Kantor PHDI Bali menjadi tempat dialog kerukunan umat beragama.
Pada Rabu lalu, berbagai kelompok hadir hadir dalam acara dialog antar-umat beragama di kantor Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Jalan Ratna, Denpasar oleh The Islah Center dan LBH APIK Bali.
Peserta diskusi tak banyak. Hanya sekitar 10 orang. Tak ada topik khusus. Hanya mimbar bebas bersuara apa perspektif tiap orang mengenai kerukunan dan keberagaman di Bali.
Namun, perbincangan santai ini menjadi oase di tengah meningkatnya fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama di berbagai negara. Juga semaraknya jualan agama untuk memburu kursi kekuasaan.
Dialog yang mulai jarang dihelat ini berjudul memperkuat kerukunan umat beragama di Bali antar tokoh agama, tokoh adat, dan civil society di PHDI Bali. Mujahidin Nur dari Islah Center mengingatkan bangsa ini dibangun untuk kerukunan agama dan toleransi.
Jro Mangku Made Karda yang sedang membangun pura di Alas Purwo, Banyuwangi mengatakan selalu merasakan keberagaman karena kerap hidup di luar kota. “Ini kenyamanan hidup bersama etnis lain. Saya di-backup sama orang Cina membangun pura karena di luar Bali sulit bangun pura karena tidak ada uang,” katanya.
Alit Putrawan, pengurus PHDI Bali juga menyebut keberagaman bukan hal luar biasa, karena semua diciptakan tak sama. “Kebersamaan muncul dari jiwa yang mengaku keberadaban. Sejauh mana mayoritas mau melindungi minoritas? Saat memerdekakan diri, negara mengakui semua etnis dan agama.
Semua setuju tapi di lapangan ada riak kecil,” ingatnya.
Di Bali sendiri ada istilah nyame selam (muslim) dan tradisi ngejot saling memberi saat perayaan agama. Semuan peserta diskusi setuju, tantangannya sejauh mana bisa menahan diri tak menyinggung orang lain.
Made Raka Suwarna, Wakil Ketua PHDI Bali menceritakan, secara umum ada tiga hal di Bali yakni tentang pura, puri dan pasar yang dibungkus adat. Akulturasi diperlihatkan dengan banyak hal misalnya ada semacam pura Cina untuk Tionghoa, langgar dalam pura, dan lainnya.
Puri juga dekat dengan komunitas nyame selam, Kristen, dan jika ada konflik diselesaikan lewat tokoh-tokohnya. “Saat Nyepi kemarin ada sholat gerhana, dan ini sudah diantisipasi agar tak ada benturan,” contohnya.
Hafidul Muhsin Wakil Sekretaris PWNU juga mengatakan sudah hidup 16 tahun di Bali dan belum pernah terintimidasi. “Saya mendapatkan rasa kedamaian dan toleransi,” tuturnya.
Ia mengaku mendidik generasi muslim di Bali dengan penggemblengan nilai-nilai Pancasila sejak dini lewat sekolah untuk menanamkan nilai toleransi. [b]