Oleh Anton Muhajir
Bukit, sawah, gunung, dan pantai di Flores ini menawarkan sesuatu yang berbeda untuk para pecinta petualangan. Inilah perjalanan melelahkan menikmati bentangan alam itu.
Hamparan pulau kecil di sisi barat Flores menyambut tiap orang yang datang ke pulau ini melalui jalur barat. Di Selat Bima yang terletak antara Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) terhampar beberapa pulau dengan pasir putih dan bukit menghijau di antara biru permukaan laut. Pesawat Foker yang kami tumpangi meraung-raung, turun ke tingkat lebih rendah.
Pemandangan berganti. Kami kemudian meliuk-liuk di antara beberapa bukit setelah itu. Perasaan takut sempat muncul ketika pesawat Foker 27 itu terbang di tengah puluhan bukit sekitar bandara. Namun, perasaan itu bercampur kekaguman melihat banyaknya bukit di pulau ini. Pesawat semakin rendah. Rumah-rumah beratap seng, tak ada satu pun beratap genteng, mulai terlihat. Pantai, bukit, jalan raya, dan landasan bandara semakin terlihat jelas. Lalu, hentakan keras menyambut kami ketika pesawat kecil itu mendarat di Bandara Komodo, Labuan Bajo, Flores.
Beberapa turis berseru kaget ketika roda pesawat dengan kapasitas 52 penumpang itu menyentuh landasan. Namun, rombongan ibu-ibu dengan tas belanjaan bergambar salah satu shopping mall ternama di Kuta, Bali, malah tertawa girang sejak pesawat mau mendarat. Mereka seperti sudah biasa.
Suasana terasa lengang ketika kami turun dari pesawat sore itu. Rumput-rumput liar tumbuh di halaman belakang kantor bandara. Ruang kedatangan pun tak jauh berbeda. Tidak ada satu pun kursi di ruangan sekitar 15 x 6 meter persegi itu. Toilet hanya ada satu. Saya harus menahan diri untuk masuk karena banyak yang antri.
Pintu keluar di bandara itu hanya satu. Kondisinya terkunci. Di depan pintu dan jendela, puluhan laki-laki berebut melihat ke dalam. Mereka bersiap menyambut tiap orang yang akan keluar. Namun, belum satu pun penumpang bisa keluar. Pintu masih dikunci. Petugas masih harus menunggu semua bagasi penumpang dibawa ke bandara. Prosesnya agak lama karena masih manual tidak seperti di bandara lain. Di Bandara Ngurah Rai Bali, misalnya, bagasi penumpang itu dibawa dengan kendaraan lalu dimasukkan conveyer belt (alat pemutar) untuk dibawa ke tempat penumpang menunggu bagasi. Tidak demikian di Labuan Bajo.
Bagasi itu dibawa dengan gerobak roda dua dari pesawat ke ruang kedatangan bandara. Penariknya dua orang. Satu di depan, satu di belakang. Penumpang berdiri menunggu di halaman belakang ruang kedatangan. Petugas mengangkat tas satu per satu. Si empu tas atau bagasi akan bergegas mengambil bagasi itu. Setelah dicocokkan antara karcis si empu dengan karcis di bagasi, urusan selesai.
Pintu keluar bandara baru dibuka ketika semua bagasi sudah beres. Lalu, kami pun keluar satu per satu. Mobil yang kami tumpangi keluar dari bandara adalah angkutan umum dengan kursi panjang membujur dari depan ke belakang. Di kursi itu hanya ada saya dan dua penumpang lain. Aneka poster ada di bagian belakang angkutan tersebut. Sheila on 7, Bob Marley, dan puluhan stiker menempel di kaca. Warna-warni poster dan stiker itu kontras dengan jalan yang kami lewati.
Jalan di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat itu beraspal. Namun lubang di mana-mana. Di kanan kiri jalan hanya tanaman liar. Tidak tertata sama sekali. Rumah-rumah beratap seng, bukan genteng. Kota dekat pantai itu panas. Debu beterbangan di jalan padahal kami berkunjung pada Januari, bulan banyak hujan. Panasnya Labuan Bajo inilah yang menyambut kedatangan kami di Flores.
Semburat Senja di Labuan Bajo
Labuan Bajo adalah kota di tepi pantai barat Flores. Karena itu, Saya dan Jelle Goossens, warga Belgia teman Saya selama perjalanan di Flores, memilih hotel yang tidak jauh dari pantai. Kami menginap di hotel Gardena, yang berada di lereng bukit dekat pelabuhan. Hotel yang lebih tepat disebut cottages, karena antar kamarnya terpisah satu sama lain, tarifnya antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Kami memilih hotel di dekat pantai agar bisa menikmati pemandangan sunset lebih leluasa.
Lokasi asik untuk menikmati matahari tenggelam adalah pelabuhan. Ada anjungan ke arah laut sehingga kami bisa berjalan hingga ke tengah. Di kanan kiri anjungan, perahu-perahu yang berlabuh membentuk siluet petang itu. Ada perahu penangkap ikan, perahu angkutan, juga jukung kecil untuk menyeberang ke pulau Komodo yang terlihat dari Labuan Bajo. Siluet, bagi Saya, adalah objek paling menarik untuk difoto. Entahlah. Mungkin karena ada terang di balik gelap siluet itu. Ada energi yang tersembunyi di balik warna hitam siluet. Siluet juga seperti menyimpan misteri, enigma.
Dari pelabuhan ini terlihat beberapa pulau kecil di ujung sana. Kontur bukit di pulau-pulau kecil itu membentuk irama naik turun. Di kawasan ini memang terdapat puluhan pulau kecil berjejeran. Gelapnya yang turun perlahan membuat pulau-pulau itu terlihat misty, berkabut. Satu dua perahu layar yang lewat membuat suasana terlihat romantik.
Sementara itu di ufuk barat, matahari yang sedikit terhalang mendung terlihat makin turun. Awan yang berserak terpisah membuat semburat merah matahari masih terlihat meski tidak sempurna. Warna merah itulah yang pelan-pelan menjadi oranye lalu hitam ketika matahari makin tenggelam.
Petang itu pelabuhan tidak terlalu ramai. Dua pria berpelukan mesra di atas besi pengikat tambang. Seorang laki-laki asik menunggu umpan pancingnya dimakan ikan. Anak buah kapal duduk bersantai di atas geladak. Angin petang bertiup kencang. Saya mencium asin bau laut. Menghirupnya dalam-dalam. Bau garam itu masih tercium hingga malam ketika kami kembali ke hotel lalu terlelap hingga pagi datang.
Menikmati pagi dari depan kamar hotel pun tidak kalah asik dibanding menikmati senja kemarin. Kawasan ini bentuknya mirip teluk. Laut masuk ke daratan dikepung puluhan bukit. Biru air laut terasa kontras dengan hijau bukit-bukit. Pulau-pulau kecil bertebaran di teluk itu. Salah satunya adalah Pulau Komodo dengan reptil raksasa bernama komodo. Karena itu, banyak turis mancanegara mampir ke Flores untuk ke pulau Komodo. Tapi sebagian besar memang tamu limpahan dari Bali.
Hamparan Bukit di Desa Arus
Hari kedua di Flores, kami melanjutkan perjalanan ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Perlu waktu hampir empat jam dari Labuan Bajo ke kota ini. Karena itu kami dengan senang hati pun berhenti ketika perjalanan sudah menempuh setengah dari tujuan. Bukankah perjalanan ini harus dibuat menyenangkan agar tidak terlalu melelahkan?
Kami berhenti di Desa Munting, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat. Desa kecil di pinggir jalan utama yang menghubungkan antar-kabupaten di Flores ini adalah penghasil beras di Flores, bahkan NTT.
Perlu waktu sekitar dua jam untuk sampai desa ini meski jaraknya tidak sampai 60 km dari Labuan Bajo. Lamanya perjalanan ini karena kondisi jalan di Flores memang tidak memungkinkan mobil untuk jalan cepat. Kondisi jalan di sini naik turun melewati bukit dan berkelok-kelok. Jalan yang berkelok-kelok ini lebih parah dibandingkan jalan raya antara Denpasar – Singaraja di Bali atau daerah Puncak, Bogor di Jawa Barat. Kondisi jalan ini diperparah dengan rusaknya jalan utama yang kami lewati.
Jalan yang kami lalui adalah jalan berliku-liku tidak berkesudahan. Dari Labuan Bajo ke Desa Munting, kami nyaris tidak menemukan jalan lurus. Mungkin ada satu dua, tapi sepertinya tidak lebih dari 1 km. Setelah itu kembali berkelok-kelok. Naik turun bukit.
Sekali dua kali kami bertemu mobil angkutan umum yang sebagian besar adalah truk atau mobil pick up. “Kalau pakai mobil biasa tidak akan bisa naik turun masuk desa-desa,” kata Yosef Fernandes, sopir mobil kami. Lucunya, meski jalan raya di sini naik turun dan berkelok-kelok, banyak penumpang duduk di atas mobil. Meski masih ada kursi kosong di dalam, tidak sedikit penumpang yang lebih suka duduk di atas mobil. Mereka terlihat asik-asik saja.
Lokasi Desa Munting agak beda dengan daerah sekitarnya di Flores. Daerah ini berlokasi di kawasan lembah, dikepung bukit-bukit dengan sumber air berlimpah. Kami ibarat berada di tengah mangkuk besar. Posisi yang lebih rendah dibanding mata air merupakan keuntungan tersendiri. Tiga bendungan besar yaitu Wae Kanta, Wae Rago, dan Wae Sele menyediakan air sepanjang tahun di daerah seluas 5.100 hektar di Desa Munting dan sekitarnya.
Sawah terhampar luas di kawasan ini. Sebagian baru habis panen, namun lebih banyak lagi baru mulai menanam. Hamparan sawah itu dibuat bertingkat, terasering, meski tak sebagus terasering sawah-sawah di Bali. Menariknya di sini karena sawah-sawah itu berada di antara bukit dan gunung. Selama hampir dua jam kami menikmati suasana di desa ini sambil ngobrol dengan petani setempat. Langit biru dengan sedikit awan putih disertai angin berhembus semilir membuat kami hampir lupa meneruskan perjalanan. Lalu, perjalanan berlanjut ke Ruteng.
Ruteng adalah pusat kota sebelum Manggarai dipecah jadi dua kabupaten yaitu Manggarai Barat dan Manggarai. Kota ini terlihat lebih maju dibandingkan Labuan Bajo di Manggarai Barat. Bangunan seperti bank, sekolah, hotel, dan fasilitas umum lainnya terlihat lebih rapi dan bagus. Jalan raya juga lebih lebar. Kota pun lebih tertata dan ramai.
Berbeda 180 derajat dengan Labuan Bajo, Ruteng adalah kota pegunungan. Karena itu, kota ini dingin. Petang ketika kami baru sampai, dinginnya terasa menusuk tulang. Sangat berbeda dengan Labuan Bajo. Ruteng diapit beberapa bukit dan gunung. Salah satu gunung yang terkenal adalah gunung Puncak Ranaka setinggi sekitar 2400 meter. Gunung ini terlihat jelas dari Hotel Shinda, tempat kami menginap di Ruteng.
Pada hari ketiga di Flores, kami pun jalan melewati punggung gunung ini menuju desa yang lain. Kali ini kami ke Desa Arus, Kecamatan Puncak Ranaka yang terletak di tengah hutan lindung. Desa ini adalah desa penghasil kopi manggarai. Desanya sendiri mewakili kondisi umum desa-desa di Flores: jauh, terisolir, miskin. Namun perjalanan ke desa ini jadi perjalanan yang menyenangkan.
Dua jam perjalanan ke desa ini menawarkan pemandangan yang serupa. Naik turun bukit dan berkelok-kelok tiada henti. Menyusuri jalanan sepi memberikan keasikan tersendiri meski kadang-kadang muncul rasa bosan juga. Jalur yang kami lewati kali ini sedikit berbeda. Tidak hanya naik turun bukit tapi juga mengular mendaki punggung gunung. Kami kadang lewat di bibir tebing dengan batu padas oranye di satu sisi namun di sisi lain justru jurang atau lembah menganga. “It’s look like in Colorado,” kata Jelle, teman saya.
Parahnya adalah jalan menuju desa ini masih sangat rusak. Mobil Daihatsu Hiline yang kami tumpangi seperti mobil disko karena terus bergoyang sepanjang perjalanan. Jalan itu masih berupa batu-batu gunung yang ditata sebagai dasar sebelum diaspal. Kadang-kadang kami melewati jalan yang putus akibat dilewati air. Kalau tidak ada jembatan dari kayu di jalan itu, maka kami harus nyebur lumpur bersama mobil itu.
Di tengah perjalanan balik dari Desa Arus, kami berada di salah satu bagian tertinggi dari bukit-bukit itu. Dari titik ini terlihat laut Flores di sisi utara. Semula Saya agak ragu kalau warna biru jauh di sana adalah laut. Apalagi, kami baru datang dari desa yang dikelilingi bukit dan setahu saya berada di tengah hutan. Laut itu jadi batas akhir dari pemandangan hamparan bukit yang sambung menyambung. Ibarat permadani yang tersusun dari ratusan bukit. Saya belum pernah menemukan pemandangan seperti ini di tempat lain.
Gunung Menjulang di Desa Inerie
Usai mengunjungi Desa Arus, kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Ngada. Kami hendak menginap di kota Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada. Dari Desa Arus, perlu waktu sekitar empat jam menuju kota ini. Sekali lagi, kami melewati jalan mengular tiada henti.
Dari Desa Arus yang berada di tengah hutan belantara, kami menuju ke arah tenggara ke Kota Bajawa. Kota ini tidak jauh berbeda dengan Ruteng. Keduanya berada di tengah cekungan lembah dan dikepung bukit. Namun untuk ke kota ini kami harus melewati jalan raya di sisi selatan Flores. Kami melewati pantai di daerah ini.
Salah satu titik perjalanan yang menarik adalah di daerah perbatasan Kabupaten Ngada dengan Kabupaten Manggarai. Kami masuk Aimere, daerah pantai selatan Flores. Menariknya pantai ini adalah karena dia berupa teluk lalu di ujung sana ada gunung menjulang tinggi. Saya bisa melihat pemandangan bagus dalam satu bingkai: pantai, air laut, bukit, dan gunung. Gunung di ujung sana adalah Gunung Ine Rie.
Kami harus melewati punggung gunung itu untuk sampai di Kota Bajawa. Jalur di punggung gunung ini, menurut Fernandes, adalah jalur paling ditakuti oleh pengguna jalan utama di Flores. “Soalnya tidak ada yang lurus sama sekali,” kata sopir yang pernah bekerja di Kuta, Bali ini.
Di sekitar gunung Ine Rie ada bebukitan yang terlihat dari jauh teksturnya lancip, bukan landai. Namun ketika sudah sampai di sana ternyata landai saja. Bahkan ketika sampai di bukit di sebelah gunung, waah, ternyata keren. Dari punggung bukit ini kami melihat lembah di bawah sana dan gunung Ine Rie menjulang dengan bentuk sangat miring. Dari sini pula kami bisa melihat pantai Aimere yang tadi kami lewati. Teluk Aimere dengan bukit-bukit berkabut itu seperti sebuah misteri yang sekaligus mengalahkan rasa lelah akibat perjalanan jauh tiada henti.
Mengenal Budaya di Watuata
Selain kondisi alamnya yang menantang, Flores juga punya budaya yang menarik untuk dikenal lebih dekat. Sebagai pulau dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik, gereja dan seminari bisa jadi sesuatu yang menarik dikunjungi.
Gereja yang saya kunjungi adalah Katedral Ruteng yang dibangun sejak 1930an. Melihat menara gereja dengan latar belakang langit biru jadi kepuasan tersendiri. Apalagi ini bangunan sudah tua. Sayangnya saya tidak banyak waktu untuk melihat bagian dalam gereja ini karena tuntutan pekerjaan lain. Namun cukuplah sekejap memotret gereja yang masih kokoh berdiri meski sudah berumur 70an tahun ini.
Sedangkan seminari ada di Ngada, tepatnya di Rodabelu, Ngada. Gedung ini berada di tepi jalan raya antara kota Bajawa dan Ende. Kami menemuinya pada hari keempat di Flores ketika menuju Ende untuk balik ke Denpasar. Menurut Marcell, teman kami dalam perjalanan menuju Ende, Seminari S. Yoh Berkhmans ini sering jadi objek foto orang-orang yang lewat karena bentuknya yang unik.
Bagi saya, gedung ini memang unik. Bangunannya memanjang ke samping berlantai dua dengan salib kecil di tengah atapnya. Halamannya luas dengan rumput dan pepohonan hijau rapi. Terasa kontras dengan bangunan rumah penduduk di sekitarnya yang agak kumuh.
Sayangnya sih saya tidak punya cukup waktu untuk mengeksplorasi lebih banyak tentang tempat-tempat yang asik untuk dikunjungi ini. Meski demikian, bagi saya, cukuplah untuk memberikan sesuatu yang berbeda selain bentangan alam yang menantang di Flores. Jadi, perjalanan menyusuri pulau seribu bukit ini terasa lebih lengkap. [b]
Ingin berlibur ke pantai atau wisata bahari tapi dekat dari Jakarta atau bahkan merupakan bagian dari kota Jakarta??? Mungkin sebagian teman-teman langsung berpikir bahwa pantai itu Ancol bukan? Nah, Selain Ancol yang udah padat dengan pengunjungnya masih ada lho tempat tenang yang jauh dari keramaian kota..yakni Taman Nasional Kepulauan seribu. Untuk Informasi Pulau Seribu, Pulau Bidadari, Pulau Pantara, Pulau Kotok, Pulau Putri, Pulau Ayer atau diPulau Sepa.. Hubungi kami :
Kantor Pemasaran Pulau Seribu :
Jl. Lodan Timur No.7 Marina Ancol Jakarta 14430.
Telp : (021)640 6166
Fax : (021)640 7344
Jl. Raya Condet, No. 1 Jakarta.
Telp : (021)8088 9688
Fax : (021)8088 9671
24 Hours :
08159977449 / (021)682 74005
Email : wijayatama@pulauseribu-wisata.com
Website : http://www.pulauseribu-wisata.com
Facebook : http://facebook.com/pulauseribu