“Bagaimana burung-burung bisa terbang bebas dan tidak perlu meminta izin untuk melewati sebuah negara, dan kita, manusia harus mempunyai banyak persyaratan untuk masuk dan berpindah tempat,” begitulah salah satu petikan dialog di film Dunki. Film Bollywood yang sedang tayang di bioskop.
Dunki sendiri adalah film besutan Rajkumar Hirani. Sutradara yang juga membuat film 3 Idiots dan PK. Dua film yang sarat kritik dan pesan moral yang cukup ramai dibahas di Indonesia beberapa tahun lalu.
Dunki sendiri merupakan film yang menceritakan perjalanan sekelompok teman yang berusaha untuk tinggal dan mencari kehidupan yang lebih baik di negara orang, dalam hal ini pindah ke Inggris. Namun, hambatan administratif dalam proses perpindahan yang rumit membuat mereka memilih jalur ilegal atau jalur tidak resmi.
Film ini dibintangi Shah Rukh Khan. Sebuah nama besar di dunia perfilman India. SRK telah lama menjadi idola sejak film-film blockbuster nya yang saya tonton di DVD-DVD bajakan ketika kecil dahulu. Sebut saja, Kuch Kuch Hota Hai (1998), Mohabbatein (2000) dan Kabhi Khushi Kabhie Gham… (2001).
Seperti My Name is Khan (2010), film Rajkumar Hirani lain seperti 3 Idiots dan PK, Dunki (2023) juga film yang sarat dengan pesan-pesan yang penting. Film ini mengulik kembali bagaimana dunia dan batas-batas negara hanya memisahkan. Film ini merupakan kritik atas sekat-sekat negara yang hanya memberi ruang diskriminasi. Film Dunki merupakan ulasan dan komentar atas tembok-tembok pemisah yang dibangun antar negara.
Untuk Hidup yang Lebih Baik
Impian tentang penghidupan yang layak seringkali tentang pindah ke suatu tempat nun jauh. Pindah ke tempat yang sebelumnya hanya ada di kepala. Kabar kesuksesan, sering menjadi pemantik untuk orang-orang berbondong-bondong pindah ke tempat bayangan tersebut.
Kadang kala, impian untuk pindah tersebut dilakukan dengan segala cara. Menjadi dasar cerita film Dunki, beberapa tahun lalu, kira-kira setelah Perang Dunia Pertama, pernah ada gelombang migrasi besar-besaran orang-orang India untuk pindah ke Inggris. Impian atas kehidupan yang lebih baik menjadi salah satu alasan.
Namun, pada tahun 1962, dan berlaku efektif pada tahun 1968, Inggris memberlakukan Undang-Undang Imigrasi Inggris mengenai pembatasan imigrasi orang India dan negara persemakmuran ke wilayah mereka.
Setelah pembatasan terjadi, memasuki negara inggris menjadi semakin sulit, dan hal inilah yang membuat sebagian orang ada yang memilih jalur ilegal untuk mewujudkan impian hidup yang lebih baik tersebut.
Dalam film Dunki, geng Shah Rukh Khan memilih jalur ini karena tak punya pilihan lain. Setelah ditipu agen visa, dan bahasa Inggris yang tak kunjung membaik untuk mendapatkan skor IELTS, kumpulan sahabat ini memilih jalur ilegal nan berbahaya untuk merengkuh mimpi atas kehidupan yang lebih sejahtera di Inggris.
Manu, yang diperankan Taapsee Pannu berkeinginan ke negara Britania Raya tersebut untuk membayar hutang dan mengembalikan rumah keluarga yang disita. Seorang karakter lain ingin segera meninggalkan India dan bekerja di Inggris untuk mengurangi gunjingan orang sekitar pada Ibunya yang harus melepas kain Sari untuk bekerja sebagai satpam. Ada juga karakter lain yang ingin ke Inggris untuk menyelamatkan kekasih yang mengalami KDRT di negara jauh tersebut.
Perjalanan ilegal untuk sampai ke Inggris tentu bukan perjalanan yang mudah. Bahkan, perjalanan ini bisa disebut berbahaya. Dalam perjalanannya, geng ini sempat disandera oleh pasukan militer ketika tiba di sebuah negara Timur Tengah. Setidaknya, ada 4 kawan lain yang meninggal dalam perjalanan ini.
Namun, mimpi akan penghidupan yang lebih layak membuat mereka bertahan dan sampai di negara ratu Elizabeth tersebut.
“Rumput tetangga selalu lebih hijau,” kata pepatah yang saya baca ketika di suatu tempat ketika kecil dulu. Dan inilah kenyataan yang mereka temui ketika tiba di Inggris.
Bayangan akan pekerjaan yang lebih baik dan penghidupan yang layak tak mereka temukan. Imigran, terlebih imigran gelap hanya mendapatkan pekerjaan “rendahan” yang tak akan mungkin dilakukan orang-orang Inggris asli.
Sekali lagi, mimpi untuk hidup yang lebih baik membuat geng ini bertahan. Meskipun harus berbohong di pengadilan sebagai seorang pencari suaka agar mendapatkan izin tinggal tetap.
Coach Hardy, karakter yang diperankan Shah Rukh Khan menolak. Diapun kembali ke India. Dia beralasan, India masih akan memberinya harga diri yang ia tak akan didapatkan di tempat baru tersebut.
Sekat-sekat yang Memisahkan
Ketika saya menonton film “Dunki” saya langsung mengingat ke beberapa tahun lalu, ketika saya membaca artikel berjudul “The Unbearable Whiteness Of Tourism.” oleh penulis asal Sri Lanka yaitu, Indrajit (Indi) Samarajiva.
Ada benang merah terkait bagaimana sekat-sekat negara bisa menjadi kian diskriminatif Terlebih bagi negara-negara Global South atau negara dunia ketiga. Dalam tulisan tersebut, si penulis membahas lebih spesifik di bidang pariwisata yang cenderung memberi kertas kosong kepada warga kulit putih dan bagaimana dunia mempersulit perjalanan untuk orang-orang kulit berwarna.
“Mereka menyebut pariwisata adalah industri ramah tamah, namun industri ini jauh dari kata tersebut. Keramahtamahan seharusnya berlaku dua arah. Kamu diterima di rumahku, dan aku diterima di rumahmu. Namun, pariwisata tidak begini. Orang kulit putih diterima di seluruh dunia. Orang kulit berwarna harus menunjukan tanda terima (struk pembelian),” bunyi kalimat pertama tulisan tersebut.
Batas-batas negara memang memungkinkan hal tersebut terjadi. Negara dan batas-batasnya sering kali hanya menjadi pemisah yang menjauhkan. Alhasil, perjalanan menjadi semakin rumit, terlebih bagi negara-negara dunia ketiga.
Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu pernah membuat visa untuk ke sebuah negara maju dan harus mempersiapkan setidaknya seminggu untuk mengurus dokumen perjalanan tersebut. Tak bisa di daerah asal, dokumen tersebut harus dibawa dan dibuat ke Ibu Kota.
Berbagai dokumen harus disiapkan. Selain itu, harus menyisakan kocek untuk membayar biaya surat-surat yang harus dibuat jauh-jauh hari tersebut. Dan, tentu, ada kemungkinan dokumen itu tidak diterima. Bisa jadi karena tidak sesuai persyaratan dan sebagainya. Jika itu terjadi, kita akan merugi untuk dua hal, ditolak masuk negara tujuan, dan kehilangan uang.
Dan ketika seperti ini, sebagian orang bisa jadi memilih jalan ilegal untuk ke negara tujuan. Seperti pejalan di film Dunki, perjalanan yang beresiko dipilih lantaran sekat-sekat negara tak mempunyai ruang untuk mereka.
Pahit Manis Hidup di Film Dunki
Saya kira sudah cukup lama saya tak merasa perasaan sepuas ini setelah menonton film hingga beberapa hari lalu saya menonton Dunki. Sebuah film dari India yang memberi pesan teramat penting untuk pahit manisnya hidup.
Saya sendiri tak punya ekspektasi apa-apa ketika pergi menonton film ini. Saya hanya ingin terhibur dan menikmati cerita yang disuguhkan di layar lebar. Namun, Dunki memberi lebih. Film ini memberi sebuah pengharapan bahwa apapun yang terjadi, hidup adalah harapan itu sendiri.
Film Dunki memberi penekanan bagaimana hidup menjadi terasa sangat tidak adil, namun demikian begitulah hidup. Kamu tak bisa terus bergulat di sana, yang harus dilakukan kadang adalah memberikan ruang untuk sedikit meninggalkan harap di tengah-tengah kubangan keputusasaan.
Dalam film ini, saya diajak untuk menangis, bahagia, terharu, bersedih, tertawa, dan merasakan hidup. Hidup yang yang rasanya dijalani orang-orang kebanyakan.
Selain itu, lagu-lagu tema di film ini juga enak di dengar. Lutt Putt Gaya, O Maahi, hingga Main Tera Rasta Dekhunga adalah lagu-lagu yang cukup mengena di hati.
Dulu pernah ada yang mengatakan Film India selalu ada scene menyanyi yang menurut mereka kadang mengganggu. Namun, saya berpikir kembali bahwa bagian ini hanya cara filmnya bercerita. Dan jika lagunya bagus memang menjadi poin lebih.
Akhir kata, film Dunki adalah medium untuk melihat hidup dan belajar darinya.