• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Saturday, November 1, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Perjuangan Inklusif melalui Konsep Neurodiversitas

Gita Andari by Gita Andari
29 October 2025
in Berita Utama, Kabar Baru, Kesehatan
0 0
0

Apa itu Neurodiversitas? 

Pernahkah kamu melihat sebuah pelangi? Benda melengkung yang menggantung indah di langit dengan berbagai macam warnanya. Ada warna merah, ada warna kuning, ada hijau, biru, hingga jingga. Semua warna itu membentuk pelangi yang indah. Begitupun manusia, setiap orang ibarat warna dalam pelangi. Tidak harus sama, tetapi semuanya saling melengkapi. Ada yang berpikir cepat, ada yang butuh waktu untuk memahami, ada yang cepat dalam memproses angka, ada yang mudah mencerna objek/gambar, dan lain sebagainya. Dalam keragaman cara berpikir itulah istilah neurodiversitas lahir. Bukan sebagai penyakit, tetapi perbedaan yang membuat setiap individu istimewa dan memiliki warnanya sendiri. Seorang ahli saraf bernama Dr. Antonio Damasio, dalam artikelnya berjudul “Neurodiversity Forever: The Disability Movement Turns to Brains” yang dimuat di The New York Times, menjelaskan bahwa ilmu saraf telah membuktikan adanya beragam cara otak manusia bekerja.

Istilah neurodiversitas pertama kali dikaitkan dengan Judy Singer, seorang ilmuwan sosial yang menggambarkan dirinya sebagai “seseorang yang mungkin berada di spektrum autisme.” Dalam tesisnya tahun 1999, ia menolak teori lama yang menyalahkan ibu sebagai penyebab autisme. Singer kemudian berkolaborasi dengan Harvey Blume karena ketertarikan mereka yang sama terhadap topik autisme. Meskipun Blume tidak secara langsung mengutip karya Singer, ia menggunakan istilah neurodiversity dalam artikelnya yang terbit di The Atlantic pada 30 September 1998.

Neurodiversitas merujuk pada definisi umum mencakup semua jenis perbedaan kognitif, emosional, dan perilaku. Sementara, neurodivergent/neurodivergen merupakan istilah khusus. Istilah ini dipakai untuk orang-orang yang cara kerja otaknya berbeda dari kebanyakan orang atau yang dianggap normal oleh masyarakat. Neurodivergen misalnya, mereka yang punya autisme, ADHD, atau disleksia. Judy Singer berpendapat bahwa cara kerja otak orang neurodivergen tidak keliru, hanya berbeda dari otak orang neurotipikal (orang dengan tipe otak seperti orang pada umumnya). Menurutnya, perbedaan tersebut bukan kesalahan, tetapi dalam kondisi tertentu bisa menimbulkan hambatan atau kesulitan yang kemudian dianggap sebagai bentuk disabilitas. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang menyebabkan adanya hambatan saat berinteraksi dengan lingkungan, sehingga sulit untuk berpartisipasi secara penuh dan setara dengan warga negara lainnya.

Namun tahukah kamu, meski dua konsep ini saling beririsan, sebenarnya konsep tentang disabilitas dan neurodiversitas memiliki fokus dan pendekatannya masing-masing. Terutama, mengapa pada akhirnya konsep neurodiversitas penting?

Konsep yang Inklusif

Gagasan tentang neurodiversity bukan sekadar istilah ilmiah, melainkan sebuah gerakan sosial yang lahir dari perjuangan panjang para penyandang autisme dan perbedaan neurologis lainnya untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan. Di masa lalu, kondisi seperti autisme, disleksia, atau ADHD sering dianggap “kelainan” yang perlu diperbaiki. Orang-orang yang memilikinya kerap dikurung dalam sistem medis yang menilai mereka dari apa yang “tidak bisa” mereka lakukan, bukan dari potensi yang mereka miliki. Gerakan ini berangkat dari satu prinsip sederhana namun kuat: tidak ada satu cara “benar” untuk menjadi manusia. Otak manusia berkembang dengan cara yang berbeda-beda, dan perbedaan itu bukan kekurangan.

Dari sinilah muncul pandangan baru bahwa “penyembuhan” bukan selalu tujuan utama. Bagi banyak individu neurodivergen, yang lebih dibutuhkan adalah penerimaan dan dukungan lingkungan, bukan upaya memaksa mereka menjadi seperti orang lain. 

Hal ini juga dipertegas oleh I Gusti Rai Putra Wiguna, psikiater Bali Mental Health Clinic, sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Denpasar. “Tapi gini loh, kan konsepnya disabilitas itu kecacatan, sehingga treatment-nya harus membuat dia normal, senormal mungkin. Tapi kalau neurodivergen, dia berbeda aja, dia belajar dengan cara yang berbeda, dia mengambil informasi dengan cara yang berbeda. Jadi terapinya tidak akan menghilangkan perbedaan itu,” tuturnya.

Konsep neurodiversitas membawa pesan moral yang kuat bahwa perbedaan bukan ancaman, tetapi peluang untuk memperluas empati manusia. Dalam masyarakat yang masih menilai kemampuan berdasarkan standar “normalitas,” banyak individu neurodivergen tidak mendapat kesempatan untuk berkembang.

Para ahli dan praktisi kesehatan umumnya sepakat bahwa beberapa kondisi termasuk dalam kategori neurodivergen, meskipun batasan dan definisinya bisa berbeda tergantung konteks. Beberapa kondisi yang paling sering dikenali sebagai bentuk neurodivergensi adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD), dan Disleksia. Individu dengan ADHD biasanya memiliki perbedaan dalam hal pengaturan fokus, kontrol impuls, serta fungsi eksekutif, yang membuat mereka sering kali kesulitan beradaptasi dengan sistem pendidikan atau lingkungan kerja konvensional. Sementara itu, ASD ditandai dengan perbedaan dalam komunikasi sosial, pemrosesan sensorik, serta pola perilaku dan minat tertentu. Adapun disleksia lebih berkaitan dengan kesulitan membaca dan memproses bahasa, sehingga memengaruhi cara seseorang mengenali simbol atau memahami kata tertulis.

Selain tiga kondisi utama tersebut, neurodivergensi juga mencakup gangguan neurologis dan kesehatan mental lainnya. Contohnya, Tourette’s Syndrome yang ditandai dengan gerakan atau ucapan tak terkendali, serta kecemasan (anxiety), OCD, depresi, bipolar, BPD, PTSD, dan skizofrenia. Semua kondisi ini mencerminkan variasi unik dalam cara berpikir dan merespons dunia, yang kini semakin dipahami sebagai bagian dari keragaman manusia, bukan sekadar bentuk penyimpangan.

Coba bayangkan seorang anak disleksia yang terus dianggap malas karena lambat membaca, padahal ia punya daya ingat visual luar biasa. Atau seseorang dengan ADHD yang sering dikritik karena sulit diam, padahal kreativitasnya tinggi dan mampu berpikir cepat di situasi genting.

Dengan memahami neurodiversitas, kita belajar untuk berhenti menilai manusia dari keterbatasannya saja. Namun melihat apa yang membuat cara berpikir mereka unik? Lebih jauh lagi, konsep ini membantu menggeser paradigma medis menuju paradigma sosial. 

Lantas, apa fungsi pendekatan paradigma sosial ini?

Masyarakat yang Sadar, Masyarakat yang Berdaya

Pagi itu sebuah kesempatan yang tidak terduga menghampiri saya. Saat masuk menuju parkir motor saya langsung disambut wajah sumringah oleh seorang ODS (Orang Dengan Skizofrenia) yang melambai ke arah saya. Tak lama, dia langsung menghampiri saya dengan antusias mengalungkan tangannya di lengan saya, bersikeras menyuruh saya menunjukkan foto lantas memuji saya, membuat saya agak tersipu. 

Sambil menunggu kehadiran seorang narasumber, saya dipersilakan duduk di halaman rindang dipayungi pohon besar dengan daun yang hijau nan lebat. Seorang pria tua menghampiri saya dan menyuguhkan air putih, kemudian bercengkrama singkat. Dirinya mengaku sudah cukup lama tinggal di Rumah Berdaya Denpasar. Rata-rata ODS yang berada di sana merupakan pindahan dari rumah sakit jiwa yang tidak diketahui lagi keberadaan saudara/kerabatnya. 

Merasa tertarik melihat sekelompok ODS yang sibuk berkutat dengan mesin di sudut halaman, saya kemudian mendekat sedikit ke sana. Seorang wanita dengan teramat fokus bekerja dengan tekun bersama sebuah mesin pembuat dupa. Tangan dan kakinya dengan telaten bekerja, sehingga menghasilkan stik-stik dupa yang kemudian dirapikan dan dikeringkan oleh rekan kerjanya. 

Sebelumnya, tak terbesit di benak saya, bahwa orang-orang ini akan tetap menjalani hari-hari dengan produktif bahkan sampai berwirausaha. Tak berhenti sampai di sana, seorang lelaki bersedia mengajak saya berkeliling Rumah Berdaya untuk mengeksplor apa yang disebut ‘rumah’ bagi orang-orang yang kerap dipandang sebelah mata itu. 

Masuk ke dalam gedung, saya disuguhi beragam lukisan yang menggantung di setiap jengkal tembok ruangan. Bahkan ternyata saat itu tengah dilangsungkan pameran seni. “Iya, ada pameran. Ekspresi Kebahagiaan, judulnya,” ujar Nanda, ODS yang berbaik hati memandu saya. 

Nanda menjelaskan bahwa ada lima seniman di luar Rumah Berdaya, dan beberapa seniman Rumah Berdaya yang berkolaborasi. Pameran tersebut diadakan sampai tanggal 27 Oktober 2025, dan gratis bagi siapa pun yang ingin berkunjung. Di salah satu pojok ruangan terdapat mesin jahit, bahkan Nanda menuturkan mereka juga menjalankan usaha sablon. 

Nanda kemudian menunjukkan lukisan favoritnya dengan antusias. Lukisan tersebut merupakan buah karya Nyoman Sudiyasa, selaku koordinator produksi di Rumah Berdaya dengan lukisan berjudul “Waham”. “Jadi para Skizofrenia itu, dijadiin (digambarkan) dengan Waham. Jadi kayak teori maupun kepercayaan yang diluar nalar itu, seperti ini dah ekspresinya kurang lebih,” tutur Nanda. 

Lukisan “Waham”.

Berikutnya kami berpindah ke gedung/gallery depan. “Dan ini sablonan temen-temen, ada totebag juga. Jadi kita nyablon di sini,” jelas Nanda sambil menunjuk rak dengan gantungan kaos yang dikerjakan oleh para ODS. Dan tentunya kaos-kaos tersebut dijual dan ditawarkan bagi yang berkunjung ke sana. 

“Jadi Arusaji itu, Alumni Rumah Sakit Jiwa. Itu artinya,” tutur Nanda, menjelaskan nama produk dupa yang dihasilkan di Rumah Berdaya. Hasil produksi dupa-dupa tersebut biasanya dibeli rutin oleh Pertamina selaku salah satu CSR (Corporate Social Responsibility), dan baru-baru ini juga dibeli oleh Kappa Sense Ubud. Untuk varian dupa sendiri cukup beragam mulai dari Cherry Blossom, Jasmine, hingga Kopi. 

Tak berhenti sampai di sana, para ODS juga menyediakan layanan cuci motor yang didukung oleh Pertamina. Dan baru diresmikan sekitar dua bulan yang lalu. “Jadi sama seperti (usaha) dupanya, para ODS diberdayakan. Dapat ongkos. Ongkosnya nggak seberapa sih, tapi ada imbalannya bagi yang mau berkegiatan,”  imbuh Nanda.

“Jadi have fun lah bisa dibilang, bisa sharing sama staff, bisa sharing sesama ODS. Membangun kepercayaan diri sih sebenarnya, biar PD (percaya diri) kami. PD untuk menerapkan segala sesuatu yang kita dapat di sini untuk di masyarakat. Itu tujuan paling intinya. Selain tetap mengkonsumsi obat dan kontrol,” pungkas Nanda. 

Dari kisah Nanda, kita bisa melihat bahwa perjuangan menuju masyarakat yang benar-benar inklusif tidak hanya soal akses fasilitas, tetapi juga soal stigma. Rasa percaya diri yang ia bangun di komunitas seperti Rumah Berdaya adalah bentuk perlawanan terhadap pandangan masyarakat yang masih sering mengaitkan kondisi neurodivergen dengan kelemahan atau ketidakmampuan. 

Dalam konteks inilah muncul dua jalan perjuangan yang sering dihadapi oleh para individu neurodiversitas, seperti yang diungkapkan oleh Rai Wiguna. “Jadi dua cara sih caranya berjuang kalau teman-teman mengalami kondisi-kondisi seperti ini. Mau berjuang lewat template yang sudah ada, disabilitas, tapi kan mengorbankan konsep kita, yang penting lebih bisa, atau ya bersikeras, neurodivergen,” ujarnya. 

Ini menggambarkan dilema antara menyesuaikan diri dengan kerangka disabilitas yang telah diakui secara hukum dan sosial, atau memperjuangkan identitas neurodiversitas yang inklusif dan lebih menekankan keberagaman cara berpikir tanpa label “cacat”,  meski masih minim pengakuan dan pemahaman. Oleh karena itu, dengan memahami dan mengakui neurodiversitas sebagai konsep sosial yang inklusif, maka masyarakat turut bersumbangsih kepada mereka yang kerap ditimpa oleh stigma untuk hidup lebih sejahtera dan percaya diri dengan potensi dirinya. 

cerutu4d sangkarbet situs slot
Tags: cara mengenali neurodivergenneurodivergenneurodiversitas
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Gita Andari

Gita Andari

Related Posts

Sekolah Inklusi, Bukan Sekadar Menerima, Tapi Siap untuk Semua Anak

Sekolah Inklusi, Bukan Sekadar Menerima, Tapi Siap untuk Semua Anak

31 October 2025
Next Post
Bajra Sandhi: Refleksi Sumpah Pemuda di Era Digital

Bajra Sandhi: Refleksi Sumpah Pemuda di Era Digital

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Pernyataan Sikap Forum Alumni Unud terhadap Kasus Meninggalnya TAS

Pernyataan Sikap Forum Alumni Unud terhadap Kasus Meninggalnya TAS

31 October 2025
Sekolah Inklusi, Bukan Sekadar Menerima, Tapi Siap untuk Semua Anak

Sekolah Inklusi, Bukan Sekadar Menerima, Tapi Siap untuk Semua Anak

31 October 2025
Festival Kekeruyuuuk: Wujud Perayaan Kesejahteraan Hewan dan Ekosistem Pangan

Festival Kekeruyuuuk: Wujud Perayaan Kesejahteraan Hewan dan Ekosistem Pangan

30 October 2025
Negoisasi Global untuk Pengurangan Produksi Plastik terus Berlangsung

Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berpotensi Mengancam Lingkungan dan Keuangan Negara

30 October 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia