PMA mengatakan akan mengkaji hukum adat agar tidak melanggar HAM dan bertentangan dengan hukum. “Ini yang kita dorong bersama MDA. Bagaimana mendorong mandiri secara ekonomi. Bisa sejajar dengan desa dinas. Keduanya luar biasa di Bali,” imbuh Kartika.

Kesatuan masyarakat hukum adat di Bali ini merupakan suatu ikatan sosial religius. Untuk dapat dikualifikasikan sebagai Desa Adat, harus memenuhi berbagai persyaratan sosio-kultural religius, antara lain memiliki satu kesatuan wilayah (wewidangan, palemahan), satu kesatuan warga (krama, pawongan), satu kesatuan pemerintahan adat, dan terikat dalam satu-kesatuan kosmologi Kahyangan Desa atau Tri Kahyangan/Kahyangan Tiga.

Perda tentang Desa Adat No. 4/2019 menjelaskan sejumlah istilah yang membedakan identitas warga lain. Krama Tamiu adalah warga masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak mipil, tetapi tercatat di desa adat setempat. Sementara Tamiu adalah orang selain krama desa adat dan krama Tamiu yang berada di wilayah desa adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di desa adat setempat. Mipil adalah istilah untuk sistem registrasi keanggotaan krama desa adat.

Anggaran Pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a bersumber dari pendapatan asli desa adat, hasil pengelolaan aset, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota, bantuan Pemerintah Pusat, hibah dan sumbangan (dana punia) pihak ketiga yang tidak mengikat, dan pendapatan lain-lain yang sah.

Pengelolaan keuangan dipertanggungjawabkan oleh Bandesa Adat kepada krama melalui rapat atau Paruman Desa Adat. Prajuru Desa Adat dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam pengelolaan keuangan. Jika ada penyalahgunaan, diputuskan Kerta Desa Adat berdasarkan Awig-awig (peraturan tertulis).

Kepala Dinas Pemajuan Desa Adat Provinsi Bali AA Ngurah Kartika: “Bukan Kontrol Politik”

Dinas Pemajuan Desa Adat (PMA) Provinsi Bali adalah unit baru sejak Perda tetang Desa Adat disahkan pada 2019. Program pertamanya adalah melakukan pendampingan pengelolaan dana Covid-19 oleh desa adat ini. Berikut wawancara dengan Kepala Kadis PMA AA Ngurah Kartika yang juga tim Satgas Penanganan Covid Bali di kantornya pada 23 Desember 2020.

Bagaimana proses kelahiran dinas baru Pemajuan Desa Adat (PMA) ini?

Kebijakan pemerintah Bali dituangkan dalam 22 misi salah satunya penguatan dan kedudukan desa adat dalam penyelenggaraan kehidupan bidang parahyangan, pawongan, palemahan, dan subak. Upayanya membangun Majelis Desa Adat (MDA) di provinsi dan kabupaten. Membentuk dinas khusus berdasar Perda 4/2019 tentang Desa Adat di Bali yakni Dinas Pemajuan Desa Adat. Tugas pokok membantu gubernur dalam penguatan dan kedudukan desa adat di Bali.

Pemerintah memberikan anggaran dana desa adat yang bersumber dari alokasi APBD Semesta Berencana Rp447,9 miliar dan di APBD perubahan Rp74 miliar, masing-masing tambahan Rp50 juta di perubahan.

Menurut Gubernur ini baru bab 1. Di Dinas PMA, ada bidang pembinaan pemerintahan desa daat, hukum adat, perekonomian, dan perencanaan pembangunan. Dalam bidang pemerintahan 2020-2021dengan Majelis Desa Adat kerja sama penguatan kapasitas, sumber daya manusia prajuru melalui bimbingan teknis . Penguatan tata kelola dan keuangan desa adat. Ada Pergub 34/2019 tentang Pengelolaan Desa Adat di Bali.

Pembagian wewenang dengan MDA garis batasnya di mana?

Mitra kerja. Apa yang jadi kebutuhan desa adat seluruhnya difasilitasi Dinas PMA. Ketika melaksanakan kegiatan selalu bersama dengan MDA. Penyuratan perarem (aturan adat), ekonomi perencanangan baga usaha desa adat, pembinaan LPD, membangkitkan sektor riil. Perda 4 beri peluang meningkatkan perekonomian desa adat dengan usaha misal tenten, supermarket, bengkel, dsb. Ini peluang bagus.

Ini yang didorong melalui pembentukan BUPDA. Ada 2 pilar, sektor keuangan LPD dan sektor riil, BUPDA. Kalau bagus tata kelolanya, makin sejahtera.

Ada potensi gesekan dengan desa dinas karena ruang dan jenis usahanya hampir sama?


Tak ada peluang itu, karena desa dinas dan adat dari awal berdua bersinergi, kerja sama. Tak saling bersaing. Adat lebih kompleks,
sekala dan niskala. Desa dinas lebih ke administratif. Ini tugas berat menyinergikan dua desa ini. Sudah sering ketemu di Forum Perbekel dan lainnya. Kalau kuat, Bali luar biasa.

Karena ada di ruang yang sama, bagaimana pengeloaan ruangnya?

Krama(warga)-nya satu, krama desa dinas dan adat. Weidangan/areanya juga sama. Ini harus jadi pijakan berpikir kedua pimpinan desa. Obyek sasaran program juga sama. Ini perlu disinergikan, apalagi desa dinas anggarannya lebih banyak. Karena ada dana desa.

Pengelolaan anggaran dana Covid-19 oleh desa adat. Mereka otonom sekarang kelola dana publik, bagaimana prosesnya?

Covid tiba, syukur sudah ada dana desa adat dari APBD tadi. Akhirnya Pemrov menugaskan kami dana desa adat dimanfaatkan penanganan dan pencegahan Covid. Awalnya dirancang program desa adat, lalu dana direfokusing. Sama dengan Pemda. Syukur di desa adat kita sudah ada dana yang bersumber dari APBD itu.

Secara sekala nisakala, ada petunjuk teknis pemanfaatannya. Sekala nunas ica, diberi kesehatan. Prajuru desa adat arahkan ke niskala (nyejer daksina dan segehan wong-wongan).

Sekala ada Satgas Gotong Royong ini yang difokuskan melalui edukasi, penyemprotan disinfektan, masker, dan lainnya. Sampai ada APBD perubahan tambahan Rp50 juta.

Dana desa adat Rp300 juta sudah ditransfer mulai awal Februari dan langsung masuk rekening desa adat. Beda dengan Bantuan Keuangan Khusus (BKK), lewat desa dinas sebelumnya. Dulu nilainya lebih kecil.

Alokasi dana sebelum perubahan anggaran (refokusing) apa saja?

Ada program wajib seperti penyelenggaraan bulan bahasa Bali, pengelolaan sampah, pengembanagan seni wali. Parahyangan ada piodalan, purnama, tilem. Bidang pawongan dan palemahan kita serahkan apa yang dibutuhkan seperti RPJMDes Adat. Kita baru, dinas PMA terbentuk Januari 2020. Kita pararel bekerja. Alokasi APBD masuk, desa adat juga menyusun anggaran setahun.

Ini kendala karena penglingsir belum pengalaman, semua baru sejak Perda 4. Banyak sekali pendampingan. Kebanyakan yang sudah jalan bulan bahasa Bali pada Februari, kebanyakan sudah jalan.

Tidak pakai persentase, Rp50 juta di awal, Rp100 juta untuk dampak BPNT, sampai ketiga Rp50 juta. Akhirnya hampir semua untuk penanganan Covid, sekitar Rp200 juta dari Rp350 juta.

Ada desa adat sudah membangun fisik seperti perbaikan penyengker (tembok pura), kalau sudah dimulai kita tak alihkan anggarannya. Tetap harus jalan. Jika belum dipakai, refokusing, tak semua desa adat.

Alokasi dana desa adat sama padahal jumlah krama dan banjarnya beda?

Sudah dipikirkan, desa adat tak sama. Ada yang satu desa adat satu banjar. Jumlah krama beda. Dari sisi keuangan memang belum menunjukkan “berkeadilan”, tapi soal waktu saja, kemampuan finansial APBD Bali. Kita akan mengarah ke sana, melihat jumlah krama, luas wilayah, dsb.

Rp300 juta sangat sedikit. Makanya kita dorong desa adat bisa mandiri, menciptakan usaha sektor riil untuk penambahan PAD desa adat. Jadi penyeimbang APBD, kalau dikumpulkan bisa banyak juga.

Alokasi mata anggaran formatnya sama, apakah desa adat tak bisa merancang sendiri kebutuhannya?

Penanganan Covid sama, kalau semprot sama pakai disinfektan. Pakai masker, pengadaan alat cuci tangan sama. Tak ada yang berbeda, sama kebutuhan dan alatnya. Itu memudahkan kami juga.

Ada beberapa desa punya strategi dampak Covid, bantu korban PHK dengan modal bertani, ini kan perlu dialokasikan?

Dari mana anggarannya? Sementara tidak. Itu kan sangat kecil, berapa orang yang dapat, 1-2 orang, yang lain nanti nuntut. Belum mengatur soal itu. Itu kan dampak. Ini akan panjang, perlu SDM memadai.

Setelah 9 bulan, pencapaiannya apa?

Secara nasional Bali terbaik penanganan Covid-nya, ini yang harus dipertahankan, ditingkatkan. Ada peningkatan infeksi, yang sembuh juga banyak, tingkat kematian bisa ditekan. SE 2021 sudah memerintahkan peningkatan kinerja Satgas Gotong Royong Desa Adat. Tak boleh kendor dengan prokes, semua transmisi lokal.

Indikator keberhasilannya apa?

Pemerintah punya datanya, kita sudah update, itulah indikatornya. Covid kan dinamis, naik dan turun. Bisa kita kendalikan.

Selain bentuk Satgas Goton Royong, kita dorong buat perarem pengendalian dan pencegahan gering agung Covid19. Perarem ini hukum adat, ini menjadi semacam aturan mengatur tata tertib di wilayah desa adat. Kita dorong ke sana.

Pengawasan protokol kesehatan Satgas Desa Adat kini tak seketat sebelumnya?

Mereka kelelahan, dikira Covid pendek, ternyata masih. Semangat di awal menggebu-gebu, akhirnya kelelahan karena di satgas ada PNS, TNI, yowana, dll. Mereka masih ada, mungkin sekarang terbatas. Soal kemanusiaan, relawan di desa adat.

Transparansi dan serapan anggarannya bagaimana?

LPJ terakhir harus masuk 10 Januari 2021, seluruh pertangungjawaban paling lambat 10 Januari. Sejauh ini belum memantau, tapi data ada. Saya kira hampir 98% sudah selesai.

Apa syarat transparansi keuangan, seperti pengumuman di desa?

Belum ke sana, yang penting sesuai petunjuk teknis. Kami bentuk tim pembinaan dan pengawasan mengikutsertakan Inspektorat, Bappeda, bersama MDA. Tak bisa ke semua desa adat.

Apakah semua mampu membuat LPJ seperti Juknis?

Kami membuka diri, belum sempurna, terus kita dampingi. Tak banyak yang kesulitan, kita sudah berupaya mendampingi.

Bagaimana dengan tambahan Rp10 miliar dana desa adat di Denpasar?

Itu bantuan keuangan khusus, di Denpasar kasus melonjak perlu dukungan dana Pemprov melalui BKK diberikan ke APBD Denpasar. Peruntukannya untuk penanganan Covid, kemunginan ada tambahan dari Pemkot Denpasar.

Ketika negara masuk ke desa adat, bagaimana menyeimbangkan otonomi desa adat dan tanggung jawab publik?

Betul otonom, tapi kehadiran negara sangat dibutuhkan desa adat. Intervensi positif bukan negatif, justru Perda Desa Adat pemerintah beri penghormatan, perlindungan. Sama dengan UU 1945 pasal 18B, misalnya diberikan anggaran. Jangan diartikan kehadiran negara di desa adat akan menyebabkan tak otonom, justru memperkuat. Tak ada yang salah.

Memastikan tak ada kontrol secara politik?

Tak ada, murni di adat, seni, tradisi, kearifan lokal. Pemerintah mendorong dengan otonomi yang dimiliki, bisa melaksanakan penyelengarakan. Tata keuangan lebih modern, kami siapkan Sistem Keuangan Desa Adat (Sikuat). Hukum adat di-review, jangan sampai melanggar HAM, bertentangan dengan hukum, ini yang kita dorong bersama MDA. Bagaimana mendorong mandiri secara ekonomi. Bisa sejajar dengan desa dinas. Keduanya luar biasa di Bali.

Karena menggunakan dana publik, apakah kewajiban pada publik juga melekat desa adat?

Desa adat memang subjek hukum kemudian pemerintah memberikan alokasi APBD dana publik. Kewajiban desa adat mempertanggungjawabkan keuangan tadi.

Kalau publik di luar desa adat apakah bisa mengakses LPJ?

LPJ desa adat disampaikan lewat paruman (rapat adat). Tak boleh ujug-ujug. Mekanisme paruman setelah kegiatan selesai, ada pertanggungjawabannya. Hanya oleh krama desa adat.

Kalau di luar krama adat bisa akses di mana?

Bisa minta di sini (PMA), sementara file belum seperti pemerintahan bisa diakses di mana-mana, kami belum siap. Kalau ingin lihat 10 Januari nanti LPJ. Sikuat aplikasi sederhana bagaimana APBDes disusun di sana, pendapatan, pembiayaan, kita tahu persis anggarannya. Belum online, kerjasama dengan Kominfo. Ini semua baru. Kendala SDM, blank spot, tapi ini berjalan. Ada yang sudah bisa masuk dan belum, yang belum kita input dari sini. Belum semua, masih proses menuju

tata kelola keuangan modern. Kami sedang merancang JIDAT, jaringan informasi hukum adat. Desa adat yang ingin konsultasi bisa lewat sistem. Awig dan perarem didokumentasikan secara elektronik. Sedang dirancang. Sedang buat tim untuk mengasuh tanya jawab di sistem itu.

Kadis PMA Bali

Selembar Surat Minta Diperiksa Inspektorat

Desa adat dan desa dinas mengelola dana penanganan Covid-19. Ada risiko tumpang tindih dan efektivitas menjawab masalah kesehatan.

Kepala Desa Tembok di Kabupaten Buleleng mengajukan surat untuk diperiksa oleh Inspektorat tertanggal 7 Desember 2020. diajukan Sebuah desa kering di Bali utara ini bisa jadi pemantik hal yang masih jarang dibahas yakni keterbukaan, akuntabilitas, transparansi.

Isinya permohonan pemeriksaan pengelolaan keuangan desa, termasuk dana penanggulangan bencana Covid-19. Dewa Komang Yudi Astara, Kepala Desa dinas ini mengatakan ini bukan kali pertama ia minta pemeriksaan laporan keuangan secara aktif. Makin dipicu setelah peristiwa Menteri Sosial Jualiari Batubara menyerahkan diri karena dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 pada 6 Desember.

Sebagai kepala desa, ia menjelaskan kewajibannya adalah mempublikasikan realisasi anggaran melalui forum musyawarah desa dan Badan Pengawas Desa (BPD). Sementara pemerintah bisa melakukan pemeriksaan melalui Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), seperti Inspektorat Daerah. Tahapannya adalah pemeriksaan internal kemudian penyelenggaraan desa.

Pemeriksaan oleh APIP meliputi pemeriksaan keuangan, bukti pertanggungjawaban, dan lainnya. “Tak semua diperiksa APIP, inspektorat. Hanya 129 desa termasuk OPD di Buleleng. Kalau tak ambil inisiatif pemeriksaan, kita tak akan kebagian jatah diperiksa,” urai Yudi.

Menurutnya, jika tak diperiksa ada celah lebih besar kekeliruan sengaja atau tidak. Ia mencontohkan LPJ fiktif dan penyalahgunaan lain. “Saya rasa penting kalau ada kekeliruan di tata kelola keuangan dan administrasi segera kita ketahui dan perbaiki sehingga persoalan sampai administrasi.

Ini bukan permintaan pertama pertama, Yudi menyebut hampir rutin tiap tahun bersurat. Misal pada 2019, 2-3 bulan kemudian Inspektorat datang. Sementara pada 2020 ini, ia sudah ditelpon dan kemungkinan baru datang tahun ini karena keterbatasan sumberdaya manusia.

Pada 2020, dana desa dinas yang dikelolanya sebesar Rp1 miliar 89 juta. Rata-rata Rp1 miliar, pengalokasian oleh pemerintah pusat tergantung luas wilayah, jumlah penduduk, koofesien jarak ke ibukota, dan lainnya.

Setelah pandemi, tak ada perbedaan secara prinsip, hanya diberi keleluasaan penyesuaian perubahan. Biasanya hanya satu kali perubahan dalam setahun. Misal bangun toilet dananya Rp10 juta, ternyata efisiensi Rp2 juta. Selisih anggaran itu bisa disesuaikan di APBDes perubahan.

Selama pandemi kewenangan perubahan lebih dari satu kali. Misal di awal pandemi, diarahkan ke pencegahan penyebaran, APD, karantina mandiri, dan lainnya. “Memotong kegiatan rutin saja, alokasi ke Covid,” sebut Yudi.

Yudi menyusun anggaran desanya untuk menjawab kebutuhan lokalnya saat pandemi ini. Misalnya ada Jaminan Kesehatan Desa dan Bantuan Biaya Pendidikan agar mampu mengakomodasi dampak Covid. “Banyak yang tak diakomodasi pemerintah misal siswa yang terancam putus sekolah, karena tidak mampu beli seragam dan bayar SPP,” contohnya. Belasan anak terancam putus sekolah ini oleh Desa Tembok, disepakati dialokasikan di APBDes.

Dana desa diwajibkan untuk jaring pengaman sosial, diwajibkan pemanfaatannya untuk penyediaan bantuan langsung tunai. Desa yang menerima dana sampai Rp800 juta minimal menganggarkan 20% BLT dari dana desa. Di atas Rp1 miliar, antara 25%-30% atau lebih besar lagi.

Desa tanggap Covid-19 di mata Yudi harus bisa melaksanakan karantina dan menyediakan bahan pangan. “Seharusnya bisa saling isi, aturan bisa mengakomodasi untuk saling melengkapi,” usulnya terkait penganggaran Covid di desa adat dan dinas.

Namun, ada risiko tumpang tindih antara Permendesa dan Pergub dana desa adat. Menurutnya, dana desa adat bisa dialokasikan pada kebutuhan yang belum dibiayai desa dinas. Ada dualitas kebijakan. “Sempat komunikasi dengan desa adat, rapat, agar tak tumpang tindih. Ditentukan porsi kebutuhan misal disinfektan, dan lainnya,” urainya saat di desa.

Misalnya di penetapan kriteria BPNT oleh desa adat, akhirnya sangat menyulitkan desa adat. Sementara pemberian BLT di Permendesa 6/2020 ada14 kriteria dengan sebagian syarat yang menurutnya kurang relevan.

Kriteria tersebut adalah luas lantai <8m2/orang, lantai tanah/bambu/kayu murah, dinding bambu/rumbia/kayu murah/tembok tanpa plester. Buang air besar tanpa fasilitas/bersama orang lain, penerangan tanpa listrik, air minum dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan, satu stel pakaian setahun, makan 1-2 kali/hari, dan lainnya.

Menyiasati hal ini, Desa Tembok mengembangkan indikator dengan skor agar tidak menimbulkan kekhawatiran dan protes masyarakat. Ada 25 indikator rigid yang akhirnya memberikan realisasi dana BLT ke 105 KK per 30 Desember 2020.

Dinas PMA Bali yang mendampingi pengelolaan dana Covid dari APBD oleh desa adat. Kepala Dinas AA Ngurah Kartika menyebut alokasi anggaran seragam memudahkan pengawasan. “Penanganan Covid sama, kalau semprot sama pakai disinfektan. Pakai masker, pengadaan alat cuci tangan sama. Tak ada yang berbeda, sama kebutuhan dan alatnya. Itu memudahkan kami juga,” urainya.

Agung Paramitha, pengajar Prodi Filsafat dari Universitas Negeri Hindu Indonesia (UNHI) yang mengamati desa adat mengatakan regulasi baru yakni Perda 4/2019 memperkuat kelembagaan dan tata kelola ekonomi desa adat.

Tahun 2020 lalu, desa adat diberdayakan untuk urusan yang belum pernah digarap, misalnya dilibatkan dalam penanganan wabah Covid. Di satu sisi menurutnya upaya yang bagus, desa adat diperlukan untuk mendisiplinkan.

Namun, di sisi lain, ia bertanya apakah sudah punya kesiapan mengelola dana bersumber dari APBD? Apakah sudah punya SDM kompeten untuk akuntabilitas keuangan? Karena desa adat megurusi keagamaan dan adat.

Walau Petunjuk Teknis ada, desa adat di desa dan kota menurutnya beda karakter dan sarana. Menurutnya perlu pendampingan intensif.

Pengelolaan keuangan kini bertanggungjawab ke Pemda, padahal prajuru desa adat semangatnya ngayah bukan digaji negara,” sebutnya.

Masalah kesehatan

Apakah strategi penanganan Covid dengan alokasi dana dan mata anggaran sama seperti ditetapkan Pemprov Bali ini menjawab masalah kesehatan?

Akses data resmi Pemprov Bali pada laman https://infocorona.baliprov.go.id/ menunjukkan Bali termasuk lima besar kasus tertinggi setelah Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Kasus baru rata-rata harian 67 kasus. Didominasi transmisi lokal, tetapi kasus dari perjalanan luar negeri melebihi dalam negeri walau dilakukan oleh WNI.

Karena itu Menteri Dalam Negeri menginstruksikan Jawa-Bali untuk pembatasan kegiatan dengan prosedur tertentu seperti work from home (WFH) 75%, pusat perbelanjaan tutup sampai 19.00 WIB/WITA, dan syarat tes swab/atigen untuk masuk jalur darat, laut, dan udara.

Namun, Gubernur Bali menetapkan prosedur lebih lunak. Seperti WFH 50%, pusat perbelanjaan tutup 21.00 WITA, dan tes swab PCR atau Antigen. Berlaku 11-25 Januari 2021.

Pande Januaraga, ahli epidemiologi di Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana mengatakan kasus awal tahun ini mengkhawatirkan. Positivity rate 18%, artinya hampir 2 dari 10 orang yang dites positif Covid.

“3T (tracing, tracking, treatment) kita belum terlalu baik, dampak liburan akhir Desember ditambah dewasa (hari baik pelaksanaan ritual Hindu) upacara, case fatality rate 3%, masih underestimate karena kemungkinan banyak yang tak menular yang luput dari tes,” paparnya.

Apalagi, tambahnya, Gubernur Bali kerap melontarkan pernyataan kontraproduktif tentang kasus kematian karena pihak RS meng-covid-kan pasien. “Perlu dikoreksi, lagi-lagi menyalahkan yankes,” keluh Pande.

Ia mengapresiasi tim yankes yang sudah mengupayakan peningkatan ruang isolasi, penambahan jumlah ICU, ventilator, saat ini sekitar 60-70% bervariasi di RS di seluruh Bali.

Namun, hingga kini, data masih bermasalah karena ada perbedaan data kabupaten, provinsi, dan nasional. Pande mengaku pernah terlibat dalam rekap data dan ada masalah krusial format yang tak sama, sehingga data belum cukup bersih.

“Kalau divalidasi bisa sama, tapi ada perbedaan waktu merekap. Keputusan rilis pasien confirm ada beberapa perbedaan. Tak ada kewajiban rilis data komplit per kabupaten, kota, mungkin sudah malas,” sebutnya.

Ia sendiri merasa sudah nyaris kehilangan minat karena hingga kini kebijakan tetap ke kuratif, hanya imbauan. “Terjebak begini terus, tidak selesai,” pikirnya.

Penanganan Covid oleh desa adat menurutnya harus disesuaikan dengan kapasitas dan wewenangnya. Menempatkan desa adat mengatur ruang adat. Misalnya konsentrasi fokus memastikan upacara yang taat pada protokol kesehatan. “Itu yang saya tidak lihat. Tempat cuci tangan tak efektif, antre banyak. Hand sanitizer harusnya di setiap pojok, seperti di rumah sakit, bisa diterapkan di pura,” sebut Pande.

Upacara agama lain yang mengumpulkan banyak orang adalah upacara kematian (ngaben) dan pernikahan (nganten).

Menurutnya penanganan oleh dana desa dan desa adat saling melengkapi. Desa dinas melakukan monitoring, edukasi, dan media informasi.

Edukasi kesehatan di desa adat saat ini terlihat sama, baliho besar dan lewat pelantang (speaker). Menurutnya ini cenderung mengotori ruang publik dan kurang efektif. Penekun kesehatan masyarakat ini menilai di desa adat, yang cocok adalah model peer.

“Kita masyarakat follower, siapa role model, mereka minta menyebarluasakan informasi di banjar,” contohnya. Namun, ia mengakui, kepemimpinan di tengah pandemi ini jadi masalah besar, karena tak konsisten.

Dari studinya terkait Covid-19, insiden positif makin banyak jika faskes dankemampuan tes makin tinggi.

Ia memperkirakan capaian yang diklaim Pemprov Bali terkait kepatuhan protokol kesehatan yang sangat tinggi di Bali masih bias. Harus jelas metode penghitungannya. Ia curiga yang diukur di jalan raya. Cara mengukur benar menurutnya cek random di event berbeda, pasar, kantor, cafe, jalan, tempat hiburan, kegiatan rumah tangga, kelompok. “Konsistensi terus menurun, dari space umum, sampai keluarga. Kalau mau rata-rata 60% saja untung,” Pande memperkirakan.

Gubernur Bali pada 5 Januari 2021 menyampaikan ke publik klaim pencapaian penerapan protokol kesehatan di Bali. Menurutnya Bali mencapai peringkat tertinggi dalam penerapan protokol kesehatan sesuai dengan data yang disampaikan oleh Kepala BNPB/Ketua Satgas Nasional Penanggulangan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo, dalam rapat 5 Januari 2021 yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur Se-Indonesia.

Kepatuhan memakai masker dengan persentase mencapai 96,47%, tertinggi di Indonesia. Demikian juga klaim kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan dengan persentase mencapai 91,95%.

Pencapaian hasil dari penerapan protokol kesehatan ini mengklaim (per 4 Januari) penambahan kasus baru terkendali, rata-rata 98 orang per hari. Tingkat kesembuhan mencapai 90,96%, tertinggi di Indonesia. Tingkat kematian terkendali dan cenderung menurun, rata-rata kurang dari 5 orang per hari, secara kumulatif mencapai 2,95%.

Namun, jika dilihat selisih total kasus terkonfirmasi hampir 10 hari di awal Januari ini, rata-rata penambahan kasus per hari 171 orang. Bahkan pada 12 Januari, tercatat rekor kasus harian tertinggi selama pandemi yakni 350 orang.

Kini, ketika anggaran dana Covid-19 oleh desa adat sudah habis, bagaimana Pemprov menangani pandemi dengan menjadikan desa adat sebagai ujung tombak?

Linimasa Regulasi COVID-19 di Bali

Liputan mendalam ini didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam program data journalism.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.