Di balik status sosialnya, banyak jurnalis digaji pas-pasan.
Ada yang menarik ketika saya sempat membahas perihal kenaikan gaji seperti pengaturan upah minimum kabupaten (UMK) dengan seorang pekerja pers. Jurnalis media lokal di Bali itu mengaku trauma dengan UMK-nya.
Hal itu terjadi ketika dia mendapatkan penugasan liputan tentang upah minimum daerah ke dinas terkait. Dia mengaku sempat syok ketika ditanya balik birokrat di instansi tersebut.
“Ngapain kamu tanya UMK, gaji mu sudah sesuai UMK?” kata sang birokrat.
Si jurnalis hanya tersenyum. Dirinya hanya bisa mengatakan bahwa dia mendapatkan tugas liputan dari kantornya. Namun, lacur dia tidak mendapatkan data. Hanya trauma terhadap upah minimumya yang saat itu memang dibawah standar.
Awalnya mungkin saat mendapatkan penugasan dari kantornya. Si jurnalis senang dan bahkan bangga karena akan membantu kelas pekerja untuk mendapatkan informasi yang seperti angin surga. Pembahasan UMK adalah penyesuaian upah dengan harga.
Ketika harga kebutuhan pokok cenderung naik, upah dipastikan mengikuti. Namun, apa daya.
“Aku trauma dan tidak mau (liputan) ke dinas itu lagi,” cerita si jurnalis.
Cerita singkat tadi hanyalah secuil kisah di balik kusutnya masalah perburuhan di Indonesia, apalagi terhadap jurnalis. Pers sekarang sebagian besar tampak menjurus seperti perusahaan yang kadang kala melupakan hak-hak pekerjanya. Salah satu contohnya yang dialami oleh si jurnalis tadi.
Akan ironis ketika perusahaan media menugaskan wartawannya untuk mengungkap atau memberitakan bagaimana penetapan upah minimum, sementara upah jurnalis masih di bawah upah minimum seperti yang dilontarkan sang birokrat.
Usut punya usut, ternyata perusahaan media tempat si jurnalis bekerja sedang dalam masa berseteru dengan pimpinan si birokrat. Akibatnya, bukannya mendapatkan apa yang dicari, tapi malah “caci” yang diberi.
Di Bawah Standar
Gaji atau upah adalah hasil berupa uang yang diterima seseorang karena dia bekerja pada sebuah perusahaan atau perorangan secara tetap.
Upah pada umumnya diterima setiap akhir bulan. Tapi, ada juga yang diberikan pada awal ataupun pertengahan dengan sistem bertahap.
Kenaikan upah di sebuah daerah biasanya diatur dalam kesepakatan antara tiga kelompok yakni, pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Serikat Pekerja (SP)) dan Pemerintah yang diwakili oleh Dinas Tenaga Kerja.
Pembahasan dalam perubahan nilai minimal upah yang dilakukan setiap tahun selalu memunculkan kontroversi. Pastinya akan sulit menemukan titik kesepakatan karena pengusaha jarang yang mau berdamai dengan kepentingan pekerja secara mutlak. Begitu juga pekerja akan selalu meminta kesejahteraan yang dinilai sepadan dengan apa yang telah diberikan.
Ada beberapa bentuk upah mulai dari Upah Minimal Provinsi (UMP), yaitu upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) yaitu upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota. Upah minimum sektoral provinsi (UMSP) yaitu upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi. Upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah kabupaten/kota.
Berikut adalah daftar upah minimum di Bali maupun kabupaten/kota di Bali.
[table id=1 /]
Mengutip Wikipedia, penetapan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Komponen kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum, di mana dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya.
Awalnya penghitungan upah minimum dihitung didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), kemudian terjadi perubahan penghitungan didasarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Perubahan itu disebabkan tidak sesuainya lagi penetapan upah berdasarkan kebutuhan fisik minimum, sehingga timbul perubahan yang disebut dengan KHM.
Tapi, penetapan upah minumum berdasarkan KHM mendapat koreksi cukup besar dari pekerja yang beranggapan, terjadi implikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat terutama pada pekerja tingkat level bawah. Dengan beberapa pendekatan dan penjelasan langsung terhadap pekerja, penetapan upah minimum berdasarkan KHM dapat berjalan dan diterima pihak pekerja dan pengusaha.
Perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat menimbulkan pemikiran, kebutuhan hidup pekerja bedasarkan kondisi “minimum” perlu diubah menjadi kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak dapat meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas nasional. Dari gambaran itu, timbul permasalahan, sampai saat ini belum ada kriteria atau parameter yang digunakan sebagai penetapan kebutuhan hidup layak itu. Wikipedia mendata terdapat lima jenis komponen yakni, makanan dan minuman, perumahan dan fasilitas, sandang, kesehatan dan estetika, aneka kebutuhan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar pernah melakukan survei dan dipublikasikan pada tahun 2011 tentang upah ideal pekerja pers, dari survei AJI itu diketahui upah para jurnalis di media-media lokal di Bali belum memenuhi kategori upah layak yakni, sebesar Rp 3.894.583.
Dari 10 media lokal yang disurvei kala itu, gaji wartawan dengan status pekerja tetap yang bekerja antara 2-4 tahun masih berkisar antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Sedang yang berstatus kontrak hanya berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp1,5 juta.
“Ini menunjukkan kondisi yang memprihatinkan,” kata Ketua Tim Survey Ali Mustofa, dalam acara “Launching Upah Layak Jurnalis di Bali 2011”.
Kondisi itu diperburuk dengan masih banyaknya media yang tidak memberikan asuransi dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Ali menyebut, kondisi ini membuat kerja jurnalis rawan dengan pelanggaran kode etik. Ada kecenderungan pula penerapan pola jurnalistik yang cenderung asal-asalan dimana wartawan saling berbagi berita dengan wartawan yang lain.
Upah layak jurnalis sendiri ditetapkan AJI Denpasar dengan melakukan survey terhadap empat komponen kebutuhan. Yakni, makanan dan minuman, perumahan, fasilitas sandang dan aneka kebutuhan seperti perawatan kesehatan, kebutuhan harian hingga alat kerja. Harga-harga barang itu ditetapkan dengan mensurvei harga di pasar, swalayan dan supermarket kemudian diambil harga tengahnya.
Tujuan survei adalah untuk mendorong media-media membayar secara adil kebutuhan wartawannya. “Wartawan adalah salah-satu aset utama industri media,” kata Ali. Survei ini sudah dilakukannya sebelumnya pada tahun 2008 dengan hasil upah layak sebesar Rp 3.600.000.
Upah ideal wartawan di Bali pada 2011 sudah menyentuh angka Rp 3,8 juta lebih, dibandingkan sekarang normalnya seharusnya mungkin sudah diatas Rp 4 juta. Pertanyaannya, apakah upah pekerja jurnalis sudah sampai atau minimal mendekati angka tersebut?
Menanggapi hasil survei itu, Pimpinan Umum Radar Bali Justin Herman sempat menyatakan, kesejahteraan wartawan sebenarnya adalah prioritas media. “Kita hanya bisa menuntut kinerja yang profesional dengan upah yang layak,” ujarnya. Namun, manajemen tidak bisa menentukan sendiri upah wartawan karena pemegang saham sebagai pemilik perusahaan bisa lebih berkuasa.
Sementara Pemimpin Redaksi Harian Nusa Bali Ketut Naria kala itu menyatakan, kondisi perusahaan juga sangat mempengaruhi kemampuan untuk membayarkan upah yang layak. Di pihak lain, dia menekankan pentingnya wartawan meningkatkan kualitas profesional agar memiliki posisi tawar yang lebih baik dengan perusahaan.
Membicarakan UMK yang sesuai mungkin memang masih dalam angan-angan. Sebab, perusahaan tidak akan secara mutlak memenuhi keinginan pekerjanya. Begitupun dengan pekerja yang akan selalu meminta kesejahteraan yang mengikuti harga pasar.
Sejurus dengan itu bagaimana denga nasib jurnalis, yang notabennya dianggap lebih “bergengsi” dari kelas pekerja buruh di pabrik atau pekerja industri lainnya.
Apakah pekerja pers masih akan merasa ironis dengan UMK, ketika mendapatkan rasa manis karena bangga menyuarakan kepentingan pekerja melalui medianya? Atau setelahnya akan tetap mengelus dada karena nasibnya juga tidak lebih baik dari apa yang disuarakannya? [b]
Terimaksih…