Hujan lebat dan banjir bandang pada 17 Oktober 2022 melumpuhkan rumah-rumah yang berdiri di bantaran sungai Bilok Poh, Jembrana. Juliada salah satu korban banjir bandang saat itu.
Kami mendatangi rumahnya setelah seminggu terjangan banjir, kondisi rumah Juliada masih dipenuhi lumpur. Runtuhan tembok-tembok bercecer dan beberapa barang rumah yang terselamatkan masih tahap pembersihan. Kasur ukuran 200 cm dengan sisa lumpur yang masih menempel milik Juliada sesekali dijemur ketika ada terik matahari. Meski, kondisi cuaca di Jembrana tak pernah bisa diterka. Juliada merapikan apa yang bisa dirapikan.
Tak banyak yang bisa diceritakan Juliada ketika air memenuhi rumahnya. Sebab sejak pukul 8 malam sebelum air bah itu meluap, ia dan keluarga sudah berpindah ke posko pengungsi. Sehari setelah aliran air di sungai itu meruntuhkan rumahnya, Juliada melihat tembok rumahnya bolong. Garasi motor terbuat dari seng dan besi yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya tak lagi tersisa.
Ia mampu memperkirakan seberapa tinggi air meredam rumahnya. Sisa lumpur yang meninggalkan batas di tembok rumahnya menjadi tanda bahwa air bah pada malam kemarin mencapai setinggi 1.5 meter. Begitu pula jejak waktu banjir tertanda pada jarum jam dinding pukul 12 malam yang mati karena terendam air.
Ini adalah kali ketiga banjir merendam rumah Juliada, yakni setelah 1998 dan 2018. Namun, banjir di penghujung tahun 2022 inilah yang paling besar.
Belum ada satu tahun rumahnya direnovasi. Bahkan ia masih mengumpulkan tabungan untuk memasang keramik di bagian kamar pribadinya. Namun, tabungan belum cukup terkumpul, air bah sudah meruntuhkan sebagian bangunan rumahnya. Begitu pula rumah-rumah di sebelahnya. Kondisinya beragam. Ada yang runtuh total, ada juga runtuh sebagian. Namun, semua rumah di sana rata terendam lumpur.
Saat ini Juliada memilih untuk tinggal di rumah saudaranya. Ketika cuaca cerah, ia bisa datang ke rumahnya untuk bersih-bersih.
Situasi lebih dramatis dialami rumah-rumah yang terendam batang-batang kayu yang terhempas dari hulu. Jika dideskripsikan, letak rumah Gusti Ayu Komang Sri Wahyuni menjadi titik kumpul bantang-bantang kayu yang dibawa air bah dari hulu. Seminggu setelah banjir berlalu, Gusti Ayu tak juga punya akses masuk ke rumahnya. Sebab, tumpukan bantang kayu setara dengan tinggi rumahnya menutupi jalan rumah.
Selain tidak bisa mengakses rumahnya, Gusti Ayu kehilangan satu rombong bakso yang berdiri di pinggir Sungai Bilukpoh. Ia masih ingat, ketika air bah mulai naik ke jembatan, Gusti Ayu masih di warungnya melihat air mulai naik,
“Sampai ditelfon suami untuk mengungsi karena air sudah mulai besar. Posisi saya yang dekat sekali dengan jembatan, bahaya terjebak,” katanya menceritakan.
Sama seperti Juliada, tak ada apapun yang Gusti Ayu bekalkan ke posko evakuasi. Ia memiliki perkiraan tidak akan banjir lagi. Mengingat jarak banjir sebelumnya baru 4 tahun lalu, yakni 2018 silam.
“Bayangannya ga bakal mungkin banjir lagi, kalau banjir paling lagi 10 tahun. Tidak menyangka banjir lagi. Tahun 2018 rumah saya kena juga, tapi masih layak pakai, kalau sekarang sudah hancur semua karena bantang,” kenangnya.
Selain rumah, ia kehilangan warung bakso dan dua tabung gas. Pagi pasca terjangan banjir, Gusti Ayu sempat mengecek rumah dan warungnya.
“Warung saya hilang, jeg meguyang tiang ketika tahu warung sudah tidak ada, karena itu aja mata pencaharian saya,” katanya.
Rumah Gusti Ayu yang saat ini tidak bisa diakses, dulunya adalah aliran sungai. Tapi sungainya sudah mati. Ada 7 orang anggota keluarga yang selama ini tinggal di rumah Gusti Ayu. Selain rumahnya, ada 7 rumah yang terjebak bantang kayu. Kini ia pun masih belum tahu pasti rencana ke depan akan tinggal di mana.
“Bingung saya, tidak mungkin tinggal di posko terus-terusan. Saya masih bingung mau kemana habis ini. Kalau tinggal di sini tidak mungkin, pemerintah katanya akan merelokasi, tapi saya tidak tahu di mana. Kalau keras kepala tinggal di sini, kalau ada banjir lagi tidak akan diurus pemerintah lagi. Jadi akan relokasi,” pungkasnya.
Kami menelusuri daerah aliran sungai (DAS) Bilok Poh yang panjangnya lebih dari 30 km. Dari desa tetangganya terlihat tumpukan kayu masih banyak di beberapa sempadan sungai. Salah satunya tersngkut di sebuah kebun pohon kelapa. Jika ratusan batang kayu ini hanyut, akan makin mengubur perumahan di hulu.
BaleBengong juga menelusuri dua kawasan hutan yang memberikan izin pemanfaatan hutan desa di sebagian kecil yang sudah dirambah (sawen atau ngawen) jadi kebun untuk tanaman yang cepat menghasilkan seperti pisang dan vanili. Dua tersebut adalah Yehembang Kauh dan Penyaringan. Kawasan hulu sungai Bilokpoh yang mengakibatkan banjir bandang pada pemukiman di hilir adalah Penyaringan.
Sebelum masuk kawasan hutan Penyaringan, ada Pura Dalem sebagai penanda ujung pemukiman penduduk. Sebuah papan petunjuk menyatakan di bagian depan ini adalah area yang dikelola Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Penyaringan. Inilah kelompok yang mendapat izin kelola hutan desa di zona pemanfaatan.
Sejak reformasi 1998, sejumlah warga mengingat mulai ada arus warga masuk hutan untuk ngawen, berasal dari kata sawen atau penanda. Mereka menanam komoditas kebun seperti pisang dan vanili di bagian terluar hutan. Makin marak sekitar 1999, saat itu meletus kerusuhan di sebagian kabupaten setelah Megawati gagal dalam pemilihan presiden di sidang MPR yang saat itu pemilik otoritas walau partainya PDIP menang Pemilu. Gus Dur melalui Poros Tengah terpilih jadi presiden dan Megawati jadi wakil. Baru 2 tahun, Gus Dur dilengeserkan. Setelah itu Megawati diangkat jadi presiden.
Kepala Kesatuan Pengelolaan hutan (KPH) Bali Barat Agus Sugiyanto berdiskusi dengan warga di Hutan Belajar, Yehembang Kauh, sekitar seminggu setelah banjir bandang. Ia merasa kelompok-kelompok tani hutan (KTH) atau hutan desa yang mendapat izin pemanfaatan sudah mencoba memperbaiki hutan. Anggota KTH ini ngawen.
Agar tak makin meluas, KTH mensyaratkan sejumlah hal. Misalnya di Penyaringan, pengurus Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) tidak boleh dari warga yang ikut ngawen yang jadi anggota LPHD. Sejumlah program yang dirancang adalah kewajiban menanam pohon besar agar tak hanya berisi tanaman umur pendek seperti pisang. Ada juga program tanaman gumi banten, endemik, dan lainnya.
Agus menyebut hutan Jembrana adalah sumber mata air besar. “Jangan digeneralisir, banyak warga sudah mulai perbaikan, hutan kan sudah dimasuki saat reformasi,” katanya terkait penyebab banjir bandang.
Tujuannya mengembalikan tutupan hutan sekitar 12 ribuan hektar di Jembrana. Saat ini baru 5000an. Ia mengakui masalahnya di kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan berbagai eksploitasi air oleh banyak pihak.