Dikirim Komunitas Dua Sahaja
Untuk pertama kalinya dalam sejarah penerbitan buku, khususnya dalam kehidupan sastra di Indonesia, sepasang suami istri, yakni Rayni & Noorca M. Massardi, pada Sabtu (12/7/08), pukul 18.00 Wita, secara bersamaan meluncurkan karya fiksi terbaru mereka yang dipublikasikan dua penerbit berbeda, di Toko Buku Togamas, Jalan Hayam Wuruk 175, Denpasar.
Novel berjudul “d.I.a. cinta dan presiden” karya Noorca M. Massardi itu, akan dibahas oleh penyair Warih Wisatsana. Sedangkan untuk buku kumpulan cerpen “I Don’t Care” karya Rayni N. Massardi akan diulas oleh cerpenis Ni Made Purnamasari.
“Tidak direncanakan, dan tanpa kesengajaan, Alhamdulillah kedua buku kami bisa diluncurkan sama-sama pada hari ini. Kami merasa senang tapi juga sedih. Senang, karena kami bisa berkumpul dengan teman-teman. Sedih, karena negara ini sedang amburadul, menyakitkan, mengenaskan, tidak nyaman, dan tidak membanggakan. Jadi, gembira bercampur prihatinlah yang kami rasakan saat ini. Dengan berkah dan bakat dari Allah, menghadapi situasi dan kondisi hari ini, kami berdua hanya bisa menulis. Semoga dapat sedikit menghibur mereka yang sedang terluka dan terus berduka selama ini,” kata Rayni Massardi.
Untuk menandai keprihatinan dan solidaritas kepada seluruh rakyat Indonesia yang tak berdaya mempertahankan hak hidup dan hak asasi mereka sebagai warga Negara, Rayni dan Noorca malam itu sengaja memasang pita hitam di lengan mereka. “Ini untuk menandai kemarahan kami kepada para penyelenggara Negara ini, dan simbol keprihatinan kami terhadap nasib sebagian besar bangsa kita yang masih terzalimi…!” kata Rayni dan Noorca.
Malam itu budayawan dan pewarta kelahiran Subang, 28 Februari 1954, Noorca M. Massardi, meluncurkan novel keempatnya berjudul “d.I.a. cinta dan presiden” setebal 895 halaman yang diterbitkan PT Rajagrafindo Persada. Sebelumnya, novel itu pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian Seputar Indonesia pada 10 Januari 2007 – 18 Maret 2008. Novel politik atau novel sejarah dengan latar belakang peristiwa Mei 1998, itu bercerita tentang Anggara Sutomo, yang mewarisi dan kemudian mengembangkan kerajaan bisnis media massa terbesar di Indonesia, pasca bencana dahsyat yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Ibukota dan menewaskan jutaan warga Jakarta.
Dalam perjalanan hidupnya, Anggara berkenalan dan jatuh cinta pada Kartika, aktivis antiglobalisasi yang dikenalnya di Munich, Jerman. Secara paralel, muncul tokoh Wahid Pratama, anggota DPR yang baru di-recall partainya. Namun, di tengah kekosongan kekuasaan dan kelemahan presiden hasil pilihan rakyat yang ternyata sangat pengecut, itu Wahid berhasil menyelamatkan dan membangkitkan kembali kejayaan bangsa dan negaranya, melalui program-programnya yang sangat populis dan rasional, sehingga ia terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Sesuatu yang kemudian membawanya kepada “konspirasi besar” di balik malapetaka dahsyat di Ibukota.
Tentang novel yang penuh intrik politik dan romantika percintaan itu, sejumlah tokoh yang ikut memberikan endorsemen di dalam buku itu secara umum mengungkapkan kekaguman mereka kepada gaya bercerita Noorca yang sangat rinci dan realistis. Sehingga, pembaca akan sulit membedakan mana fakta dan mana fiksi, dalam novel yang berhasil “merekonstruksi” proses dan sekaligus pelbagai skandal reformasi 1998 secara fiktif itu.
“Orang yang sudah bertahun-tahun menulis memang beda. Imajinasinya liar dan sentuhan jurnalistiknya kental betul. Karya Noorca ini memiliki kapasitas sebagai karya bermutu sekaligus berpotensi disukai banyak pembaca. Dua kualitas yang amat jarang penulis Indonesia dapat menaklukkannya,” kata Andrea Hirata, pengarang tetralogi terlaris “Laskar Pelangi.” Sementara sejarawan LIPI, DR Asvi Warman Adam menyatakan, “Di dalam novel beraroma sejarah, perbedaan fakta-fiksi kian tipis tanpa kendala ruang dan waktu. Kisah asmara di jantung kota-kota besar Eropa dan Asia terjalin dengan intrik menuju kursi RI 1 di Jakarta. Bila kerusuhan massal disebut tsunami itulah gaya alegoris,” katanya.
Benny Hoed, Guru Besar Emeritus, Pengajar Teori Kebudayaan, FIPBUI mengakui bahwa “Seperti pada novel September sebelumnya, sekali lagi Noorca telah memperlihatkan kepiawaiannya menulis prosa yang penuh detail didasari erudisi, serta kajian serius tentang arti bencana, kebudayaan, dan manusia.” Dan, sejarawan muda Bonnie Triyana menyatakan bahwa novel itu memiliki kisah yang dahsyat, penuh lika-liku, dan “merupakan sisi lain dari cerita reformasi yang gagal total,” katanya.
Sementara praktisi dan penulis periklanan Budiman Hakim menyebutkan bahwa negeri ini membutuhkan seorang tokoh besar yang cukup gila untuk melakukan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh manusia biasa. “Dan, Noorca dengan jenius menghadirkan tokoh Sutomo Parastho yang bukan Tuhan tapi rasanya juga bukan manusia,” katanya.
Sedang Effendi Gazali, Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI menilai bahwa melalui novel itu Noorca telah menggunakan sarana paling mutakhir dalam riset-riset komunikasi politik dewasa ini, yakni satire, parodi, dan analogi. “Sebuah novel yang inspiring dan membuat saya sulit membedakan antara realita dan gagas cipta Noorca!” katanya.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, dengan intuisi jurnalistiknya Noorca telah menggarap secara intens subgenre roman politik aktual yang dekat dengan keseharian kita, yang pengarang lain sangat sedikit mendekatinya. “Novel ini dan romannya terdahulu, September, memberi corak tersendiri dalam khasanah sastra mutakhir kita. Intensitasnya yang kuat, saya kira, akan meraih hasilnya kemudian,” katanya.
Sementara budayawan Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa dengan hancurnya kebakuan sejarah, wacana apa pun sahih sebagai cara penulisan sejarah, termasuk fiksi sebagai cara penulisan (kembali) sejarah. Perbedaan fiksi yang memanfaatkan data sejarah dengan nonfiksi sejarah — sebuah kajian ilmiah misalnya — hanyalah perbedaan genre penulisan sejarah tersebut. “Dalam fiksi, kita juga dapat memeriksa bagaimana peristiwa sejarah telah ditafsirkan, sebagaimana bisa kita ujikan kepada novel Noorca ini,” katanya.
Sementara itu, tentang kumpulan cerpennya “I don’t care,” perempuan kelahiran Brussels, 29 Mei 1957, Rayni N. Massardi — yang bangga menyebutnya dirinya sebagai seorang pengarang – menjelaskan bahwa karya-karya yang dihimpunnya itu belum pernah dipublikasikan dan khusus ditulis untuk dibukukan. “Ini adalah karya seorang istri, ibu dari dua putri (Cassandra Massardi dan Nakita Massardi), serta nenek dari cucu tercinta Bondi,” katanya.
Walau karya yang dipublikasikannya baru lima, Rayni bangga bahwa kumpulan cerpennya kali ini bisa diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dalam waktu singkat. “Total berisi 12 cerpen, hampir semuanya ditulis spontan tanpa beban. Termasuk yang berjudul “Ariel Peterpan.” Dan, mungkin kisah-kisah ini tidak akan asing bagi pembaca, karena mengungkapkan permasalahan, keruwetan, kemarahan, dan kegembiraan (kalau ada!) yang pernah dialami manusia di dunia ini,” katanya.
Rayni memilih judul “I don’t care” karena ia memang tidak peduli akan hal-hal yang pasti, atau pada teori-teori yang baku. Ia bisa dibilang antiteori, antikemapanan, antisegala yang menghadang hak-hak seorang manusia. “Saya akan melawan, atau memprotes apa saja yang mengekang diri saya atau manusia pada umumnya. Dan, walau judul buku ini tidak penting, sekadar huruf, kata, atau kalimat, tapi isi kumpulan cerpen ini tetap penting…!” katanya.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, melalui belasan cerpennya Rayni seperti hendak bercerita, hendak mengatakan sesuatu, hendak ber-”ekspresi”, tapi semuanya berakhir pada sesuatu yang “hampa”. Sesuatu yang kosong. Sebuah potret begitu saja, dengan satu modal yang makin langka: jujur. “Dan, kejujuran itu mencuatkan situasi paling tragik dari kemanusiaan kita. Yakni, apa pun di dalam diri maupun di luar kita ini, sebenarnya nothing. Sebuah potret sederhana, tanpa ambisi, tanpa nafsu heroistik, tanpa pretensi literer, bahkan untuk diri atau subyektivitasnya sendiri. Saya kira, di situlah sukses Rayni menjadi pengarang masa kini,” kata Radhar. [b]
selamat atas terbitnya novel Bang Noorca, saya sudah baca dan sangat terkesima. Apalagi dengan tokoh Wahid Pratama,
didunia nyata saya kenal Djoko Edhi yang menjadi icon Wahid Pratama.
NOVEL NYA BAGUS BANGET
SEKARANG, TOKOH ‘WAHID PRATAMA’ YANG BERADA DO DALAM NOVEL BANG NOORCA TERSEBUT MENJADI CALEG PPP DAPIL MADURA NO URUT 4.
SUKSES UNTUK DJOKO EDHI ABDURRAHMAN ALIAS WAHID PRATAMA