Seribu tahun, aku ikut menyaksikan bagaimana peradaban Bali tumbuh
Bahkan sebelum manusia mengenal dirinya, tubuhku telah banyak dipuji
Tentang kesetianku pada Yudhistira
Bukan ingin ikut merasakan hawa surga,
aku hanya bisa memastikan bahwa tuanku baik-baik saja
Aku dengan mata menyalang bagai elang
Dipelihara raja bak asuhan terbaiknya
Kini, mata elang itu meredup
Tubuhku najis, dihardik, dipukul, diludahi,
bahkan di bakar hidup-hidup di tanah kelahiranku sendiri, Bali
Tentang anjing Bali, saya memelihara dua ekor sebagai penjaga setia bagi tuannya. Tubuhnya ringkih ketika saya bertemu dengan keduanya saat hendak disuntik mati. Kedua anak anjing ini mendekati saya, seolah meminta untuk dilarikan ke tempat yang jauh. Mereka mengelus pelan kaki saya.
Saya memutuskan untuk memeliharanya meski kedua orangtua saya was-was dengan segala penyakit dan risiko yang dibawa anjing Bali ini.
Setelah mendapat perawatan medis yang layak, kedua anjing Bali yang dulunya ringkih ini tumbuh gagah dengan suara khas jantannya. Anjing-anjing Bali ini begitu penurut dan penjaga rumah yang andal. Mengandalkan mereka, rasanya lebih jantan daripada memasang CCTV. Kedua anjing Bali ini bisa hidup berdampingan dengan anjing jenis minipom dan shih tzu.
Apa yang salah dengan anjing ras Bali sehingga pemerintah begitu memaksa melenyapkan mereka dengan brutal? Takut rabies mewabah? Rasanya, ada cara lain yang lebih humanis bagi mereka yang menyebut dirinya manusia.
Ketika solusi lain tidak cukup menumpas rabies, pembunuhan massal terhadap anjing liar di Bali dilakukan dengan tanpa ampun. Anjing-anjing itu dibius, dikandangkan selama 14 hari.
Sebelum dimusnahkan, anjing dibuat mati rasa terlebih dahulu, akhirnya dieliminasi. Alasannya, supaya tidak kaget dan meraung-raung. Ratusan anjing di Bali telah ditolak hidup di tanahnya sendiri. Tidak ada upaya penyelamatan yang berarti. “Toh, hanya anjing”.
“Tolonglah, kalau ada yang lihat anjing liar dimatiin (dibunuh) saja, dieleiminasi. Jangan dibiarkan berkeliaran menyebarkan penyakit. Berbahaya, bikin orang takut. Saya kira masyarakat yang harus bersama menjaga,” kata Gubernur Bali Mangku Pastika sebagaimana ditulis Kompas.
Gubernur Bali juga membandingkan anjing di Bali berbeda dengan anjing di Australia. Menurutnya, anjing di Australia mendapatkan perawatan khusus dengan jaminan makanan yang sehat, lingkungan baik, dan mendapat perawatan rutin termasuk mendapatkan vaksinasi. “Kalau anjing di Bali, banyak yang tidak mendapatkan perawatan, berkeliaran di jalan, kudisan,” ujarnya di tulisan yang sama.
Mengapa?
Saya kira, pemimpin ini sudah mendapat solusi lebih bijak lewat kalimat-kalimat yang diujarkannya. Lantas, mengapa pembunuhan massal pada anjing-anjing Bali masih tetap dilakukan? “Toh, hanya anjing. Jangan terlalu risaulah..” Lagi-lagi kalimat ini yang muncul.
Anjing Bali menjadi hal yang patut diperbincangkan. Meski hanya seekor binatang, anjing Bali berarti penting bagi peradaban Bali yang mungkin tak banyak disuarakan. Epos Mahabharata dengan kisah anjing setianya Dharma Wangsa, adalah cerita klasik yang banyak mengajarkan hal-hal positif.
Di negeri Sakura, Jepang, kisah Hachiko membuat semua mata tertuju padanya. Pada kesetian dan kasih sayangnya, yang bahkan mungkin tak dapat ditemukan pada ciri manusia zaman ini.
Bali yang dikenal dengan budaya dan ritualnya pun menghadirkan posisi anjing yang turut ambil andil di dalamnya. Dalam caru, anjing belang bungkem diburu dan digunakan untuk sesaji dan menuntaskan sebuah upacara menurut keyakinan Hindu.
Kehadirannya dinilai sempurna untuk menangkal segala kekuatan jahat dari alam niskala.
Dr. Lawrence Blair, antropolog Inggris yang telah lebih dari seperempat abad menghabiskan usianya di Indonesia, kemudian melihat Bali dipenuhi dengan ribuan anjing, membuatnya merasakan kedamaian. Lantas, Beliau mencoba membuat hal istimewa ini menjadi sebuah penelitian penting untuk melacak asal-usulnya anjing Bali.
Begitu mudah baginya. Sebab ia menuturkan anjing Bali adalah ras sangat murni. Beda dengan anjing ras yang sudah melalui banyak perkawinan silang. Anjing Bali bukanlah anjing tanpa asal-usul.
Anjing Bali ditengarai sebagai proto-canine, anjing murni, yang berevolusi dari hewan-serupa-serigala (yang juga disamakan dengan Dingo Australia-padahal umur anjing Bali ini lebih tua dari Dingo) untuk bisa hidup berdampingan dengan manusia.
Mereka tidak lagi berburu, melainkan makan dari sisa-sisa perburuan dan makanan manusia.
Lantas, mengapa orang Bali begitu gerah dengan anjing Bali dan merasa bahwa binatang-binatang ini harus dimusnahkan secepatnya?
Juru Selamat
Mungkin, yang masih berpikir, “toh hanya anjing”, harus belajar dari seorang anak bernama Dewi Laina Pertiwi. Apakah bocah ini orang Bali? Mungkin…
Dewi Laina Pertiwi seorang bocah berusia 12 tahun. Dia tinggal di salah satu sudut kawasan emas dan limpahan hal-hal modern. Dia memberikan contoh bahwa sisi humanis manusia masih ada di nalurinya. Bagi Dewi, anjing bukan sekadar binatang peliharaan, tetapi juga juru selamat.
Kisahnya bermula sekitar 2014 lalu, ketika Dewi menderita sakit akibat keracunan roti dan dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Tubuhnya lemas dan kadang tak memiliki gairah seperti keceriaan sebelumnya.
Sang ayah merasa cemas akan kondisi Dewi. Suatu ketika ia berjalan kaki dan menemukan anak anjing kacang kuluk kacang, asli Bali sedang kehilangan induknya. Anak anjing ini mencari-cari perlindungan di bawah kaki ayah Dewi. Perasaan iba tiba-tiba saja menghampiri.
Sang Ayah pun memutuskan membawa anak anjing ini sebagai hadiah untuk Dewi.
Dewi, yang kala itu masih terbaring lemah di rumahnya, tiba-tiba memiliki alasan untuk tetap kuat agar dapat memelihara anak-anak anjing ini. Dewi memberinya makan, susu, dan perawatan sederhana dalam bingkai kasih. Ia merawat anak anjing ini seolah ia merawat bagian-bagian dalam tubuhnya.
Kerap, Dewi juga membawa anak anjing ini ke sekolah sebagai teman kala ia istirahat. Sang anjing manut saja pada tuannya. Anak anjing ini tak berulah ketika dibawa kemana pun Dewi pergi.
Lebih dari itu, anak perempuan yang kini duduk di kelas enam SD itu, bagai membalas budi, tergerak untuk merawat anjing-anjing liar lain, yang terlantar. Dewi kerap mengendap-endap, menyelamatkan anjing yang sengaja dibuang atau diusir oleh warga yang tak menghendaki anjing-anjing ini mengotori lingkungan.
Kadangkala, Dewi menemukan anjing-anjing liar dalam kondisi yang tak layak. Kurap, kudisan, patah tulang akibat pukulan, bahkan perot. Di hatinya hanya ada rasa balas budi. Ia membawa sebanyak yang ia bisa agar anjing-anjing ini mendapat perawatan dan bisa kembali menemukan rumahnya, bagi mereka yang memang memiliki rumah.
Ketika berkujung ke rumah Dewi yang sederhana di kawasan Mas, Ubud, Anda akan disambut puluhan anjing. Suara gonggongannya khas, menandakan kewaspadaan ketika ada orang asing melintasi rumah tua yang begitu dicintainya.
Namun, ketika sang tuan mempersilakan sang tamu masuk, anjing-anjing ini berhenti meraung dan ikut menyambut hangat sang tamu. Totalnya ada sekitar 23 ekor anjing di rumah itu, tetapi tak semua diberi nama. Ada Marmut, ada Salem, ada Selem, ada Pompei, ada Blacky, ada Meri, Selsa, Selsi, Koming, Aldo, Aldi, Alda… dan masih banyak nama-nama sederhana untuk setiap anjing yang berhasil diselamatkan Dewi.
Penyelamatan anjing yang dilakukan Dewi merupakan cerita langka di Bali. Isu rabies, kudisan, dan segala label negatif tentang anjing seketika memenuhi pemikiran. Anjing liar, khususnya jenis anjing kacang (kuluk kacang) yang merupakan anjing Bali asli kerap tak pernah memiliki arti di mata masyarakat. Anjing jenis ini seperti memiliki nasib buruk, bahkan sebelum mereka terlahir.
Di antara banyak anjing Bali yang diselamatkan Dewi, tak jarang beberapa di antaranya hanya bertahan hitungan jam. Perawatan pertama dengan memanggil dokter hewan ternyata tak mampu menyelamatkan anjing-anjing ini. Dewi menitihkan air mata sambil melepas anjing liar dan menguburkannya di belakang rumah.
Selamat jalan anjing kecil. Jika bisa memilih pada semesta, jangan terlahir jadi anjing, apalagi anjing kacang. [b]