Teks Anton Muhajir, Foto Agung Parameswara
Gede Suanda membangun benteng terakhir di belakang sanggarnya.
The Last Defence, nama karya seni instalasi tersebut, menjadi simbol bagi Suanda untuk mempertahankan sawah dari masifnya alih fungsi lahan. The Last Defence adalah bentuk keprihatinan seniman berusia 35 tahun ini terhadap kian hilangnya sawah. Benteng terakhir itu tersusun dari jerami. Dia berbentuk benteng, salah satu bidak dalam permainan catur. Tingginya sekitar 3 meter. Diamater bawah sekitar 1 meter dengan bagian puncak lebih kecil.
Gede Sayur, panggilan akrab Suanda, membuat Benteng Terakhir itu pada Juni 2015 lalu. Dia memasang Benteng Terakhir tak hanya di sawah miliknya tapi juga di salah satu museum seni terkemuka Agung Rai Museum of Art (ARMA) di Ubud, Gianyar, Bali.
Ubud sebuah desa di kawasan tengah Bali, pulau yang tiap tahun dikunjungi lebih dari 4 juta turis. Bagi banyak orang, terutama turis-turis asing, Ubud adalah Bali terakhir. Ketika daerah-daerah lain di Bali kian berubah terutama oleh tuntutan pariwisata dan modernisasi, Ubud masih mempertahankan ciri khas Bali.
Atmosfer Ubud masih kental dengan suasana tradisional Bali. Ini setidaknya terlihat dari sebagian besar rumah warga, hotel, ataupun restoran.
Dalam novel Eat, Pray, and Love karya Elizabeth Gilbeert, Ubud dicitrakan sebagai pusat Pulau Bali, terletak di pegunungan, dikelilingi sawah bertingkat dan tak terhitung banyaknya pura Hindu. “Sungai-sungai mengalir melalui tebing-tebing curam dari hutan dan gunung berapi terlihat dengan jelas,” tulis Elizabeth.
Menurut Elizabeth, Ubud telah lama dianggap sebagai pusat budaya Bali, tempat di mana lukisan, tarian, pahatan, dan upacara-upacara keagamaan Bali berkembang dengan baik.
Dan, memang begitulah Ubud dicitrakan terus menerus untuk kepentingan pariwisata. Pada 2010, novel karya Elizabeth difilmkan. Bintang Hollywood Julia Roberts menjadi pemain utama. Film yang disutradarai Ryan Murphy itu membuat Ubud makin populer sebagai tujuan wisata. Bahkan, muncul paket perjalanan baru Eat, Pray, and Love Bali di mana Ubud menjadi daya tarik utama yang dijual.
Singkat kata, Ubud adalah kiblat bagi para pencari ketenangan spiritual. Bagi mereka, seperti juga Elizabeth, Ubud adalah tempat mencari keseimbangan spiritual.
Namun, ketika para yogi dan hippies mencari keseimbangan spiritual di desa ini, ada keseimbangan lain yang kian hari kian terancam, lingkungan. Salah satu isu adalah cepatnya alih fungsi lahan pertanian di Ubud. Begitu pula di Banjar Junjungan, tempat Sayur lahir, besar, dan tinggal saat ini.
Gede Sayur yang lahir dan besar di Ubud membandingkannya. Dia mengingat bagaimana situasinya. Sepuluh tahun lalu, sawah-sawah di desa kelahirannya masih terhampar luas. Sepanjang sekitar 2 km di kanan kiri jalan utama desa, hanya ada sawah.
“Tidak ada bangunan sama sekali,” kata Sayur.
Kini, sawah-sawah di desanya sudah berganti dengan deretan vila. Sayur yang memiliki sekitar 10 are sawah, sekarang bertetangga dengan vila-vila. Persis di samping sawahnya, kini sudah berdiri restoran. Di depannya, vila. Di utara, vila. Sawah dan galeri milik Sayur kini dikepung vila milik warga-warga asing atau dari luar Bali.
Sayur lahir dan besar di Banjar Junjungan, Kelurahan Ubud, Gianyar. Tempat ini berjarak sekitar 30 km dari Denpasar atau 4 km dari pusat Ubud. Menurut Sayur, hingga sekitar tahun 1999, tak ada satu pun vila di desanya.
Kini vila-vila bertebaran di kanan kiri jalan. Mereka menggantikan sawah-sawah yang semula menjadi tumpuan warga sebagai sumber penghidupan. Banjar Junjungan di Ubud bisa mewakili gambaran betapa cepatnya alih fungsi lahan di Bali.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, saat ini hanya ada 1.612 unit subak dengan luas sawah 82.095 hektar. Padahal, pada 1997 jumlah Subak masih sekitar 3.000 unit dengan sawah 87.850 hektar. Subak adalah kelompok tradisional petani di Bali yang terikat dalam satu sistem irigasi.
Ketika sawah-sawah kian terancam oleh cepatnya alih fungsi lahan, sesuatu yang lain juga kini terancam hilang, capung. Serangga Odonata ini menjadi teman akrab Sayur ketika dia masih kecil dan suka main di sawah.
Ketika masih SD, hampir tiap sore Sayur bermain ke sawah. Bersama teman-teman dan kakeknya, dia menari dan main gamelan Bali. “Ning ning kir. Ning ning kir,” Suanda menirukan lagu tentang capung yang biasa dia nyanyikan ketika dia masih kecil.
“Saya merinding lagi mengingatnya,” kata Sayur Juni 2015 lalu.
Kami duduk di belakang galerinya. Dia kemudian mengusap lengan kiri. Melihat bulu-bulu tangannya. Capung, bagi dia, adalah sesuatu yang amat akrab di masa kecil dan menyenangkan untuk dikenang.
Sayur menarik napas panjang. Berdiri di belakang galerinya, Luden House, memandang sawah-sawah yang terkepung vila. Di sawah Sayur ada karya seni instalasi lainnya, tulisan setinggi kira-kira tiga meter terbuat dari batang-batang bambu. Isinya, NOT FOR SALE.
Setelah ngobrol, kami lalu menyusuri pematang sawah sambil mencari-cari capung. Sore awal Juni lalu itu, hanya tiga ekor capung yang kami temukan. Itu pun hanya satu jenis, Capungsambar hijau (Orthetrum sabina).
Capung jenis ini dikenal lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan, termasuk alih fungsi lahan maupun perubahan suhu lingkungan. Capungsambar hijau dikenal sangat adaptif. Jenis ini bisa hidup di habitat yang kurang bagus. Spesies yang pola hidupnya soliter ini sering ditemukan di atas tanama air, seperti kangkung, rumput, dan area persawahan. Capung ini memiliki persebaran luas dan dapat dijumpai sepanjang tahun.
Capungsambar hijau hinggap di bagian bawah sisa-sisa tanaman padi yang usai dipanen. Begitu kami dekati, dia terbang lagi. Selebihnya, kami kembali mengendap-endap untuk menemukan capung lagi. “Kalau saya masih kecil dulu, capungnya banyak sekali. Sekarang mungkin tinggal 50 persen,” Sayur melanjutkan.
Hilangnya Capung
Berselang empat bulan kemudian, pada akhir Oktober 2015, saya kembali menyusuri pematang sawah milik Sayur dan tetangganya. Dari pukul 8 pagi saya berkeliling sekitar 3 hektar sawah di Banjar Junjungan. Saya mencari-cari capung di sawah, pematang, dan saluran air di sana.
Selama sekitar dua jam pengamatan pagi itu, saya hanya menemukan empat jenis capung. Selain jenis Capungsambar hijau, juga ada jenis Capungtengger jala tunggal (Neurothemis ramburii), Capung sayap oranye (Brachythemis contaminata), dan Capungsambar garishitam (Crocothemis servillia).
Capung-capung itu biasanya hinggap di batang padi atau sisa-sisanya. Hanya jenis Capungtengger jala tunggal yang hinggap di dahan-dahan kering dekat saluran air. Jenis ini lebih senang hinggap dalam waktu lama sehingga relatif lebih mudah didekati. Berbeda dengan tiga jenis lain yang begitu didekati langsung terbang. Jarak terbang mereka antara 5-10 meter. Tak lebih dari itu.
Dari empat jenis capung itu, saya hanya menemukan 12 ekor di lahan seluas kurang lebih 3 hektar. “Padahal, zaman saya kecil dulu, kalau bulan-bulan ini capungnya sudah tak terhitung lagi,” kata Ngakan Made Pinia, 69 tahun, salah satu petani di Junjungan.
Pagi itu, bapak tiga anak tersebut, sedang memperbaiki saluran air sawahnya. Dia menutup saluran-saluran air yang bocor. Ngakan lalu mengajak saya ikut melihat pembangunan vilanya. Petani pensiunan perawat ini memiliki 80 are sawah. Sebagian lahan sudah diubah menjadi tempat vila.
Kami mengobrol di dalam vila yang sedang dibangun. Para pekerja sedang membangun petirahan seluas 8 are itu. Ngakan membenarkan asumsi saya. Populasi capung di banjarnya memang makin berkurang dibandingkan 10 atau bahkan 20 tahun lalu.
“Kenapa capung makin berkurang?” saya tanya.
“Mungkin karena penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian,” kata Ngakan.
Seperti umumnya petani di Indonesia, Ngakan termasuk pengamat yang jeli terhadap apa yang terjadi sehari-hari di sawah mereka, termasuk perilaku capung.
Bagi petani di Indonesia, termasuk di Bali, bahan-bahan kimia adalah hal akrab dalam keseharian praktik bertani mereka. Sejak pemerintah Indonesia secara agresif mengenalkan Revolusi Hijau pada tahun 1970-an, asupan kimia seperti pupuk dan pestisida pun akrab bagi petani.
Begitu pula bagi Ngakan. Dia sering menggunakan pupuk dan pestisida kimia, seperti Urea dan Phonska, sesuatu yang justru membunuh serangga seperti capung ataupun hewan lain seperti belut.
Dari Ubud, saya juga mencari capung di dua tempat lain di Bali. Namun, petani-petani di dua tempat lain juga menyatakan hal sama. Kian hilangnya capung adalah karena penggunaan asupan kimia yang terlalu banyak.
Tempat kedua setelah Ubud adalah persawahan di Peguyangan, Denpasar Utara. Kawasan hijau yang masih tersisa di pinggiran ibu kota Provinsi Bali ini luasnya ratusan hektar. Serupa di Banjar Junjungan, sawah di sini juga sudah terkepung bangunan. Bedanya, di Junjungan dikepung vila, sedangkan di Peguyangan dikepung perumahan.
Saya tiga kali mencari capung di sini dalam waktu berbeda-beda antara Mei, Juni, dan Oktober. Waktunya berbeda-beda. Ada yang pagi. Ada pula sore.
Hasilnya tak jauh berbeda. Saya hanya menemukan tiga jenis capung seperti halnya di Junjungan. Satu jenis yang tak saya temukan di Peguyangan adalah Capungtengger jala tunggal.
Ni Wayan Soka, petani di Peguyangan, mengatakan, jumlah capung di daerah Peguyangan memang makin berkurang dibandingkan sepuluh atau lima tahun lalu. Tapi, dia tidak tahu persis kenapa capung makin berkurang. Dia hanya bisa menduga-duga.
Sama halnya dengan petani di Junjungan, petani di Peguyangan juga sangat rakus menggunakan bahan-bahan kimia. Mereka menggunakan pupuk kimia agar padi lebih subur. Mereka juga menggunakan pestisida kimia untuk membunuh hama.
Masifnya penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian ini tak diimbangi dengan perilaku yang lebih berhati-hati. Kaleng-kaleng bekas pestisida bahkan dengan mudah ditemukan di saluran air persawahan.
Karena itu, seperti Ngakan, Soka menduga makin berkurangnya populasi capung di persawahannya juga akibat banyaknya penggunaan bahan kimia di di pertanian.
Naga Terbang
Selain karena alih fungsi lahan dan penggunaan bahan kimia, penyebab lain terhadap makin berkurangnya populasi capung di Indonesia yaitu perubahan iklim. Isu global lingkungan ini pun berpengaruh terhadap habitat capung.
Sayangnya, belum ada penelitian khusus terkait isu ini. Mencari jawaban terhadap pertanyaan ini sama susahnya dengan mencari ahli tentang capung di Indonesia. Padahal, bagi banyak orang di negara ini, capung sebenarnya sesuatu yang amat akrab dan dekat dalam keseharian.
Buku Naga Terbang Wendit (2013) menyebut capung merupakan serangga terbang pertama di dunia. Dia muncul sejak zaman karbon atau antara 360 – 290 juta tahun lalu. Capung merupakan serangga akuatik. Hidupnya bergantung pada kualitas air.
Setiap capung mengalami tiga fase utama dalam hidup yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa. Istilahnya, metamorfosis tidak sempurna. Dalam keseluruhan fase tersebut, dua fase di antaranya mengharuskan mereka hidup di dalam air yaitu ketika menjadi telur dan nimfa.
Seekor nimfa bisa hidup di air dalam kurun waktu berbeda-beda. Ada yang hidup beberapa bulan. Ada pula yang hidup empat sampai lima tahun di air. Namun, umur capung dewasa rata-rata hanya sampai empat bulan. Karena daur hidupnya bergantung air, maka capung selalu tinggal di dekat perairan atau sumber air.
Di beberapa komunitas, capung menjadi penanda ada tidaknya air. Laode Maniala dalam tulisan Capung dalam Masyarakat Sulawesi Tenggara (2011) menuliskan bahwa capung bisa menjadi sumber air dan kesuburan tanah.
Capung juga bisa menjadi pertanda cuaca. Jika banyak capung beterbangan, maka pertanda akan segera turun hujan.
Sebagian besar capung hanya akan tinggal di lingkungan bersih. Karena itu mereka pun bisa menjadi indikator kualitas air. Jika air sudah tercemar bahan beracun, capung tidak akan ada di sana. Ketika kondisi perairan tercemar, maka siklus hidup capung terganggu. Populasinya pun akan menurun. Begitu pula jika air sudah mengalami perubahan suhu atau kualitasnya.
Tak hanya menjadi penanda gejala alam, capung juga memiliki nilai budaya bagi beberapa kelompok masyarakat. Di Jawa Timur, misalnya, capung bisa menjadi obat bagi anak-anak yang masih suka ngompol.
Saya pernah mengalaminya ketika SD. Beberapa teman saya yang masih suka ngompol saat itu akan diobati dengan capung. Serangga itu akan digunakan untuk menggigit pusar mereka. Orang-orang tua di kampung saya percaya, si anak akan berhenti mengompol jika capung menggigit pusarnya.
Tradisi pengobatan dengan capung mungkin makin ditinggalkan. Di kampung saya, tradisi itu sudah tidak ada lagi. Di Bali juga tidak ada, sejauh yang bisa saya temukan hingga saat ini.
Namun, tradisi pengobatan dengan capung itu tetap menunjukkan bahwa capung adalah sesuatu yang akrab bagi sebagian budaya di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 6.000 jenis capung di seluruh dunia. Indonesia memiliki sekitar 750 jenis atau 12,5 persen dari total jenis capung di seluruh dunia.
Data lain menyebut, jumlah spesies capung di Indonesia mencapai 900 jenis, atau sekitar 15 persen dari 5.680 jenis capung dunia. Jenis capung Indonesia hanya kalah oleh Brazil. Di komunitas-komunitas lokal, serangga ini disebut sesuai bahasa lokal masing-masing, seperti ginjeng, kinjeng, dan lain-lain.
Tak hanya di Indonesia, kedekatan capung dengan tradisi itu juga terjadi di Jepang. Akitsushima, salah satu nama tua Jepang, berarti Dragonfly Island. Hal ini karena bentuk Negara Jepang sekilas menyerupai bentuk capung. Di negara ini, capung pernah pula menjadi penunjuk sisa-sisa kehidupan setelah bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Alat Pemantau
Karena kedekatannya dengan air, maka capung juga bisa menjadi penanda kualitas lingkungan termasuk perubahan iklim. Keduanya sudah jelas sangat berhubungan. Sayangnya, sekali lagi sejauh yang bisa saya kumpulkan, belum ada riset tentang topik tersebut di Indonesia.
Riset tentang dampak perubahan iklim terhap capung di dunia pun masih sangat terbatas. Salah satunya Jurnal BioRisk 5 edisi khusus pada 2010 yang membahas topik tersebut. Jurnal ini menyampaikan laporan peneliti Eropa, Afrika, dan Amerika tentang bagaimana dampak perubahan iklim di beberapa negara.
Kesimpulan para peneliti tersebut: capung memang bisa menjadi indikator dampak perubahan iklim. Jeffrey A. McNeely dalam pengantar jurnal menyatakan, capung bisa menjadi alat untuk memantau perubahan iklim dengan relatif mudah karena beberapa alasan.
Capung mudah diidentifikasi, mereka sangat sensitif terhadap perubahan termasuk iklim, tiap spesies memiliki distribusi berbeda-beda, dan mereka berkembang biak relatif cepat. “Penelitian terkini juga menunjukkan bahwa penyebaran capung juga sangat sensitif terhadap perubahan iklim,” tulis Jeffrey.
Josef Settele dalam jurnal yang sama menyatakan perubahan iklim termasuk salah satu dari empat penyebab utama berkurangnya keragaman capung. Tiga penyebab lain adalah penggunaan bahan kimia, invasi biologis, dan hilangnya penyerbuk. Hanya penyebab terakhir yang bukan sebagai penyebab langsung.
Pernyataan tiga ahli capung dunia tersebut senada dengan jawaban Wahyu Sigit Rhd, pendiri Indonesian Dragonfly Society (IDS). Perubahan iklim pasti berdampak terhadap populasi capung.
“Logika saja, kita sekarang pun merasa lebih tidak nyaman. Gerah dengan perubahan suhu. Apalagi capung, serangga yang lebih sensitif terhadap perubahan,” kata Wahyu. Dia memberikan contoh satu spesies capung di Banyuwangi yang dulunya ada tapi sekarang tidak ada lagi.
Suputa, ahli serangga dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menyatakan hal serupa. Menurut Suputa, perubahan iklim jelas menyebabkan kenaikan suhu air. Naiknya suhu air pasti mempengaruhi kadar oksigen di dalamnya. Makin panas air, maka makin sedikit kadar oksigennya.
“Otomatis capung akan susah untuk hidup,” ujarnya.
Ngakan, petani di Junjungan, senada dengan Wahyu dan Suputa. Menurut Ngakan, makin hilangnya capung di desanya juga terjadi bersamaan dengan makin meningkatnya suhu di Junjungan. Dia mengatakan, pada saat dia masih kecil dulu, suhu di desanya masih sangat dingin.
“Kalau pagi-pagi ke sawah, kami pasti mengggigil kedinginan,” kata Ngakan. Saking dinginnya, menurut Ngakan, giginya sampai bergeretak.
“Kalau sekarang makin panas. Mungkin ini yang namanya perubahan iklim,” dia melanjutkan.
Bali, pulau seluas 5.780 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 4,5 juta ini, pun terkena dampak perubahan lain. Indikator paling gampang adalah terjadinya kenaikan suhu di Bali.
Ogi Setiawan, peneliti Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu di Nusa Tenggara Barat pernah meneliti bagaimana perubahan iklim terjadi di Bali. Hasil riset tersebut telah dipublikasikan pada April 2012.
Secara garis besar, menurut Ogi, ada tiga dampak potensial perubahan iklim di Bali yaitu perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara, dan kenaikan permukaan laut. Ogi menganalisis data suhu lima tahun antara 2004 hingga 2008 dari empat stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Bali.
Kesimpulannya, telah terjadi peningkatan suhu tiap tahun di Bali. Suhu di tiga stasiun klimatologi Negara, Denpasar dan Ngurah Rai per tahun berturut-turut 0,08 derajat C, 0,02 derajat C dan 0,02 derajat C. Namun, di sisi lain juga terjadi tren penurunan suhu di stasiun Kahang-Kahang, Karangasem sebesar 0,02 derajat C per tahun.
Laporan terbaru dari IPCC yang diterbitkan tahun ini pun menyatakan hal sama. Secara global, jumlah hari-hari dengan suhu dingin terus berkurang sementara di sisi lain, hari yang panas terus bertambah. Gelombang panas di Eropa, Asia, dan Australia terus bertambah.
Dampaknya kemudian terasa hingga ke hidup sehari-hari. Misalnya, curah hujan kian tinggi, musim kemarau lebih panjang, El Nino, dan termasuk pula ke populasi capung.
Berhubungan Erat
Dari referensi jurnal dan pendapat ahli capung, kami kemudian mengamati bagaimana populasi capung di lapangan. Pengamatan di tiga tempat di Bali menunjukkan hubungan erat antara suhu dengan jumlah populasi capung.
Dari pengamatan di Denpasar, capung yang kami temukan adalah spesies-spesies yang cenderung lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan yaitu Orthetrum sabina, Brachythemis contaminata, dan Crocothemis servillia.
Jumlah capung dari tiga spesies itu tak lebih dari 10. Padahal, pengamatan dilakukan tiga kali pada waktu berbeda-beda.
Pengamatan kedua di Junjungan, Ubud. Pengamatan dua kali pada waktu berbeda menunjukkan terdapat empat jenis berbeda. Selain tiga jenis yang bisa ditemukan di Denpasar juga ada jenis Neurothemis ramburii.
Jenis ini suka terbang rendah di sekitar sumber air, seperti saluran irigasi atau kolam. Dia aktif di pagi sampai sore hari. Pergerakannya cepat dan sensitif terhadap obyek yang datang. Pada sore hari pergerakannya lebih lambat.
Dia sering dijumpai di tempat-tempat dengan intensitas matahari tidak terlalu terik. Tidak jauh dari sumber air, seperti kolam, tepi sungai, area persawahan, atau pertamanan. Penyebarannya luas dari dataran rendah sampai sekitar hutan.
Pengamatan ketiga di Jatiluwih, Tabanan. Hasil pengamatan hanya satu kali menunjukkan di sini terdapat lebih banyak spesies capung yang lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Empat spesies yang ditemukan di Denpasar dan Ubud ditemukan juga ada di sini dengan jumlah lebih banyak.
Selain empat jenis yang ditemukan di Denpasar dan Ubud, ada lima jenis lain yang saya temukan di sini yaitu Capungsambar cincinhitam (Onychothemis culminicola), Capungtengger biru (Diplacodes trivialis), Capungsambar merah (Orthetrum pruinosum), Capungjarum centil (Agriocnemis femina), dan Capungjarum gelap (Prodasineura autumnalis).
Umumnya mereka terbang atau hinggap di sekitar saluran irigasi. Dari sisi jumlah, capung di Jatiluwih juga lebih banyak. Jumlahnya lebih dari 30-an yang tersebar di beberapa titik.
Perbedaan banyaknya jenis maupun populasi capung di Denpasar, Ubud, dan Jatiluwih bisa jadi berhubungan pula dengan perbedaan suhu di tiga wilayah tersebut. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) suhu Denpasar berkisar antara 25,4° C – 28,5° C, suhu Ubud antara 24,1o C – 25,7o C, sedangkan suhu Jatiluwih antara 24º C – 30º C.
Secara umum, Denpasar yang berada di dataran rendah di dekat pantai juga memiliki kelembapan 58 – 85 persen. Ubud yang berada di tengah pulau memiliki kelembapan sekitar 65 – 90 persen. Adapun Jatiluwih, yang berada di kaki Gunung Batukaru, Tabanan, memiliki kelembapan 67 – 90 persen.
Dari data suhu dan kelembapan tiga wilayah tersebut terlihat bahwa daerah relatif lebih dingin dan lebih lempap memiliki jenis maupun jumlah capung lebih banyak. Namun, nyatanya, daerah-daerah dingin seperti Jatiluwih pun kini kian mengalami peningkatan suhu serupa Denpasar dan Ubud.
Tanpa mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, capung-capung yang tersisa di Bali mungkin akan jadi capung terakhir. [b]