Oleh Luh De Suriyani
Ketika kebaktian di gereja Minggu pekan lalu, Martinus Sabo Agus menyampaikan rasa syukur khusus. “Tuhan, terima kasih sudah memberikan saya kemampuan untuk mewujudkan apa yang bahkan tidak pernah saya bayangkan,” ujar Martin, panggilan akrabnya.
Hari itu Martin sembahyang di gereja, sesuatu yang sudah lama tidak dia lakukan. “Saya bukan tipe orang yang religius. Namun buku ini membuat saya harus kembali mengingat Tuhan,” lanjutnya.
Buku yang dimaksud Martin adalah buku Lentera, Lembaran tentang Realitas AIDS yang diterbitkan Sloka Institute, lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi di Denpasar. Lentera memuat 87 artikel tentang Acquired Immune Deficiancy Syndrome (AIDS) yang sebelumnya sudah diterbitkan di beberapa media lokal seperti Bali Post, Denpost, Tokoh, dan Sarad.
Buku hasil kerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali dan Australia Indonesia Partnership (AIP) itu diluncurkan Minggu sore lalu di Danes Art Veranda Tanjung Bungkak Denpasar. Sore itu hadir sekitar 60 orang dari berbagai latar belakang. Ada jurnalis, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS, pejabat, mahasiswa, dan pelajar. Wakil Gubernur Bali Kesuma Kelakan yang juga Ketua KPA Provinsi Bali ikut duduk lesehan beralas tikar di lapangan belakang galeri tersebut.
Martin pun ada di sana petang itu, ikut menikmati pisang dan singkong goreng sebagai perayaan atas selesainya buku tersebut. “Sampai sekarang saya masih tidak percaya bahwa nama saya bisa ada di buku itu sebagai salah satu penulis,” katanya.
Ketika mulai bekerja di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), LSM penanggulangan AIDS di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun) 15 tahun lalu, Martin bertugas sebagai juru masak. Namun, saat ini Martin adalah koordinator lapangan (Korlap). Dia harus mengurusi sekitar 15 petugas lapangan yang tiap hari bertemu dengan penasun.
Berbekal pengalaman belasan tahun itulah Martin kemudian rajin menulis di media lokal tentang penanggulangan AIDS, terutama di kalangan penasun. Lima artikel Martin itu melengkapi 86 artikel lainnya yang ditulis 36 penulis, termasuk Martin.
Lentera, sebagaimana disebut dalam pengantar editornya, memang disusun berdasarkan cerita dari sumber primer yaitu sumber yang mengalaminya langsung. Karena itu buku ini sebagian besar memuat tulisan dari kelompok-kelompok yang selama ini lebih sering di lapangan dalam penanggulangan AIDS seperti penasun, gay, waria, dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) itu sendiri.
Selain Martin, contoh lain penulis itu adalah Luh Putu Ikha Widari, ibu satu anak yang tertular HIV dari suaminya. Ike, panggilan akrabnya, menulis pengalamannya ketika divonis positif HIV dari suaminya yang sudah meninggal.
Koordinator Wilayah Bali Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) itu menulis artikelnya dengan lead sangat verbal, “Meskipun saya positif HIV, tapi anak saya negatif. Artinya, pencegahan HIV dari ibu positif pada anaknya bisa dilakukan. Kami buktinya.”
“Saya perempuan Bali yang positif HIV. Saya punya anak dengan HIV negatif. Februari 2004 saya baru tahu kalau tubuh saya mengandung virus penyebab AIDS ini. Saya tes HIV setelah suami meninggal karena kumpulan gejala ini. Saat itu anak saya berusia 2,5 tahun dan sudah cukup umur untuk melakukan tes darah. Kemungkinan saya sudah terinfeksi virus beberapa tahun lalu. Tetapi saya bersyukur karena anak saya negatif setelah dia tes darah. Padahal pada saat saya mengandung dan melahirkan, tidak ada intervensi khusus yang saya lakukan. Saya melahirkan dengan cara normal. Inilah sekilas cerita tentang hidup saya yang bisa memberikan gambaran bahwa tidak semua anak yang terlahir dari ibu positif akan tertular virus dari ibunya yang positif HIV, ” tulis Ike di buku setebal 250 halaman tersebut.
“Meskipun sudah berusaha mendekati kenyataan sedekat mungkin, wartawan seringkali masih mengalami bias ketika menulis masalah kami. Karena itu, buku ini bisa menjawab dan menjadi referensi bagi masalah tersebut,” lanjut Ike.
“Ini bukti bahwa menulis tidak lagi monopoli penulis atau jurnalis,” kata Anton Muhajir, yang mengedit buku itu bersama Mercya Soesanto dan Ni Komang Erviani.
Menurut Anton, dalam pemberitaan tentang AIDS selama ini, aktivis penanggulangan AIDS mapun ODHA lebih sering jadi obyek. Mereka ditulis, bukan menulis. Namun dalam buku Lentera, mereka mengambil peran itu. Mereka kini jadi subyek.
Untuk membuat enak alur buku, serta memudahkan orang lain memahami, artikel-artikel di buku ini diklasifikasikan jadi empat bagian yaitu Mengikis Stigma dan Diskriminasi, Mengurangi Dampak Buruk, Mencegah Penularan dan Mengharap Pelayanan, serta Memberi Dukungan.
Bagian Mengikis Stigma dan Diskriminasi berisi tulisan-tulisan yang menggambarkan situasi dan persoalan AIDS di Bali saat ini. Misalnya tentang makin menyebarnya HIV di kalangan ibu rumah tangga. Sebagaian besar dari mereka tak tahu apa itu narkoba atau melakukan hubungan seks dengan orang lain selain pasangannya. Penularan HIV selama ini memang terjadi pada kalangan yang dikenal sebagai kelompok berisiko tinggi. Misalnya pelaku hubungan seksual bergantian tanpa kondom, pengguna narkoba dengan jarum suntik, atau homoseksual.
Tapi lihatlah di Gerokgak, Buleleng, Bali utara. Belasan ibu dan anak yang tak pernah melakukan perilaku yang dikategorikan berisiko tinggi itu. Si istri tertular dari suaminya. Lalu istri itu menularkan pada anaknya. Lalu kenapa masih ada yang menilai masalah AIDS dari sisi moral?
Bagian Mengurangi Dampak Buruk membahas masalah AIDS di kalangan penasun akibat kebiasaan bertukar jarum suntik. Satu jarum dipakai beberapa penasun. Akibatnya penularan HIV pun dengan cepat terjadi di antara mereka. Masalah ini mendapat bagian khusus karena banyaknya penularan di kalangan penasun. Menurut Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada Oktober 2006 lalu terdapat 1.220 kasus HIV dan AIDS di Bali. Dari jumlah tersebut 44,5 persen berasal dari kalangan injecting drugs user (IDU), bahasa lain penasun. Setelah itu baru dari hetero-seksual (38 persen), homoseksual (9 persen), tidak diketahui (8 persen), dan kelahiran (0, persen).
Untuk mengurangi dampak buruk tersebut LSM penanggulangan AIDS di Bali membuat program pengurangan dampak buruk (harm reduction). Tujuannya mengurangi dampak buruk akibat pemakaian narkoba. Program ini diterapkan melalui kegiatan, antara lain, substitusi methadone dan pemberian jarum suntik steril. Keduanya untuk menghindari penularan HIV di kalangan penasun.
Bagian Mencegah Penularan, Mengharap Pelayanan berusaha menyampaikan upaya yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran epidemi ini maupun penanggulangan yang telah dilakukan di Bali. Ada ibu rumah tangga positif HIV bercerita tentang pencegahan penularan pada anaknya. Ada pula konselor yang mengeluhkan jeleknya pelayanan rumah sakit terhadap ODHA.
Bagian yang membahas masalah-masalah dalam penanggulangan AIDS ini, memang sangat personal. Misalnya pengalaman mantan nara pidana yang merasa penanggulangan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan yang kurang memuaskan. Tapi pengalaman itu kemudian dijawab dokter di Lapas dengan menulis keberhasilan program di Lapas, yang termasuk pelopor program penanggulangan AIDS di penjara di Indonesia.
Terakhir, bagian Memberi Dukungan adalah catatan tentang bagaimana “pihak luar” juga terlibat dalam penanggulangan AIDS di Bali. Sebagian besar tulisan di bagian ini dalam bentuk reportase. Hasil reportase itu menyampaikan keterlibatan musisi, desa adat, dan pihak lain dalam penanggulangan AIDS. Ini hal positif yang perlu terus dibangun. Bahwa tidak harus jadi orang yang positif HIV untuk peduli persoalan ini.
Beragamnya latar belakang penulis serta tema tulisan membuat buku ini ibarat gado-gado, campur aduk. Karena itu sering terjadi pengulangan topik tertentu. Gaya tulisan pun demikian. Ada opini, feature, berita langsung, dan seterusnya. Tulisan berbentuk esai pun cenderung membuat tulisan terkesan dangkal.
Apa pun itu, buku ini jadi salah satu upaya untuk menyebarluaskan kampanye, informasi, dan edukasi tentang HIV dan AIDS. Lebih dari itu, buku ini adalah bukti keberhasilan para aktivis seperti Martin dan Ike untuk mendokumentasikan ide dan pengalaman lalu membaginya pada orang lain. “Saya mau mengirimnya untuk keluarga saya di Kupang,” kata Martin.
Ketua KPA Bali Kesuma Kelakan pun berharap demikian pada buku tersebut. “Buku Lentera ini adalah buku kehidupan, karena di dalamnya termuat kisah hidup anak manusia dengan perjuangan dan semangatnya menanggulangi HIV dan AIDS,” ujarnya pada diskusi tersebut.
Karena itu, lanjut Kelakan, usia Lentera tidak akan berakhir saat diluncurkan secara seremonial. “Bicara tentang HIV dan AIDS adalah bicara menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, kesejahteraan, pendidikan, komunikasi, pengobatan, dan lainnya. Karena itu Buku Lentera tidak cukup hanya diterbitkan saja. Perlu ada tindak lanjut seperti mengampanyekannya secara terus menerus pada masyarakat,” tambah Kelakan yang juga Wakil Gubernur tersebut. [b]
Buku yang bagus, semoga bisa jadi referensi bagi orang-orang yang mau terlibat dalam penaggulangan HIV. Baik media, petugas kesehatan, orang yang terdampak langsung, dan juga masyarakat umum.