Oleh Made Suardana
Satu momen yang bagi saya sangat menganggu adalah ketika orang-orang terdekat dan juga sanak famili mengajukan satu pertanyaan klasik, “Kapan buat anak laki-laki?”. Sebuah pertanyaan yang seakan-akan menjadi permintaan yang mengharuskan, juga sekaligus menjadi sebuah harapan bagi mereka yang benar-benar mesti diwujudkan, bagaimana pun caranya.
Namun, bisakah dengan mudah ‘memesan’ biar yang lahir adalah bayi laki-laki? Apakah adakah mesin cetak yang khusus untuk membuat anak laki-laki? Munculnya pertanyaan tersebut secara tidak langsung menyiratkan bahwa betapa pentingnya kehadiran anak laki-laki dalam sebuah keluarga Hindu di Bali. Ada ‘hukum alam’ di Bali bahwa sebuah keluarga belum lengkap secara sosio cultural tanpa adanya anak laki-laki. Adakah ini bisa disebut diskriminasi gender terselubung di Bali? Adakah ini merupakan diskriminasi gender berbungkus budaya adi luhung? Saya pribadi akan menjawab YA, paling tidak diskriminasi secara psikologi.
Adat istiadat (sekali lagi) menjadi tameng untuk menjadi dasar adanya ‘hukum alam’ ini. Dari kacamata biologi, seorang anak lahir dari sebuah proses biologis yang panjang, pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk menentukan jenis kelamin bayi yang akan lahir. Buku2 dan jurnal2 ttg cara/metode menetukan jenis kelamin tidak bisa 100% menjamin keberhasilan dalam menentukan jenis kelamin tertentu. Dari kacamata agama (Hindu), seorang bayi adalah titipan Tuhan kepada si orang tua dan adalah hak mutlak Tuhan untuk menentukan jenis kelamin sang bayi, seorang bayi adalah lahirnya kembali seseorang dari roh kerabat terdahulu yang sudah meninggal yang lahir ke dunia dan ‘ngidih nasi’ kepada keluarga sang bayi.
Dari kacamata adat istiadat di Bali, seorang anak laki-laki adalah penerus keturunan keluarga yang akan bertugas melanjutkan eksistensi keluarganya dalam tatanan social masyarakat Hindu di Bali. Anak laki-lakilah yang akan malanjutkan ‘nyungsung’ sanggah, anak laki-lakilah nantinya yang akan bertanggung jawab melakukan segala upacara adat dan upacara agama, juga sebagai pewaris harta benda. Sedangkan anak perempuan dianggap nantinya akan ‘megedi’ alias menikah sehingga secara otomatis akan keluar dari garis keturunan keluarga. Berangkat dari mindset budaya inilah yang melahirkan adanya diskriminasi gender terselubung di Bali.
Budaya dan tradisi memang bagian integral dari kehidupan masyarrakat Bali (Hindu). Karena budaya yang unik itulah Bali menjadi eksis. Namun saya pribadi beranggapan bahwa produk budaya dan tradisi mestinya tidak mempersulit hidup, budaya dan tradisi tidak mesti diterapkan semena-mena, tidak lantas dijadikan sebuah excuse untuk adanya sebuah diskriminasi gender di Bali. Adalah menjadi hal lumrah di Bali ketika seseorang bertanya, “Apakah jenis kelamin bayinya?”. Ketika dijawab laki-laki, ada semacam kesan relief (sesuai yang mereka harapkan) bagi mereka. Kalau diverbalkan mungkin kira-kira sebagai berikut, “Oh syukurlah, kamu sudah punya penerus”. Dan ketika jawabannya perempuan, ada kesan datar tertangkap, kesan yang berarti kita ‘belum berhasil”.
Apa dampak dari diskriminasi berbungkus tradisi ini? Secara psikologis sudah menimbulkan pengkotak-kotakan gender dalam masyarakat Bali. Anak perempuan menjadi nomor dua. Tidak secara nyata dan terang-terangan memang. Adanya fenomena di mana sebuah keluarga akan terus berusaha ‘mencetak’ anak laki-laki adalah bukti nyata, walau sudah misalnya punya anak perempuan empat orang tapi karena ‘tuntutan’ budaya, maka akan terus berusaha, bahkan sampai menempuh jalan-jalan spiritual, ‘nunas’ misalnya. Kesan memandang ‘sebelah mata’ terhadap kehadiran bayi perempuan di sebuah keluarga Hindu di Bali, menurut saya, adalah sebuah pelecehan psikologi. Budaya dan tradisi adalah dibuat manusia yang tidak mengandung kebenaran mutlak/hakiki sedangkan anak adalah titipan Tuhan. Sudah sepatutnya mereka diperlakukan dan dipikirkan secara sama, tidak perduli perempuan atau laki-laki.
Saya sangat terkesan membaca pendapat Bapak /Saudara Made Suardana mengenai Diskriminasi dibalik Tradisi.
Sebagai perempuan yang dilahirkan dan dibesarkan diBali saya ingin sekali diskusi dg anda tentang hal ini.
Saya tinggal di Europa bersama suami dan anak dan karena Orang tua selalu memperlakukan saya dan adik laki saya satu-satunya dg sangat berbeda,maka saya mengalah dan tak pernah lagi pulang ke Bali meskipun saya sangat sedih dan kasihan sama orangtua.
Tolong kalau bisa, saya akan sangat besyukur kalau Bapak/saudara ada niat/waktu untuk diskusi masalah ini dg saya melalui e-mail:niluhh@yahoo.de
Terimakasih sebelumnya.
@Niluh Suarsih,
Terima kasih atas apresiasi Anda.
My pleasure, niki email tiang kadeksuardana@gmail.com
blog : devari.wordpress.com
Suksma
Made Suardana
saya kecewa ama budaya bali. di saat kami kaum perempuan sibuk mejejahitan karena bentar lagi kuningan, eh adik sepupu laki-laki malah tenang2 tidur trus bangun langsung jalan2 keluar.
belum lg di keseharian. anak perempuan wajib mebanten lah ini lah itulah, nyapu natah lah, etc.
tapi anak laki2 gak pernah disuruh nyapu n kalo saya gak sempet nyapu krn nyari data buat tgs di kampus, pastilah kena omelan! belum lagi sindiran yg enggak2.
anak laki2 di keluarga saya sangat dimanja, udah 19 thn tp apa2 msh diladeni, bahkan adik sepupu sy yg kelas 6 SD msh dimandiin ibunya.
sedangkan saya sejak kelas 2 SD udah biasa nyuci n nyetrika baju sendiri.
adanya diskriminasi juga bisa dilihat dari pemberian ijin keluar malam. anak cowok pulang pagi aja gpp, tp anak cewek pulang malam udah di cap perek lah perempuan rusak lah dsb.
apa krn kelamin n payudara mengembang ini kita kaum perempuan dinistakan? jika demikian ayo kita tuntut saja tuhan!
saya sering punya keinginan operasi kelamin setiap kali pukulan ayah mendera tubuh saya!
dunia serasa terkungkung, tanpa celah n nyaris membuat saya hampir mampus!
tapi apa saya diam? tidak! saya berontak! meskipun berulang kali terjadi hal2 yg tdk mengenakan tp saya terjang terus! hingga kini saya benar2 merasa bebas berekspresi! saya tidak peduli apa kata orang tentang saya!
saya begitu emosional dengan budaya sampah ini!!!
there can be no love without justice!
gak akan pernah ada cinta tanpa keadilan!!
lebih baik buang saja itu cinta ke tong sampah jika tanpa keadilan!!