Oleh Anton Muhajir
Ada sesuatu yang berbeda ketika saya masuk toilet Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Jimbaran, sekitar 10 km selatan Denpasar, Kamis pekan lalu. Ada ibu duduk menjaga kotak retribusi di toilet tersebut. Di mejanya ada kertas putih bertuliskan Retribusi Rp 1000. Saya kaget. Seingat saya pada saat terakhir kali kencing di toilet tersebut saya tidak perlu bayar alias gratis. Tapi saya lupa kapan terakhir kali saya main ke GWK. Mungkin sudah setahun lalu.
Kondisi toiletnya juga lebih jelek dibanding terakhir kali saya ke sana. Ya, meskipun tidak jorok-jorok amat sih. Meski ada pewangi toilet, bau pesing masih tercium. Kondisinya juga agak kotor. Ketika saya buka kran di salah satu wastafel, airnya mati. Untungnya di wastafel lain masih hidup.
“Kok bayar, Bu?” tanya saya setelah bayar seribu perak di sana. Sepertinya memang banyak perubahan di GWK. Bukan lebih baik tapi sebaliknya, lebih jelek.
“Ya, karena sudah ganti pemilik. Sekarang pemiliknya Pak Edi Sukamto yang punya Kuta Galeria,” katanya.
Saya meneruskan perjalan. Melewati Street Theatre yang sepi. Toko-toko di sebelahnya banyak yang tutup, termasuk toko souvenir di pojok.
Meskipun masih musim liburan suasana GWK terlihat sepi. Sore itu pengunjung hanya sekitar 50 orang. Padahal luas lokasi yang bisa dikunjungi itu sekitar 20 hektar. Puluhan pengunjung pun seperti tak berarti di lahan seluas itu.
Tiga gadis pengunjung berbincang sambil berjalan. “Kayak mati ya,” kata salah satu di antara mereka. “Padahal waktu gue ke sini terakhir tidak sesepi ini,” jawab yang lain.
Mereka melewati potongan-potongan tebing kabur putih menjulang sekitar 4 meter tingginya. Tebing-tebing itu memang dibelah, sehingga bentuknya kotak-kotak. Di antara tiap tebing ada jalan-jalan kecil, sekitar tiga meter. Jalan itu menuju Lotus Pounds, areal paling luas di GWK yang berkapasitas 7.500 orang, tempat beberapa kali diadakan pentas musik termasuk band rock ternama Scorpion.
Suasana sepi itu memang sudah terasa ketika baru masuk areal yang dibangun sejak 1997 ini. Hal yang pertama kali dijumpai pengunjung setelah dari tempat parkir biasanya adalah deretan toko souvenir di sisi Street Theatre. Meja kursi sepanjang jalan itu kosong. Sebagian besar toko pun telah tutup.
Namun, tidak ada yang mengalahkan sepinya Exhibition Gallery di sisi timur GWK. Tidak ada lagi patung kayu berukiran motif Cina di lokasi pameran tersebut. Sketsa, foto, dan maket pembangunan yang biasanya ditempel di dinding tempat pameran seluas 200 meter persegi itu tak terpasang lagi. Hanya ada dua kursi tempat pengunjung di tengah ruang pameran tanpa lampu tersebut. Tidak ada aktivitas apapun. Muram.
“Pengunjung memang sepi saat ini. Pembangunan juga berhenti,” kata Anak Agung Ngurah Rai Riauadi, Manajer Hubungan Masyarakat GWK.
Juni hingga Agustus merupakan high season bagi pariwisata di Bali. Sebab selain sedang libur sekolah dan kuliah, wisatawan asing juga libur panjang. Namun, menurut Riauadi, hal itu tidak terlalu berpengaruh pada jumlah pengunjung di GWK. Pengunjung GWK saat ini, lanjutnya, sekitar 80 persen adalah turis domestik. Sisanya baru wisatawan asing dari Jepang, Australia, dan Taiwan. “Saat ini kami juga sedang melirik pangsa pasar dari Rusia dan India,” katanya.
Beragam promosi juga terus dilakukan GWK untuk menggaet pengunjung. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Bali misalnya mereka juga terus berpromosi ke berbagai kegiatan pariwisata, termasuk pada pertemuan PATA 25-28 Agustus nanti di Nusa Dua.
“Kami harapkan semua promosi itu bisa mengangkat kembali jumlah kunjungan wisatawan ke sini sehingga nantinya pembangunan bisa segera dilakukan kembali,” kata Riauadi. Saat ini, pembangunan GWK memang terhenti. Proyek besar itu pun seperti terlantar.
Sejak dibangun pada 1997, bermacam masalah memang menghadang pembangunan mega proyek ambisius tersebut. GWK bermula dari adalah ambisi besar untuk membangun pusat kegiatan budaya di bukit Jimbaran, terletak di antara Nusa Dua, Kuta, dan Uluwatu, tiga lokasi pariwisata ternama di Bali selatan. Membelah bukit kering berisi kapur di ketinggian bukit dengan panorama Kuta, Nusa Dua, dan Denpasar GWK akan menjadi tempat pertunjukan seni, pameran, konferensi, plaza, dan tempat tinggal.
Tak melulus urusan bersenang-senang, GWK juga akan menjadi tepat kunjungan spiritual. Sebab di sana juga terdapat sumber air suci. Air ini sudah ada saat dan sering diambil sebagai sarana upacara umat Hindu Bali. Sebagian orang percaya bahwa air tersebut juga berguna untuk menyembuhkan penyakit serta digunakan pada upacara menolak hujan dan menyuburkan tanaman.
Sebagai ikon, dibangunlah patung Garuda Wisnu Kencana yang memuat dua unsur penting, Garuda dan Wisnu. Garuda, juga lambang negara Indonesia, adalah burung raksasa yang menerbangkan Wisnu, salah satu dewa di agama Hindu. Jadi patung tersebut menggambarkan Dewa Wisnu duduk di atas Garuda. Tinggi patung 70 meter. Dengan pedestal (peyangga) setinggi 70 meter dan toleransi kelebihan tinggi 5 meter, maka total tinggi patung tersebut 145 meter. Artinya patung ini akan melebihi tinggi Patung Liberti, yang “hanya” sekitar 125 meter.
Namun, kenyataan tak semulus rencana di atas kertas. Beragam masalah langsung menghadang pembangunan tersebut sejak awal.
Misalnya soal pembebasan tanah. Dari sekitar 250 hektar total tanah yang akan digunakan, hanya 100 hektar yang bisa digunakan. Tanah tersebut milik Pemprov Bali dan Pemkab Badung. Sisanya, 150 hektar adalah tanah penduduk sekitar. “Pembebasan tanah ini yang hingga masih bermasalah,” kata Riauadi.
Ketika masalah pembebasan tanah belum selesai, masalah lain pun muncul mulai krisis ekonomi pada 1997, bom Bali 2002 dan 2005, travel warning, hingga konflik antar pemilik saham. Hal terakhir jadi masalah berlarut-larut.
Menurut Riauadi pembangunan GWK berawal dari ide beberapa orang yang kemudian bergabung dalam Yayasan Garuda Wisnu Kencana. Pendiri yayasan ini di antaranya mantan Menteri Pariwisata Joop Ave, mantan Menteri Pertambangan IB Sudjana, pematung Nyoman Nuarta, dan beberapa nama lain. Sebagai pelaksana pembangunan dibentuk PT Garuda Adhimatra Indonesia yang sahamnya dimiliki beberapa orang maupun perusahaan.
“Karena banyak orang, maka banyak pula ide sehingga kadang-kadang malah tidak sejalan. Tapi saya sendiri tidak tahu apa persisnya masalah tersebut,” ujar Riauadi. Akibat berbagai masalah itu, pembangunan GWK benar-benar berhenti sejak September 2004 lalu. Saat ini pembangunan yang sudah selesai baru sekitar 20 persen seperti patung garuda dan Wisnu yang masing-masing masih terpisah, lapangan pertunjukan, amphiteatre, restoran, ruang pameran, dan deretan toko souvenir.
Konflik antar pengurus sendiri, kata Riauadi, sudah berakhir pertengahan tahun lalu. Saat ini Direktur Utama GWK adalah Edi Sukamto yang juga pemilik pertokoan Kuta Galeria sedangkan Ketua Yayasannya Made Mangku Pastika, mantan Kapolda Bali dan kini Ketua Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. “Menurut rencana, pembangunan akan dilaksanakan kembali pada 20 Mei 2008 nanti mengambil momentum Kebangkitan Nasional,” katanya.
Meski konflik sudah berakhir, pembangunan kembali GWK juga masih terkendala dana. Sebab, proyek ini memang butuh dana besar. Sebagai gambaran untuk membangun pedestal tempat Garuda dan Wisnu saja dibutuhkan sekitar Rp 400 milyar. Saat ini, kata Riauadi, baru ada separuh dari total dana yang dibutuhkan untuk membangun pedestal tersebut. Pedestal ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pembangunan GWK.
Riauadi menyayangkan sedikitnya investor yang berminat menanamkan modal untuk membangun GWK. Padahal, menurutnya, GWK sejak awal memang akan menggunakan modal dalam negeri, bukan modal asing. “Investor kita memang masih mikir-mikir kalau berinvestasi di bidang budaya seperti halnya GWK,” katanya. [b]
GWK lagi, GWK lagi. apa sih bagusnya karang tandus dikeruk?? dibawa kemana tuh karang putihnya yang dikeruk? BTW nice artikel mas antonemus
Banyak kepala, banyak pendapat. Pantas terlantar karena visi yang terbelah dan misi budaya yang tidak membumi. Selamat menikmati silang sengketa.
ya…….. apa mau dikata yang namanya proyek besar banyak kepentingan orang2 elit yang berkutik agar menguntungkan mereka
GWK is a beautiful place.. one of indonesia best places!
asal dikelola dgn baik, pasti hasilnya akan luar biasa
boong bilang tempat kunjungan spiritual!!!
spiritual apanya??? pura aja (tempat sembahyang) digusur…