Mei lalu menjadi awal perjalanan saya dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat ke ujung barat laut perbatasan di Pulau Kalimantan. Tepatnya menuju Pantai Sungai Belacan, tempat para penyu berusaha untuk mempertahankan jenisnya. Jarak tempuhnya sekitar 337 km dari Kota Pontianak, dan dapat ditempuh selama sembilan jam perjalanan.
Segala cerita kondisi fisik prasarana, jadwal penyeberangan kapal, sampai kisah-kisah halus tak kasat mata menjadi topik pembicaraan selama perjalanan. Untuk saya yang terbiasa dengan jalan lebar beraspal rapi, akses menuju Pantai Sungai Belacan ternyata tidak seburuk yang diceritakan. Hanya pada beberapa kilometer terakhir kondisi jalan masih berupa tanah merah, lembek, dan berlubang yang sudah dipadatkan sejak lebih dari lima tahun lalu.
Dengan kondisi akses seperti ini, rupanya Pantai Peneluran Penyu Sungai Belacan cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjungnya. Buku tulis besar bergaris dengan tulisan BUKU TAMU di bagian depan, mencatat 907 wisatawan nusantara dan 6 wisatawan mancanegara datang berkunjung pada 2020 lalu.
Kebanyakan, alasan mereka datang ke pantai ini adalah suasana yang masih alami. Kondisi pantai masih asri dengan tanaman cemara laut berbaris, yang tumbuh di wilayah pantainya. Warna air lautnya pun cenderung hijau kebiruan, dengan bagunan yang masih sangat minim. Kondisi vegetasi yang masih asri dan rapat, serta jumlah pengunjung yang dapat dikatakan tidak terlalu ramai, membuat lokasi ini diminati.
Keunikan Pantai Paloh lain adalah sebagai pantai peneluran penyu kedua terpanjang di Indonesia. Pantai ini menjadi rumah bagi induk penyu yang bertelur dan anak-anaknya menetas (tukik). Berdasarkan data Yayasan WWF Indonesia tahun 2012, panjang bentang pantai peneluran penyu di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas kurang lebih sepanjang 63 km. Jenis penyu yang ditemukan adalah penyu hijau, penyu sisik, penyu belimbing dan penyu lekang.
Di pantai inilah terdapat kelompok pemberdayaan masyarakat “Wahana Bahari Paloh” yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Sebubus No. 36 tahun 2016. Kelompok ini terlibat langsung dalam mengelola ekowisata di Pantai Sungai Belacan ini. Mereka juga memiliki peran dalam upaya perlindungan penyu. Misalnya, pemantauan kondisi pantai peneluran, penyelamatan sarang penyu agar terhindar dari predator maupun air laut, dan penetasan semi alami yang dilakukan pada telur. Ada juga bersih-bersih pantai dari berbagai macam plastik agar penyu yang naik untuk bertelur tidak terganggu akibat plastik.
Saat ini, mayoritas kepengurusan Wahana Bahari Paloh dijabat generasi muda. Dua di antaranya adalah Zulfian (28 tahun) dan Jun (42 tahun). Mereka adalah penduduk lokal yang sehari-hari tinggal di lokasi tersebut. Zulfian merupakan anggota kelompok periode 2016-2020 yang saat ini menjadi ketua kelompok.
Menurut Zul, sebelumnya, kelompok Wahana Bahari Paloh lebih banyak bergerak di budidaya lebah madu kelulut. Namun, mereka sempat vakum sebelum kemudian aktif kembali sejak Februari 2021.
Dari sini, cerita mereka dimulai.
Tempat sama, yakni Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas menjadi salah satu area yang masuk dalam program percepatan pembangunan ekonomi pada kawasan perbatasan Aruk. Perbatasan ini menghubungkan Indonesia dan Malaysia sehingga dianggap penting untuk lokasi program percepatan ekonomi.
Program ini menyelaraskan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Pada Kawasan Perbatasan Negara di Aruk, Motaain dan Skow. Isinya menjadi dasar kuat untuk melaksanakan dan menyelesaikan program kegiatan percepatan ekonomi pada kawasan perbatasan Aruk. Paling lambat dua tahun terhitung sejak Inpres dikeluarkan pada 11 Januari 2021.
Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk merupakan pintu gerbang Indonesia dari Malaysia yang berada di Kabupaten Sambas. Pada Oktober 2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menuliskan bahwa PLBN Aruk merupakan bagian dari Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) Paloh – Aruk. Rencana aksinya adalah pengembangan kawasan perbatasan negara seperti pusat pelayanan kepabeanan, imigrasi, karantina, keamanan, dan industri pengolahan.
Salah satu program kegiatan percepatan di Aruk adalah pembangunan jalan nasional di Kabupaten Sambas. Targetnya, akan ada Jalan Nasional Ruas Merbau – Temajuk. Ruas jalan Merbau dimulai dari Pelabuhan Merbau ke arah utara sampai dengan perbatasan Desa Sebubus dan Desa Temajuk. Panjangnya kurang lebih 29 km. Pembangunan jalan ini sudah dimulai sejak minggu keempat April lalu.
Kasubdit Tata Ruang Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat, Yodha Mudhiya, mengatakan bahwa ada beberapa kegiatan yang akan dilakukan kementerian. Sebagian besar tidak di wilayah Aruk. Sebagai contoh pertanian ada di Tebas, perindustrian ada di Pemangkat.
Yodha menambahkan, untuk Paloh sendiri, sebetulnya ada beberapa usulan waktu masih pembahasan. Namun, usulan tersebut ditolak oleh pusat, seperti pembangunan bandara dan pengembangan pariwisata. Usul yang diterima adalah pengembangan lada, jalan dari Merbau ke Temajuk, serta jalan dari Temajuk ke Teluk Melano.
Pembangunan jalan diharapkan bisa mempercepat waktu perjalanan dari Pelabuhan Penyeberangan Ceremai ke perbatasan Desa Sebubus dan Desa Temajuk. Dari biasanya 45-55 menit diharapkan jadi 20 menit.
Dampaknya kemudian diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akses yang semakin mudah menyebabkan waktu tempuh menjadi lebih pendek, sehingga efektivitas dan efisiensi kerja dapat lebih baik.
Namun, kemudahan akses tersebut juga dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi Pantai Peneluran Penyu Sungai Belacan. Salah satu dampak langsung yang mungkin terjadi adalah peningkatan jumlah kunjungan ke Pantai Sungai Belacan. Hal ini bagai dua sisi yang bertolak belakang. Dia bisa memberikan dampak positif, jika pengelola dapat menggunakan peluang tersebut untuk mengembangkan jumlah wisatawan sesuai dengan manajemen ekowisata pantai peneluran penyu yang mengacu pada Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Taman Pesisir Paloh.
Sebaliknya, dampak tersebut akan membuat bencana jika pengelola tidak bijak bersikap. Jumlah wisatawan bisa melebihi kapasitas pantai untuk berwisata sehingga lingkungan akan berubah tidak rapi, kotor dan rusak.
Padahal, wisatawan pasti berharap mendapat pengalaman menyenangkan untuk melepas kejenuhan, bercengkrama dengan orang terkasih, menikmati panorama pantai, atau bahkan pengalaman berinteraksi dengan tukik atau penyu. Jika lingkungan terdegradasi wisatawan tidak dapat mendapatkan lagi kepuasan.
Akademisi Politeknik Negeri Sambas Nurul Fatimah mengatakan Inpres No. 01 Tahun 2021 akan menciptakan tantangan bagi pengelola wisata. Di satu sisi dia mempercepat pembangunan infrastruktur dan pertanian. Namun, di sisi lain juga berdampak pada ekosistem pantai tempat pendaratan penyu.
“Pasti ada dampak positif terhadap peningkatan ekonomi,” katanya.
Oleh karena itu, dampak positif ini juga harus diantisipasi agar nantinya tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di sinilah warga lokal seperti yang tergabung dalam Kelompok Wahana Bahari Paloh berperan penting.
Hendro Susanto dari Yayasan WWF Indonesia Marine Regional Kalimantan memberikan informasi panjang terkait rangkaian upaya perlindungan pantai peneluran penyu di Kecamatan Paloh. WWF Indonesia sejak April 2009 merintis program konservasi di Kecamatan Paloh. Kala itu Bupati Sambas, Ir. H. Burhanuddin AR berharap agar kerja sama antara WWF Indonesia, Pemerintah Kabupaten Sambas serta masyarakat bisa menyelamatkan penyu di pesisir pantai Paloh.
Pemerintah Kabupaten Sambas sudah menyadari pentingnya keseimbangan ekonomi dan lingkungan tersebut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sambas, misalnya, sudah menyebutkan perlunya pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mendukung perekonomian dan tetap menjaga kelestariannya. Strateginya dengan mendorong Kabupaten Sambas menuju Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Tahun 2012, geliat pariwisata di Kecamatan Paloh mulai tumbuh seiring terbukanya akses jalan dari Desa Sebubus menuju desa paling utara, Desa Temajuk. Pasca-terbukanya akses darat, masyarakat berbondong-bondong membuka hutan pantai secara besar-besaran. Sebagian juga membakar lahan untuk dijadikan kepemilikan sehingga turut merusak ekosistem pantai peneluran.
Terbukanya akses menuju pantai juga berdampak pada semakin sulitnya pengawasan perlindungan penyu. Akibat dari meningkatnya aktivitas masyarakat di sekitar pesisir pantai, penyu mulai enggan mendarat untuk bertelur di beberapa hotspot area. Kemudian tahun 2016 Kementerian Pariwisata Republik Indonesia menetapkan Desa Temajuk menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Kabupaten Sambas.
Hal tersebut mendorong berbagai pemangku kepentingan untuk turut serta berupaya mengkampanyekan sosialisasi perlindungan penyu yang dikemas dalam bentuk Festival Pesisir Paloh (FESPA). Pada periode 2012 sampai 2018 WWF bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak sebagai inisiator kegiatan tersebut. Sejak 2017 Pemerintah Kabupaten Sambas turut ambil bagian dalam kegiatan ini.
Pada tahun sama, Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan keputusan terkait pencadangan KKP3K di Provinsi Kalimantan Barat dengan Nomor: 193/DKP/2017. Dalam surat keputusan tersebut tercantum pencadangan empat kawasan konservasi perairan di Kalimantan Barat. Salah satunya KKP3K Taman Pesisir Paloh di Kabupaten Sambas. Usulan pencadangan tersebut merupakan inisiasi berbagai institusi yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar, BPSPL Pontianak, serta Yayasan WWF Indonesia.
Surat usulan tersebut mengalami proses rangkaian sangat panjang. Hingga pada awal 2019, RZWP3K Kalimantan Barat dituangkan dalam Perda Provinsi Kalbar No. 1 Tahun 2019. Berdasarkan Perda tersebut luas KKP3K Taman Pesisir Paloh Kabupaten Sambas adalah 168.569,35 Ha.
Mandat Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk dapat mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan. Akibatnya, RPZ KKP3K Taman Pesisir Paloh menjadi turunan teknis pengelolaan dari RZWP3K Kalimantan Barat. Sebagian wilayah Pantai Sungai Belacan masuk dalam zona inti I.
Target pengelolaannya adalah perlindungan mutlak habitat peneluran dan alur migrasi penyu seperti Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea). Selain itu, zona ini juga diperuntukkan bagi perlindungan penyu sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch) dan penyisihan stok ikan di daerah penangkapan ikan.
Sebagian wilayah lain masuk dalam zona pemanfaatan terbatas, sub zona pariwisata bahari. Sub zona pariwisata memiliki karakteristik keindahan alam dan keindahan pantai, yang didesain untuk wisatawan dalam berkegiatan wisata. Contoh kegiatan tersebut adalah wisata pantai menikmati panorama, ekowisata hutan mangrove maupun atraksi penyu bertelur, wisata cagar budaya peninggalan Belanda, serta wisata alam lainnya.
Pantai Peneluran Penyu Sungai Belacan yang masuk dalam sub zona pariwisata bahari inilah yang digunakan kelompok Wahana Bahari untuk berkegiatan ekowisata. Misalnya, wisata menikmati panorama pantai, mendesain kawasan perkemahan, serta wisata edukasi lain. Ada pelepasan tukik, pengamatan penyu bertelur, dan budidaya sarang madu kelulut.
Setiap hari libur pengunjung yang datang cukup beragam. Ada yang hanya melepas lelah dengan duduk sebentar. Ada yang memang niat bermalam mendirikan tenda sampai dengan dua malam lamanya.
Lalu, pandemi masuk ke Indonesia sejak Maret 2020. Kondisi lintas batas negara Indonesia dan Malaysia ditutup. Pasokan bahan pangan berkurang. Wisatawan dari Malaysia yang berkunjung pun berkurang. Data jumlah kunjungan tamu di Pantai Sungai Belacan yang dikelola kelompok Wahana Bahari Januari sampai awal Maret 2020, tercatat sebanyak 154 pengunjung. Namun, Januari sampai dengan awal Maret 2021 hanya 43 pengunjung.
Tidak dapat diketahui secara rinci berapa penurunan jumlah tamu sebelum dan selama pandemi di wisata penyu Sungai Belacan. Administrasi pembukuan jumlah kunjungan pada tahun sebelum 2020 masih belum terorganisir dengan baik. Namun, Zulfian mengatakan, selama pandemi jumlah pengunjung berkurang. Begitu pula pendapatan mereka.
Namun, turunnya jumlah pengunjung tidak serta merta menyurutkan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh kelompok. Monitoring masih dilakukan di malam hari, kegiatan pemindahan sarang telur juga masih dilakukan anggota kelompok.
Untuk Kecamatan Paloh sendiri, pandemi yang meresahkan hanya berlangsung sampai dengan tengah tahun 2020. Pertengahan Agustus kondisi berangsur kembali mendekati kondisi biasanya. Kondisi ini pun dirasakan wilayah terpencil Indonesia lain. Wisata berbasis alam kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan.
Hal ini sesuai edaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Juli sampai dengan Agustus 2020 merupakan masa uji coba pembukaan kembali wisata alam di beberapa wilayah Indonesia. Salah satunya di wisata penyu ini.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, protokol kesehatan yang disediakan pengelola Wahana Bahari adalah tempat cuci tangan dengan sabun tersedia di gerbang masuk dan penggunaan masker. Penggunaan hand sanitizer masih minim, karena kegiatan yang dilakukan bersifat outdoor. Cuci tangan dengan sabun menjadi pilihan efektif. Penerapan kuota kunjungan tamu sebanyak 50%, dirasa masih belum dapat maksimal dilakukan, terutama ketika musim puncak berlangsung.
Protokol lain, tamu dari luar daerah harus menunjukkan domisili asal dan surat kesehatan. “Ini dilakukan agar kegiatan ekowisata yang dilakukan oleh kelompok dapat terus berjalan,” kata Zulfian, Ketua Kelompok.
Tantangan kelompok dalam kondisi wisata new normal adalah memberikan edukasi kepada pengunjung agar melakukan protokol kesehatan. Oleh karena itu WWF Indonesia pun selalu memberikan dorongan kepada kelompok untuk tetap selalu menerapkan protokol kesehatan, baik yang sifatnya lisan sebagai pengingat, maupun dalam bentuk pengadaan barang sebagai personal kit COVID-19.
Hal ini senada dengan pernyataan Khairis Bahari, anggota tim promosi Kesehatan Puskesmas Paloh. Puskesmas Paloh membawahi tim penanggulangan COVID-19 di enam desa. “Aktivitas kegiatan yang sifatnya membuat masyarakat berkumpul harus menyesuaikan dengan 50%,” katanya.
Khairis menambahkan pada momen-momen tertentu peak season ketika libur panjang seperti hari raya, Satgas kecamatan membuat portal di Pelabuhan Sumpit. Pengunjung yang hendak menyeberang diperiksa suhu tubuhnya. Satgas juga memberikan diberikan pamflet sebagai edukasi dari pandemi COVID-19.
“Jika suhu tubuh di atas 37oC maka langsung dilakukan tes swab antigen,” tegas Khairis.
Di tingkat desa, Ketua Tim Gugus COVID-19 Desa Sebubus Irpan Riadi menyebutkan, desa juga mengalokasikan dana untuk penanggulangan COVID-19. Pada tahun 2020 jumlahnya mencapai Rp 1 miliar. Mereka juga melibatkan Babinsa TNI-AD, Bhabin Kantibnas Polsek Kecamatan Paloh, dan Puskesmas Paloh. “Harapannya, objek wisata pantai bisa patuh terhadap prokes 3M, meskipun sebagian warga masih cenderung abai,” ujar Irpan.
Julina, ibu rumah tangga warga Desa Sebubus, mengaku telah mendapatkan edukasi tentang jaga jarak, cuci tangan dengan sabun dan penggunaan masker. Warga lain bahkan sudah mendapatkan vaksin terlebih dahulu.
Meskipun belum sepenuhnya bisa dipastikan kapan akan berakhir, sejauh ini warga Desa Sebubus telah melakukan adaptasi terhadap pandemi COVID-19. Pengelola wisata pun sudah menyesuaikan diri, terutama ketika pariwisata di perbatasan negeri ini sudah pulih kembali.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur ditargetkan akan selesai pada 2023. Jika nanti infrastruktur telah selesai dan adaptasi telah biasa diterapkan, maka wistawan bisa menikmati wisata alam dengan minat khusus penyu dan tukik sebagai pesona utama di Pantai Sungai Belacan.
Harapan tersebut sebagaimana juga harapan Agri, 35 tahun, sekretaris kelompok Wahana Bahari. Dia berharap prasarana dan sarana ekowisata bisa segera terwujud. Di sisi lain promosi juga bisa menarik minat khusus wisatawan domestik maupun mancanegara. Tak lupa, kolaborasi parapihak juga terus dilaksanakan termasuk bersama kelompok Wahana Bahari.
“Sehingga kelompok dapat menjadi bagian dari percepatan ekonomi perbatasan,” ujarnya.
Meski mungkin tak mudah, harapan Agri sangatlah masuk akal. Sebagai warga lokal, merekalah ujung tombak dan pelaku utama ekowisata penyu di Paloh. Merekalah yang akan merasakan dampak, positif maupun negatif, dari beragam situasi dan kepentingan saat ini. Mereka pula yang harus menghadapi situasi akibat pandemi dan pembangunan infrastruktur sementara di sisi lain juga harus melestarikan lingkungan dan memastikan sumber penghidupan.