Oleh Anton Muhajir
Dengan perasaan agak canggung, saya masuk areal pura itu. Ya, meskipun sudah memakai pakaian adat Bali: kamen (sarung), saput, udeng (ikat kepala), baju putih, dan selendang, tetap saja saya merasa sebagai orang luar. Saya datang ke sana sore itu, sekitar pukul 15.00 Wita bersama Ketut Ariana, kakak ipar saya. Di pura itu ada pula paman, bibi, ponakan, mertua, dan hampir semua keluarga besarr saya dari istri. Namun tetap saja ada perasaan was-was.
Ini mungkin sesuatu yang alami dan manusiawi. Ketika masuk komunitas “lain”, betapa pun komunitas itu dekat dengan kita, tetap saja ada perasaan sebagai outsider, seseorang yang di luar komunitas itu sendiri. Mungkin tidak perasaan sebagai orang luar itu sendiri. Bisa jadi juga karena khawatir akan diketahui sebagai orang “lain” lalu jadi masalah bagi orang lain. Ini ketakutan yang kadang-kadang berlebihan.
Tapi saya harus melawan rasa canggung itu. Ada sesuatu yang, seperti dikatakan bapak mertua dan keluarga saya lainnya, menarik untuk dilihat.
Manis Galungan, sehari setelah umat Hindu Bali merayakan Galungan, adalah odalan di pura desa di Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, sekitar 100 km timur Denpasar. Maka ketika keluarga besar saya pulang kampung, mereka tidak hanya merayakan Galungan. Mereka juga merayakan odalan di pura desa.
Ada sesuatu yang selalu ditunggu tiap odalan di pura desa: daratan. Tradisi warga adat setempat ini dilakukan dengan agak mengerikan. Warga laki-laki dalam kondisi trance (tidak sadar) membawa keris untuk ditusuk-tusukkan ke dada seperti halnya ngurek yang umum dilakukan di Bali. Bedanya ketika narat, melakukan tradisi daratan, laki-laki itu juga memukul-mukulkan sisi keris. Jadi mirip orang menebas sesuatu.
Bagi saya ini tidak lazim. Keris adalah senjata berujung lincip dan tajam karena memang ujung ini yang dipakai untuk menusuk, bukan memukul atau membacok. Tapi dalam tradisi daratan, kedua sisi keris ini dipakai. Bisa dengan tangan kanan, bisa dengan tangan kiri. Bergantian memukul lengan.
Dan, sore itu saya ke pura untuk menyaksikan bagaimana daratan dilakukan. Berkali-kali rencana saya melihat daratan gagal karena beragam alasan. Maka sore itu saya meyakinkan diri untuk tidak melewatkannya. Toh, ketika sampai pura perasaan agak canggung itu muncul juga.
Suara gamelan Bali bertempo cepat terdengar. Saya masuk areal madya (tengah) mandala pura. Di areal ini daratan akan dilakukan. Di tengahnya dua kelompok laki-laki sedang menari. Sekitar 50 anak muda betelanjang dada di sisi utara dan orang tua berpakaian lengkap dengan jumlah seimbang di sisi selatan. Mereka saling berhadapan. Semuanya membawa keris di pinggang. Tarian itu persiapan untuk menggelar daratan.
Nada-nada riang mereka lantunkan. Meski saya tidak tahu jelas apa maksudnya, mereka seperti saling meledek. Ketika kelompok orang tua maju, kelompok anak muda mundur. Dan sebaliknya. Tiap maju mundur itu diakhiri mengangkat tangan ke udara dan berseru, “Haa!” Lalu mereka tertawa. Sesekali tiga pemangku berpakaian putih memberi tirta (air untuk upacara) ke mereka.
Saya hanya berdiri di pinggir areal, bergabung dengan ratusan pemedek (umat Hindu yang sembahyang, semacam jemaah dalam Islam atau jemaat dalam Nasrani), melihat tarian itu. Melihat keceriaan sore itu, pelan-pelan canggung saya mulai hilang.
Komang Ardana, kakak ipar yang lain, mendatangi saya ketika melihat saya di sana. Dia minta kamera saya lalu maju mendekati para menari. Ketika Komang memotret, para penari saling berebut di depan agar bisa dipotret. Mereka tertawa-tawa.
Hanya tujuh kali jepret, Komang mundur. Dia kembali ke tempat saya mengembalikan kamera. Melihat keceriaan para penari dan suasana guyub di antara mereka, saya tak tahan lagi. Saya maju membawa bawa kamera itu. Saya dekati mereka. Jepret. Jepret. Saya mulai memotret. Hilang sudah semua canggung itu kalau sudah begini. Saya dekati mereka lagi. Sebab makin dekat dengan objek, makin jelas apa yang kita potret. Saya di tengah di antara para penari itu. Berbaur dengan mereka.
Sekitar 10 menit kemudian, pemain gamelan memainkan nada-nada makin cepat. Suara gamelan makin kencang. Dua kelompok pelan-pelan bubar. Mereka kini membentuk satu barisan memanjang ke belakang. Mereka semua berlari mengitari pura itu tiga kali sambil mengangkat kerisnya tinggi-tinggi.
Satu dua laki-laki memisah dari barisan panjang itu. Mereka membuka baju, bertelanjang dada. Dengan keris diacungkan di depan dada, mereka menari-nari. Maju mundur, maju mundur. Belum ada gerakan yang menakutkan.
Tiba-tiba satu laki-laki menyeruak maju. Masih berpakaian adat lengkap, dia membuka selubung keris, lalu mengacungkannya tinggi-tinggi. Empat pecalang mendekatinya. Laki-laki itu seperti kejang-kejang. Dia mulai kerauahan. Dia membuka baju. Lalu ikut menari-nari seperti yang lain.
Beberapa penari di areal pura itu mulai ada yang narat. Mereka memukul-mukulkan keris ke lengannya yang terlihat memerah karena darah. Ada garis-garis bekas luka di sana.
Ketika kulkul dibunyikan, ratusan pemedek lain yang mengusung berbagai sesaji berjalan mengeliling pura tiga kali. Bedanya kali ini ada bapak, ibu, anak-anak ikut mengelilingi. Jalannya juga pelan-pelan, bukan berlari.
Di tengah lapangan, para penarat seperti tidak peduli. Mereka terus menari. Menghunus keris sendiri-sendiri. Memukul lengan, menusuk dada dengan keris itu. Gamelan makin cepat nadanya. Jreng. Jreng. Jreng. Para penari makin bersemangat.
Satu orang berlari dari bagian inti (utama mandala) pura. Dia menuju ke depan pemain gamelan. Lalu memukul-mukul lengannya sekuat tenaga. Ekspresinya tidak jelas. Seperti sakit. Seperti tidak sadar.
“Kita tidak bisa menghindar. Kerauhan itu datang begitu saja pada siapa pun,” kata bapak di sebelah saya.
Makin lama, makin banyak laki-laki yang kerauhan. Dalam waktu bersamaan ada sekitar sepuluh laki-laki sedang narat. Gerakannya seragam. Menggenggam keris lalu memukul lengan mereka dengan keris itu. Selesai memukul lengan, mereka menggenggam keris dengan dua tangan lalu menusukkan ke dada sekuat tenaga. Tak setetes darah pun jatuh. Peluh membasahi wajah dan tubuh mereka. Wajah mereka seperti kesakitan.
Daratan terus berlangsung seperti halnya tiap odalan yang dilakukan di desa sekitar 10 km barat Candidasa ini. Para lelaki terus memainkan keris: memukul lengan, menusuk dada. Sesekali mereka mendekati pemedek untuk diajak menari. Tidak boleh ada yang menolak ajakan itu. Sebab, daratan itu jadi semacam wakil betara yang menunjukkan bahwa masih ada yang salah pada orang itu.
Bukan hanya ada orang tertentu tapi juga pada ritual yang sedang berlangsung. Jika ada yang kurang, orang yang narat akan mengajak pemangku dan mengatakan apa saja yang kurang. Daratan jadi semacam pengingat apa saja yang terlewat atau belum dilakukan dalam upacara itu.
Saya mulai deg-degan. “Jangan-jangan nanti aku juga kerauhan,” pikir saya. Orang yang duduk persis di sebelah saya tiba-tiba tubuhnya bergetar. Dia berdiri, membuka baju, dan menarik keris dari sarungnya. Lalu dia pun larut dalam irama gamelan dan melakukan kegiatan mengerikan itu.
Para daratan bergerak ke sana-ke mari seperti ada yang menuntunnya. Beberapa daratan memutari sesajen yang telah diletakkan di masing-masing tugu dan yang digelar di atas tanah. Dengan keris menghunus, kadang-kadang disertai gerak tari mereka menarik salah satu pemangku untuk memeriksa apakah sesaji yang dipersembahkan telah lengkap.
Tak terdengar jelas kata-kata yang diucapkan mereka ketika meminta pemangku untuk memeriksa sesaji itu. Kadang yang terdengar hanya rintihan dan gumaman dari mulut mereka. Walau demikian, pemangku yang ditunjuk bisa mengerti apa yang diperintahkan para daratan itu.
Akhir dari ritual itu adalah ketika seorang daratan menggigit seekor ayam hitam. Ayam hitam itu adalah persembahan bagi dewa di pura desa tersebut. Setelah itu keriangan pun terlihat di wajah-wajah para daratan ketika seluruh rangkaian upacara berjalan dengan semestinya dan seluruh sesaji lengkap telah dihaturkan.
Irama gamelan melambat, kemudian secara perlahan satu persatu daratan duduk bersila di depan tugu pemujaan. Pemangku memberikan sarana persembahyangan seperti bunga dan dupa untuk mereka. Dengan khusyuk mereka segera larut dengan doa-doa pemujaan. Terakhir, pemangku memercikkan tirta, air suci ke kepala dan tubuh mereka. Sepercik air tirta dan bunga-bunga yang digosokkan ke tubuh mereka pun menjadi obat ampuh setelah tubuh mereka dirajam oleh keris.
“Tidak, tidak terasa sakit sedikit pun. Malah saya merasa puas,” ujar salah satu daratan sambil mengusapkan bunga kamboja ke lengan kirinya. Goresan-goresan akibat hujaman keris pun tak berwarna merah lagi itu. Dia mengaku tidak mengerti dengan perubahan yang dialaminya ketika mulai narat. [+++]