Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Periode 2017 – 2021 menjelaskan perbandingan metode advokasi dulu dan sekarang.
Melalui Zoom Meeting, Asfinawati menceritakan perjuangan buruh untuk mewujudkan jam kerja ideal kala itu, yaitu 8 jam kerja. Namun, masih terbatas yang menyadari bahwa angka 8 jam kerja itu didapatkan dari gerakan buruh dan seluruh elemen masyarakat sejak beratus tahun lalu. Bagi Asfina, kesadaran advokasi bersama yang berkelanjutan penting dibangun. “Saya tidak berharap kita jadi Indonesia yang lebih baik seratus atau ribuah tahun tapi saya mau mengatakan, banyak hal-hal mustahil terjadi karena ada orang-orang yang percaya bahwa itu bisa terjadi dan terus mengusahakan,” ujar Asfinawati pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Asfinawati berkiprah di dunia advokasi melalui YLBHI hingga LBH Jakarta. Pemaparan Asfina disimak oleh para peserta konsolidasi dari berbagai lapisan masyarakat. Seperti aktivis hak tanah dan ruang, mahasiswa, jurnalis, akademisi dan lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan situasi demokrasi dan pemenuhan hak atas ruang hidup. Termasuk memetakan peluang advokasi bersama di Bali melalui konsolidasi berbagai lapisan masyarakat.
Ancaman dan pembubaran kegiatan The People’s Water Forum (PWF) salah satu bukti mundurnya demokrasi di Bali. Data BPS tentang Indeks Demokrasi Provinsi Bali tahun 2023 yang mencapai 85,3, sebagai indeks tertinggi se-Indonesia. Namun, data tak sesuai fakta di lapangan. Pada Mei 2024, PWF sebagai forum kritis rakyat atas privatisasi air, dihalangi oleh sekelompok ormas yang hingga menutup akses keluar masuk lokasi.
Akibatnya, para undangan tidak dapat masuk dan orang-orang di lokasi terisolasi selama 3 hari. Selain itu peliputan jurnalis dihalangi, Whatsapp panitia dan peserta diretas, karya seni dan atribut kegiatan dirampas, serta panitia dikeroyok. Sebelum kegiatan sejumlah intimidasi dialami panitia oleh pihak yang mengaku intel TNI-POLRI, serta terjadi pembatalan sepihak oleh ISI Denpasar yang tadinya menjadi lokasi kegiatan atas instruksi pihak Kemendikbud Ristek.
Fenomena anti demokrasi ini terjadi pula di ranah legislasi pada pembuatan regulasi. Berbagai produk undang-undang yang tidak partisipatif dan buru-buru justru disahkan segera. Seperti pengesahan KUHP, Cipta Kerja dan Minerba yang tidak diperuntukkan untuk rakyat. Regulasi yang dibutuhkan rakyat seperti RUU Masyarakat Adat maupun RUU PRT tak kunjung disahkan.
Membersamai tujuan gerakan
Tujuan akhir gerakan berbeda-beda, Asfinawati menyarankan agar membicarakan tujuan bersama. “Dalam konteks gerakan LBH saya berpikir bahwa gerakan kita cenderung menggunakan nilai-nilai yang luhur, sehingga daya gerak kita lurus-lurus saja,” terang Asfinawati. Menurutnya, LBH butuh gaya advokasi baru dengan nilai luhur dan daya gerak yang lentur.
Ia mencontohkan, ketika menggalang massa untuk aksi tidak seiring dengan persiapan sebelumnya. Aksi berlangsung terlambat dan jumlah massa yang tidak meningkat. Asfina mencontohkan gerakan massa aksi di Korea Selatan konsisten dari awal konsolidasi hingga saat aksi berlangsung.
Aspek lainnya yang menjadi perhatian Asfina adalah strategi kampanye. “Kita kerap bernarasi kampanye dengan heroik tapi kita harus memikirkan juga cara lain,” ujarnya. Cara itu salah satunya memperhatikan multi perspektif dan sosial-gender.
I Wayan Mardika aktivis 98 berharap konsolidasi dapat dilakukan lebih sering, Ia mencontohkan salah satu rekan pasca 98 menginisiasi konsolidasi dari kampus ke kampus. “Tidak ada kampus yang tidak pernah kami kunjungi di Bali,” ungkap Mardika pada Sabtu, 27 Juli di Kantor LBH Bali.
Mardika menyarankan agar mahasiswa mampu memfasilitasi konsolidasi yang berkelanjutan, “momentum hari ini tidak hanya cukup sampai hari ini harapannya berkelanjutan dalam konteks gerakan dan penambahan pengetahuan.”