Oleh: Gita Ardi Lestari
Perempuan dan segala permasalahannya merupakan bagian kehidupan sosial masyarakat. Pada masyarakat Bali misalnya, kehidupan perempuan memiliki tantangan tersendiri. Urusan waris dan keturunan memberikan tekanan dan tak bisa dihindari.
Pada kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan di Kubu Bali WCC (Women Crisis Center) di Desa Kekeran, Tabanan, Bali, 19 Agustus 2022, tim pengabdian masyarakat dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan sosialisasi dan edukasi terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain juga menambah wawasan terkait disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Materi diberikan oleh Ibu Nengah Budawati sebagai Founder Bali WCC dan menghadirkan pula dua dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ibu Lidwina Inge Nurtjahyo dan Nathalina Naibaho.
Kepada peserta, Ibu Nengah Budawati menjelaskan tentang bagaimana beratnya posisi perempuan Bali terhadap aturan-aturan adat yang beberapa di antaranya mengalami distorsi dan miskonsepsi dalam peraturan adat. Selain itu juga kesadaran dan perspektif yang memberikan ruang lebih luas bagi perempuan untuk berkarya dipertajam dengan menelaah kasus-kasus kekerasan dalam ruang rumah tangga bagi perempuan yang bercerai maupun yang mengalami kekerasan fisik.
Sedangkan Ibu Lidwina Inge Nurtjahyo menjelaskan spektrum kekerasan seksual yang lebih luas lagi. Misalnya marak fenomena KSBE (Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik) yang terjadi di era mudahnya teknologi dan informasi. Belum lagi fenomena lain seperti grooming yang mengancam anak-anak dibawah umur.
Ketika orang tua lalai terhadap pengawasan anaknya maka yang ditakutkan adalah terjadinya kekerasan terhadap anak di bawah umur, jauh lebih buruk daripada yang terjadi secara terbuka. Pemahaman bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik ini hanya terjadi pada anak dan remaja di kota besar tidaklah dibenarkan. Jaringan teknologi informasi telah menebas batas dan waktu, memberikan kemudahan untuk segala kemungkinan bisa terjadi.
Ibu Nathalina Naibaho sebagai dosen Hukum Pidana memberikan penjelasan mengenai hukum pidana yang melingkupi kekerasan berbasis gender. Sebagai perluasan dari UU TPKS, kekerasan seksual sendiri dalam UU tersebut mengedepankan pembuktian kasus yang dibebankan pada negara.
Jika dulu, setiap kasus kekerasan seksual pembuktiannya diberatkan pada korban, maka sekarang dengan UU TPKS memberatkan pembuktian pada negara. Kekerasan seksual juga memiliki spektrum luas yang tidak hanya masuk pada kasus seperti pemerkosaan. Definisi kekerasan seksual juga melingkupi perbuatan yang tidak harus langsung menyasar ketubuhan korban.
Kekerasan seksual juga memiliki lingkup dalam hubungan keluarga, dengan relasi kuasa yang jelas antara korban dan pelaku. Karena peliknya kasus kekerasan seksual, biasanya penyelesaiannya pun cenderung mengecilkan kesempatan untuk melakukan penghukuman yang maksimal bagi pelaku.
Adanya kegiatan pengabdian masyarakat ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pengetahuan masyarakat terhadap perkembangan hukum dalam isu kekerasan seksual serta konsekuensi hukumnya. Secara umum, pengabdian masyarakat memberikan keleluasaan untuk memberikan peningkatan kapasitas bagi masyarakat terkait isu yang ada didalam hubungan masyarakat itu sendiri.