Ɖua bulan berlalu, Hari Nyepi seolah masih terasa di Teluk Labuan Amuk, Desa Antiga, Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali pada pertengahan Mei lalu. Teluk yang berada di antara Pelabuhan Padangbai dan Pantai Candidasa itu terasa sunyi senyap meski baru sekitar pukul 10 pagi.
Sebagai sebuah teluk, Labuan Amuk memiliki pemandangan cantik. Cuaca cerah. Langit dan laut membiru. Angin bertiup sepoi. Ombak berdebur tenang. Alam bawah laut juga memanjakan mata dengan warna-warni ikan dan terumbu karang. Suasana amat bagus untuk menikmati dunia bawah laut di teluk yang dikelilingi bukit tersebut. Apalagi, tak jauh dari sini, tepatnya di kawasan Padangbai yang masih masih satu kawasan konservasi perairan (KKP) dengan Labuan Amuk, terdapat karang endemik bernama karang jepun (Euphyllia baliensis).
Dengan keindahannya itulah, Labuan Amuk pun menjadi salah satu lokasi turis untuk menikmati alam bawah laut Bali yang menghadap Selat Badung itu. Pada hari-hari biasa, turis menikmati bawah laut Labuan Amuk. Apalagi di sini juga terdapat operator wisata kapal selam selain aktivitas bawah laut lain seperti snorkeling dan menyelam (diving). Tiap hari setidaknya rata-rata 50 turis berkunjung ke sini. Jumlah itu belum termasuk turis yang masuk dari desa lain naik perahu yang jumlah penumpangnya berkisar 5-10 orang. Dalam sehari, rata-rata ada 10 perahu dari desa lain yang masuk membawa turis. Selain turis, ada pula warga sekitar yang memancing dan menyewa perahu nelayan setempat.
Namun, pada akhir Mei lalu, tak ada turis sama sekali di sana. Tak ada juga pemancing yang biasa berkunjung ke Labuan Amuk. Pos pemantauan dari bahan fiber berukuran sekitar 35×7 meter yang biasanya menjadi tempat para pemancing, kosong sama sekali. Padahal, dari pos pemantauan itulah para nelayan setempat bisa memperoleh sumber pendapatan untuk keluarga maupun kelompok.
Ketut bercerita bersama tiga nelayan lain anggota Kelompok Nelayan (KN) Segara Madu. Di Teluk Labuan Amuk terdapat dua kelompok nelayan. Selain Segara Madu, terdapat juga KN Tanjung Jepun. Anggota kedua kelompok nelayan itu juga bergabung dalam kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) Tirta Segara dengan 50-an anggota.
Seperti nelayan lain di teluk ini, Mangku Arta lebih banyak mengandalkan pendapatan harian dari turis, daripada dari menangkap ikan. Sehari-hari, mereka mengantarkan tamu memancing, diving, ataupun snorkeling. Made Sudiarta, nelayan lain, mengatakan, biaya mengantarkan pemancing atau turis itu berkisar Rp 600.000 sampai Rp 1 juta, tergantung jauh dekat rutenya. Lama mereka mengantar tamu juga beragam, tetapi rata-rata 6 jam per hari.