Oleh : Hari Puspita
HARI Minggu (2/3) malam lalu saya dapat kabar soal ditangkapnya seorang jaksa yang karirnya bak meteor, Urip Tri Gunawan. Mantan konseptor dakwaan terpidana mati Bom Bali 1, Amrozi, ini bak kisah novel saja, jalan hidupnya.
Apalagi setelah keesokan paginya setiap satu jam dan hampir dari menit ke menit di televisi ada tayangan dan running text tentangnya. Lelaki kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 42 tahun silam ini telah membalik telapak tangannya yang tertera takdir, dengan hidup bertema baru : From Hero To Zero.
Betapa tidak? Jaksa satu yang sempat saya kenal baik saat ngepos di berita-berita hukum ini memang berkarir menonjol. Dengan kasus yang banyak jadi sorotan media. Mulai kasus korupsi Yayasan Bali Dwipa (YBD) bernilai Rp 2,3 miliar, dengan terdakwa Sugiri dan Ida Bagus Oka, kasus 13,5 kilogram kokain Victor Navaro Garcia- Clara Elena Umana Gautrin, asal Meksiko, hingga yang terakhir dugaan kasus korupsi BLBI.
Terus terang, sebagai orang yang sempat kenal baik dengan bapak tiga anak ini, saya kaget. Yang pertama, ya jelas soal kasus suapnya. Yang kedua : “Kok bisa dia yang ngambil ya?”. Dan, yang ketiga adalah, duit USD 660.000 USD atau Rp 6,1 miliar itu nolnya berapa ya? Imajinasi saya susah membayangkan, untuk angka ini, soalnya.
Urip pun mengingatkan saya dengan salah satu lagu grup musik rock asal Bandung, Seuries, lewat lagu Jaksa Juga Manusia, eh, Rocker Juga Manusia. Tapi, lagi-lagi, kok bisa ya?
Soalnya dia sempat bercerita, bahwa dulu dia pernah bertugas di Bumi Lorosae. Dia sempaat menjabat Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Maliana, Bobonaro, Timor Timur (Timor Leste, sekarang). “Kadang saya jalan kaki, kalau pas tidak ada kendaraan tumpangan,” akunya. Pikir saya, “Gigih juga, dia.” Waktu itu, tahun 2002, saat menangani kasus IB Oka.
Saat sibuk menyiapkan dakwaan Amrozi, saya beberapa kali datang ke rumah dinasnya, di Jalan Muwardi, Renon. Dia terbilang suka membaca. Sebagai jaksa yang berurusan dengan terdakwa dari Jamaah Islamiah atau JI, Urip yang Kristiani ini sibuk mencari literatur Islam. Dari terjemahan Alquran, buku hadits hingga majalah Panji Masyarakat dan Sabili pun dilahapnya. “Biar paham, nggak ngawur,” katanya.
Dakwaan untuk Amrozi sendiri tebalnya 33 halaman. Sedangkan tuntutannya 263 halaman. Yang dibacakan 30 Juni 2003 silam.
Teman-temannya sesama jaksa banyak yang menyebut dia cerdas, ngototan dan pemberani. Dia juga dikenal suka guyon, bercanda. Kadang ceplas-ceplos juga. “Wah, pusing ngonsep dakwaan gini nonton BF enak, ya, sama cewek?” celetuknya, saat mengetik konsep dakwaan Amrozi, lima tahun silam, di suatu malam.
Dulu, nomor handphone-nya 08123811170. Tapi setelah di Jakarta sepertinya ganti nomor. Pun saat balik lagi ke Bali, jadi Kajari Klungkung, sebelum ke Kejagung, Jakarta, jadi Kasubdik Direktorat Jampidsus, saya sudah tak tahu lagi, berapa nomor HP-nya. Padahal, dulu, kalau ada SMS lucu-lucu, atau malah sesekali agak jorok, kadang dikirimnya. (Biasanya, dia mengirim yang jorok, kalau saya kirim SMS jorok duluan, hehehe..)
Saat Soundrenaline pertama kali digelar tahun 2003 di Pulau Serangan, Minggu, 7 September 2003, dia ngaku ngebet pengin nonton pesta musik kolosal dengan puluhan grup itu. “Refreshing, cari udara segar,” tuturnya. Kaset Soundrenaline saya pun saya berikan kepadanya, karena dia terlihat antusias nonton. Cuma, saya tidak tahu pasti juga, apa dia jadi nonton atau tidak.
Tapi, ada juga “kenangan tak terlupakan” dengannya. Yang kebetulan masih tercatat tanggal, bulan, dan tahunnya, di file saya. Suatu hari, Selasa, 16 September 2003, ada sidang terdakwa bule, namanya Steven Douglas Kiskenen, asal Inggris, di PN Denpasar. Dengan barang-bukti (BB) 0,3 gram heroin. Sidangnya tidak jelas. Saya pun penasaran. Ke sana kemari cari info, kapan sidangnya.
Akhirnya bisa dapat nama dan ketemu hakimnya, Bu Istiningsih Rahayu. Dari ibu hakim ini saya tahu vonisnya tiga bulan, tuntutannya “cuma” empat bulan. Juga ketahuan siapa jaksanya. “Kayaknya dituntut empat bulan,” ujarnya, sambil tersipu dan berat menyebut vonis narkoba yang ringan itu. Saya cari pak Urip dan ketemu.
Tapi, di luar dugaan dia masih berkilah. “Alaah, narkoba dengan BB 0,3 gram apa sih menariknya? Belum, belum vonis,” jawabnya, dengan cool, ketika saya tanya. Lho, aneh memang. Saya sudah mengantongi data kok dia masih berkilah juga.
Ada lagi sidang narkoba lainnya, dengan terdakwa Andrew Thomas Bredon, bule asal Selandia Baru, malah persidangannya tidak jelas hingga dia pindah ke Jakarta sebagai Kasi Pidum Kejari Jakarta Utara.
Itu kejadian 16 September 2003. Dan, di luar dugaan, pada 2 Maret 2008, ada kejadian yang mirip. Dia tertangkap KPK dengan uang USD 660.000 atau Rp 6,1 miliar, di Jalan Hang Lekir II, Simprug, Jakarta. Saat tertangkap, ngakunya kardus berisi coklat dan habis transaksi permata. Tapi, si pemberi suap duit, Artalyta Suryani alias Ayin, kerabat Syamsul Nursalim ngomongnya lain lagi ke KPK. Bahwa itu duit utang. Nah, kacau juga. “Joko Sembung makan ondhe-ondhe, Nggak nyambung, pak Dhe!”
Tapi dunia ini memang serba mungkin. Siapa saja bisa tergelincir. Tak peduli apa status sosial dan profesinya. Ulama, pendeta, polisi, jaksa,hakim, termasuk wartawan atau siapa pun bisa terpeleset, di zaman yang kata Rendra, mengutip Ronggo Warsito, disebut Zaman Kalabendu, ini. Dan, sampai saat ini saya masih terpana, soal kejadian mengagetkan itu dan membayangkan bagaimana duit USD 660.000 itu berapa lembar, kalau uang kontan.
Sebagai teman saya sedih, tentu saja. Tapi, kalau mengingat posisi dia sebagai aparat penegak hukum, untuk kasus sebesar BLBI, sepertinya urusan dia bakal membuat lain, cerita hidupnya. Kecuali kalau tiba-tiba hasil penyidikan KPK ternyata Urip jualan permata betulan, misalnya. Ah, Urip, Urip “si jaksa terbaik”!
Hari Puspita, Wartawan Radar Bali
aduh duh, pak redaktur radar nok. sing bani komen jelek-jelek ni. semoga pak pipit ada yang menyuap USD 6000. kan ga gede2 amat… siapkan dulu alibinya, pak. mungkin, jual beli berita pilkadal? huahuhahha…. btw, sip tulisane pak.
Wah yang sakit hati, numpahinnya pakai kata2 pilu tapi juga merajuk. Iya, sama kagetnya saya dg Pak Pipit. DIa dulu suka nimbrung makan bareng, malah sering ngajakin makan duren di sepanjang jl renon, kalau lagi musim. Kali saja, uang miliaran rupiah itu hasil jualan duren yang isinya permata.
pit, kok tulisanmu ini tdk dimuat di kaki jawa pos aja atau radar bali. menurutku sisi human interestnya bagus. bahwa selain doyan dollar, dia juga suka BF.
si Urip emang hebat uiy,
jadi jaksa teladan,
eee ternyata teladan dalam
berkorupsi, teladan dalam
mengatur perkara,dan teladan
dalam menerima suap.
yesss terusin aje rip.
terusin di penjare maksudnye,
ntar sogok aje tuh sipirnya,
kan you udah pengalaman.