“Menjelang peringatan Sumpah Pemuda, generasi muda merefleksikan makna persatuan di tengah arus globalisasi dan disrupsi digital.”

Monumen Bajra Sandhi (Monumen Perjuangan Rakyat Bali) berdiri tegak di Renon, Denpasar, Minggu (26/10/2025). Monumen ini menjadi pengingat sejarah sekaligus ruang kontemplasi bagi warga kota. (Foto: Jarot)
Di Kota Denpasar berdiri tegak Monumen Bajra Sandhi, simbol perjuangan rakyat Bali yang ikut mengukir sejarah kebangsaan Indonesia. Monumen ini bukan sekadar bangunan monumental, tetapi juga ruang kontemplatif yang mengingatkan bangsa akan satu hal yang tak lekang oleh waktu: Persatuan dalam keberagaman.
Kini, sembilan puluh tujuh tahun atau mendekati satu abad sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, semangat itu kembali diuji. Generasi muda hidup di era digital. Nasionalisme tak lagi diwujudkan dalam pertempuran fisik, melainkan dalam pertarungan makna, erosi identitas, dan solidaritas sosial di dunia maya.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan algoritma media sosial, apakah semangat “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia” masih bergema dalam hati anak muda hari ini?
Monumen Bajra Sandhi menjadi ruang refleksi yang tepat untuk menanyakan hal itu. Di bawah banguan yang menjulang, warga, pelajar, dan wisatawan bertemu, berinteraksi, dan menegaskan kembali cita-cita kebangsaan, bahwa Indonesia dibangun dari keberanian untuk bersatu melampaui perbedaan.
Liputan ini menggali bagaimana generasi muda memaknai monumen perjuangan seperti Bajra Sandhi dalam konteks nasionalisme masa kini.

Suasana sore hari di taman Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Minggu (26/10/2025). Sejumlah komunitas, termasuk komunitas pembaca buku, memanfaatkan ruang publik tersebut untuk diskusi. (Foto: Jarot)
Sore itu, di bawah langit cerah Renon, di taman Monumen Bajra Sandhi berdiri tegak menantang waktu. Di sekelilingnya, anak-anak muda berlarian, pelajar berfoto, dan komunitas pencinta buku berdiskusi di taman hijau yang ramai. Di akhir Oktober 2025, potret nasionalisme masa kini tecermin dari dua suara anak muda: Bintang dan Reyna.
Bintang, seorang pemuda dari Jimbaran, melihat Sumpah Pemuda dari kacamata fungsional. Baginya, era digital adalah perangkat.

Foto Bintang (ditengah baju hitam), seorang pemuda dari Jimbaran, saat diwawancarai di kawasan Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Minggu (26/10/2025). Bintang berpandangan pemuda harus memanfaatkan digitalisasi untuk berkontribusi. (Foto: Renaldi Bayu/Teja Wijaya)
“Sumpah Pemuda di era digital itu adalah bagaimana teman-teman pemuda bisa memanfaatkan digitalisasi ini untuk sama-sama saling berkontribusi dan berkomunitas,” ujar Bintang. Digitalisasi, menurutnya, menjadi alat untuk bergabung dan mengejar satu tujuan yang sama untuk negeri.
Saat ditanya tentang monumen di hadapannya, Bintang awalnya mengaku belum memahami sejarahnya. Namun, begitu mendengar nilai perjuangan Puputan yang melandasinya, Bintang langsung menarik benang merah.
“Nilai kebersamaan itu,” tegasnya. “Nilai yang diangkat dari monumen ini adalah kebersamaan. Kebersamaan pemuda untuk punya satu tujuan yang sama, yaitu melawan penjajah.”
Menjelang satu abad Sumpah Pemuda pada 2028, Bintang berharap generasi muda bisa kembali menyamakan pijakan bersama.
“Sebelum kita punya tujuan besar, samakan dulu common ground-nya. Nggak usah saling justifikasi. Beda itu bagus, tapi tujuannya harus tetap sama untuk Indonesia,” ujarnya.
Perspektif lain datang dari Reyna, mahasiswi dari Universitas Udayana. Reyna justru menawarkan jeda untuk kontemplasi. Saat ditanya kalimat apa yang relevan untuk memaknai Sumpah Pemuda hari ini, jawabannya menohok.
“Kita harus kembali refleksi, apa kita sudah bisa merefleksikan Sumpah Pemuda dari dulu?” tanyanya. “Baru kita bisa tahu apa yang cocok untuk sekarang. Karena untuk sekarang ini, menurut saya, yang itu (Sumpah Pemuda 1928) aja belum bener-bener bisa kita refleksikan.”
Bagi Reyna, relevansi sumpah itu masih absolut, namun implementasinya goyah.
“Sekarang banyak orang (muda) lebih fasih bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia. “Bahasa itu kan perekat bangsa. Kalau kita kehilangan bahasa, kita perlahan kehilangan cara melihat diri kita sebagai bangsa.” Itu menurut saya agak menyedihkan saat ini,” ungkapnya.
Reyna juga menyoroti perpecahan sosial yang masih tajam. “Kita sekarang masih banyak polarisasi. Kita sendiri bangsa Indonesia, antara orang dari suku lain ke suku satu yang lain, itu masih banyak yang rasis. Jadi menurut saya, kita harus refleksi, apa kita udah bener-bener bisa menerapkan itu (Satu Tanah Air)?”
Monumen Bajra Sandhi, yang dibangun untuk memperingati perjuangan fisik rakyat Bali, kini menjadi saksi bisu bagaimana semangat kebangsaan terus mencari bentuk barunya. Perjuangan beralih ke ranah sosial dan digital, menghadapi perpecahan opini, misinformasi, dan menurunnya empati di ruang publik virtual.
Bagi generasi seperti Bintang dan Reyna, monumen itu menjadi ruang kontemplasi, tempat sejarah dan masa kini berdialog. Aksi kolektif (Bintang) dan refleksi diri (Reyna) menjadi dua wajah dari semangat yang sama.
Sore perlahan turun di Renon. Di bawah cahaya senja yang lembut, bayangan Bajra Sandhi menjulur panjang di atas hamparan rumput hijau. Di tempat ini, sejarah tidak membisu. Ia berbicara lewat napas generasi baru yang masih berusaha menemukan makna baru dari kata bersatu.
“Nilai kebersamaan dan refleksi diri adalah dua sisi dari semangat yang sama:
Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, yang kini dapat diterjemahkan sebagai Satu Arah, Satu Suara, dan Satu Makna.”
Begitulah kiranya Sumpah Pemuda jika diucapkan kembali versi tahun 2025.
Dari Bajra Sandhi, semangat itu berdenyut kembali, bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan panggilan untuk membangun kebersamaan di tengah dunia yang kian terhubung, namun sering terasa terpisah.
Catatan Redaksi
Liputan ini merupakan hasil citizen journalism di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, menjelang peringatan Sumpah Pemuda ke-97, 28 Oktober 2025.
Wawancara dilakukan dengan dua narasumber muda. Bintang (Jimbaran) dan Reyna (Universitas Udayana), yang merepresentasikan suara generasi muda Indonesia.
Pewarta: Renaldi Bayu & Teja Wijaya
toto pools cerutu4d sangkarbet situs slot





