Oleh Anton Muhajir
Tidak ada libur bagi Ni Made Frischa Aswarini, 15 tahun. Siswa SMA 7 Denpasar yang baru naik ke kelas II itu memilih sibuk belajar sastra bersama teman-temannya, ketika sebagian siswa sedang menikmati liburan panjang menjelang tahun pelajaran baru lalu.
Dua pekan lalu, meski hari beranjak malam, dia masih duduk di ruang tembus kaca milik arsitek Popo Danes di Tanjungbungkak, Denpasar. Petang itu dia membaca novel Larung karya Ayu Utami. Sesekali dia menyalin kata-kata menarik di novel bersampul cokelat tersebut.
Di kanan kiri Frischa, lima temannya sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang mengetik di laptop, ada yang membaca buku, ada pula yang menulis puisi. Ruangan itu penuh kegiatan sastra. Petang itu mereka baru usai berdiskusi tentang sastra bersama penyair Warih Wisatsana. Diskusi tentang sastra adalah salah satu dari sekian kegiatan Komunitas Dua Saja, begitu Frischa dan teman-temannya menyebut komunitas mereka.
Komunitas tersebut terbentuk pada 24 Mei 2006. Mereka dipersatukan minat yang sama yaitu di bidang sastra. Dua Saja mengacu pada nama sekolah mereka sebelumnya, SMP 2 Denpasar. Sejak di SMP mereka sudah sering berbagi pengalaman dan minat di bidang sastra. Mereka ikut ekstra kurikuler sastra yang mempelajari puisi, prosa, cerpen, bahkan teater di sekolah. Setelah lulus SMP, mereka masih sering bertemu. Biasanya nebeng di depan kafe milik Popo Danes.
Obrolan ketika merekua berkumpul tentang hidup sehari-hari dan sekolah. Sastra hanya jadi tema obrolan sesekali. Diskusi tentang sastra itu makin intens ketika mereka bertemu Warih Wisatsana, penyair di Bali yang karyanya juga sering dimuat media nasional dan sering bergiat dengan sastrawan sekolah.
Menurut Frischa belajar sastra di komunitas mereka memberikan pelajaran baru bahwa belajar tidak harus terlalu formal. “Pelajaran yang kami peroleh di sini tidak seperti di sekolah. Ketika di sekolah kami hanya diajarkan bahwa puisi itu harus berima AB AB. Padahal puisi itu membebaskan kata dari makna,” katanya.
Tak hanya mendiskusikan, mereka juga membuat puisi dan mengirim karya itu ke media massa maupun lomba di tingkat lokal dan nasional. Karya mereka pernah dimuat media Bali Post, Horison, Kawanku, hingga majalah wanita dewasa Femina.
Mereka juga rajin mengikut berbagai lomba di bidang sastra sejak mereka masih SMP. Frischa, kelahiran 17 Oktober 1991 itu, pernah juara kedua pada lomba drama modern SMP pada Pekan Seni Remaja 2005 dan juara pertama pada tahun berikutnya. Demikian pula Ni Putu Rastiti, salah satu anggota lain, pernah mendapat juara I lomba musikalisasi puisi yang diadakan Komunitas Kertas Budaya Jembrana tahun lalu.
Ni Made Purnama Sari, Koordinator Komunitas Dua Saja, Juli lalu bahkan mendapat juara II lomba cerpen yang diadakan Universitas Diponegoro Semarang. Gadis yang lahir di Klungkung 22 Maret 1989 ini juga langganan juara lomba karya sastra, puisi maupun cerpen, di tingkat lokal dan nasional. “Ya, senanglah karya kita bisa menang. Itu kan menjadi semacam pencapaian dalam karya kita,” kata Purnama tentang prestasi itu.
Menurut Purnama, kemenangan satu di antara mereka menjadi bahan belajar bagi anggota lain. “Tidak ada saling iri di antara kami hanya karena ada yang menang lomba atau karyanya dimuat di media dan teman lain tidak. Itu malah memotivasi teman lain. Sebab kami juga belajar bermasyarakat, bukan hanya tentang sastra,” kata Purnama yang kini sedang menulis novel pertamanya.
Komunitas Dua Saja pun pelan-pelan mengubah kebiasaan mereka. Frischa, misalnya, mengaku sebelum ikut Komunitas Dua Saja lebih sering ke toko baju. “Sekarang sering ke toko buku,” katanya.
“Kami belajar tentang kematangan jiwa agar sadar keberadaan diri sehingga lebih hati-hati melangkah. Biasa di rumah bertengkar dengan saudara. Dulunya saya berpikir bahwa saudara saya kurang ajar. Saya membenci saudara saya. Namun setelah belajar sastra, saya kemudian mengoreksi diri sendiri agara tidak hanya menyalahkan saudara saya,” kata Ni Ketut Sudiani, anggota lainnya. Bagi mereka, sastra juga mengajarkan tentang kehidupan.
Selain belajar mengapresiasi maupun membuat cerpen, puisi, dan teater Komunitas Dua Saja memang belajar juga berorganisasi. Mereka sering menjadi relawan kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan secara umum, misalnya kegiatan Konsul Prancis di Bali melalui Alliance Francaise. “Kami juga sekalian belajar mengenal orang lain dengan kegiatan seperti itu,” kata Frischa.
Sayangnya, di Komunitas Dua Saja sedikit remaja laki-laki. “Bisa jadi karena modernitas memang membentuk mental bahwa sastra bukan sesuatu yang bagus buat anak laki-laki,” kata Warih Wisatsana. Menurut Warih, kita hanya siap menerima modernitas tapi tidak siap menelaahnya. “Makanya anak laki-laki lebih senang main ke tempat dugem daripada belajar tentang sastra yang bagi mereka dunia feminim,” lanjutnya.
Padahal, lanjut Warih, teknologi bisa jadi alat yang memanjakan remaja untuk belajar sastra. “Dengan teknologi mereka lebih punya banyak tempat untuk mencari dan punya pilihan untuk memuat hasil karya. Tidak melulu koran dan media cetak sehingga lebih demokratis,” ujarnya.
Karena itu ke depan Komunitas Dua Saja juga akan lebih peduli pada teknologi, terutama teknologi informasi. Kalau selama ini internet lebih banyak digunakan untuk mencari bahan tentang sastra dan mengirim karya, anggota komunitas ini juga sedang membuat media online untuk memuat karya-karya mereka.
Media online ini akan melengkapi proyek mereka dalam waktu dekat, membangun perpustakaan sastra dan seni modern di Denpasar. Perpustakaan ini nantinya akan dibuat di ruangan tempat mereka berdiskusi petang itu. Mereka bekerja sama dengan sejumlah orang yang seperti Popo Danes, Jean Couteau, Hartanto, Putu Fajar Arcana, Polenk Rediasa, dan Warih sendiri.
Sebagai awal, mereka sudah mendapat hibah buku-buku literatur, kumpulan artikel, rangkuman esai, serta buku-buku non-fiksi berbahasa asing dari keluarga almarhum Usadi Wiryatnaya. Perpustakaan dan pusat dokumentasi sastra ini akan melengkapi pencapaian mereka di usia yang masih remaja. [b]
Saya Anita dari arsitektur ITB, kebetulan pada bulan desember ini akan diadakan pagelaran seni budaya di institusi saya yang salah satu bentuk acaranya akan mengambil kesusastraan. Baik dalam bentuk pameran karya-karya sastra dari era ’20an sampai sekarang maupun dalam bentuk pertunjukan.
Setelah membaca artikel ini saya tertarik dengan kegiatan2 teman-teman dalam dunia sastra, saya berharap teman2 yang mendalami dunia sastra dapat memberi masukan mengenai acara tersebut sehingga niat kami yang ingin mengangkat kembali kesusastraan Indonesia dapat tercapai,
Salam kenal
mm….
Sejak SMP tiap kali ditanya “Pelajaran apa yang paling kamu suka???”
Aku langsung jawab BahaSa Indonesia.
Aku mulai tertarik dengan majas2, mulai suka mengoleksi kata2 yang mak Nyuss, dan..
Aku mulai mengasah kecintaan ku pada dunia tulis dengan mencoba mengapresiasikan kata2 pada setiap aku pengen mengungkapkan kata2 lewat sbuah tulisan..
setiap malam ku bermimpi akan terbit suatu karya ku atau
mungkin akan termuat beberaa tulisan yang pernah aku buat ..
hee..udah ah..
Trimakasie
Hmm… Bissmillah…..
Sejak tahun ’99 saya menjadi seorang tunarungu dan hanya bertahan sekolah sampai kelas 2 smp saja. Sejak putus sekolah segala impian dan cita-citaku hilang, aku tengelam dalam kehampaan, sendirian, dan kesepian. Dan pikiranku melayang mengembara didunia khayalan, aku mulai suka berkhayal menjadi seorang penulis dan aku biasa membuat cerita-cerita keren sepert film hollywood. Tapi, semua itu hanya dipikiranku saja waktu aku sama sekali bukan penulis, dan kini ide-ide cerita itu kebanyakan sudah terlupakan.
Sembilan tahun, sejak putus sekolah kini kucoba bangkit kembali dan mulai belajar untuk menjadi seorang penulis, karena aku suka sastra. Tapi, mula-mula aku buat puisi aja dulu, dan kuharap suatu hari aku mampu membuat sebuah cerita.
Sekarang ini aku lg sabar nunggu kabar dimuat atau tidaknya puisiku disebuah koran, duuuh… lamaa… banget!!!
Buat tambahan: sekarang ini aku lagi butuh temen yang suka baca tulis. Karena kebanyakan temen-temen tunarungu gak suka tulisan, mereka lebih suka gambar githu!!!