“Berbeda Kasta, Satu Kita” merupakan judul ke-21 dari kumpulan esai yang termuat dalam Buku Bali Tikam Bali karya Gde Aryantha Soetama. Esai ini secara sederhana membahas kondisi sistem kasta hingga pergeseran yang terjadi di Bali saat ini. Topik ini juga didukung oleh beberapa cerita juga studi kasus terkait keberadaan sistem kasta.
Pembahasan berangkat dari sistem kasta sebagai feodalisme dan sistem kekerabatan vertikal tertutup. Kondisi ini memberikan keuntungan bagi Golongan Tri Wangsa sehingga sebagian dari mereka merasa sistem ini perlu tetap ada. Pandangan dari “golongan atas” ini sering kali menyebabkan diskusi terkait kasta menjadi hal nonformal atau hanya dibicarakan di suasana tertutup.
Selanjutnya, pembahasan berlanjutnya dengan salah satu cerpen terkenal berjudul “Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar.” Secara singkat, cerpen tersebut menceritakan bagaimana sistem kasta secara tidak langsung merusak hubungan keluarga. Perbedaan pandangan terkait kasta antara bapak dan anak berujung pada konflik berkepanjangan yang bahkan belum usai hingga sang ayah meninggal dunia.
Sistem kasta di Bali berhasil menciptakan perbedaan signifikan pada kelompok masyarakat. Golongan Tri Wangsa menjadi cenderung tertutup dan sering kali mendapat beberapa hak-hak istimewa dalam kehidupan sosial masyarakat. Setelah berbicara tentang kasta di masa lalu dan implementasi di masa kini, tulisan ini mengutip pembahasan terkait bagaimana kondisi sistem kasta di masa yang akan datang.
Diprediksi, sistem kasta akan bersifat horizontal terbuka dan sistem kasta atau catur warna akan kembali kepada isi dan makna sebenarnya. Segala pengaruh feodalisme dalam sistem kasita akan luntur menuju hubungan tanpa pembatas. Prediksi itu sudah mulai terlihat terutama pada generasi muda Bali yang terpengaruh modernisasi.
Dari golongan Tri Wangsa pun sudah mulai banyak yang tidak lagi menuliskan gelar-gelar kebangsawanan di depan namanya. Namun, sistem kasta berbasis feodalisme masih kental di daerah-daerah pedalaman.
Sebagai penutup tulisan tersebut, sistem kasta berbasis feodalisme telah banyak menimbulkan konflik-konflik dalam masyarakat. Sistem ini harus dikembalikan ke pemaknaan yang sesungguhnya guna menghilangkan golongan eksklusif dalam sifat kolektif masyarakat bali. Kita dan semua komponen harus sadar bahwa orang Bali memang berbeda-beda kasta, tetapi orang Bali sejatinya satu.
Aktualisasi Desa Adat “Aktualisasi Desa Adat” merupakan judul ke-33 dari kumpulan esai yang termuat dalam Buku Bali Tikam Bali. Secara umum, esai ini menulis tentang pentingnya memposisikan dan mengevaluasi kembali eksistensi dari konsep desa adat di Bali. Pemosisian tersebut memuat kaitannya dengan pemerintah daerah, kebutuhan masyarakat, dan sebagainya. Tulisan diawali dengan pernyataan bahwa kendati desa adat sering digaungkan, belum pernah ada istilah Bali sebagai provinsi adat.
Pemerintahan di Provinsi Bali masih menggunakan konsep pemerintahan modern yang dapat saja melahirkan istilah desa dinas. Konsep pemerintahan adat dan pemerintahan daerah sering kali menjadi bahan perdebatan. Perkumpulan pemuka desa adat se-Bali yang difasilitasi pemerintah daerah dijadikan pujian sekaligus ironi karena desa adat masih sangat bergantung dengan pemerintah daerah.
Kondisi desa adat yang disoroti juga berupa peran desa adat yang sering kali hanya sebagai pelaksana, sedangkan fasilitator utamanya tetap pemerintah daerah. Selain itu, keterlibatan desa adat dalam politik juga menjadi sorotan bersama terkait eksistensi desa adat. Untuk mampu berdikari, desa adat tentu memerlukan kekuasaan.
Namun, kontestasi kekuasaan dapat menghancurkan masyarakat dan desa adat itu sendiri. Hal ini belajar dari peristiwa G30S PKI dimana masyarakat yang tidak paham kondisi politik justru menjadi saling bunuh satu sama lain. Peristiwa inilah yang sering menjadikan desa adat sebatas hanya “budaya” tanpa keterlibatan aktif secara politis.
Esai tersebut menyoroti perlunya aktualisasi diri desa adat untuk tetap menjaga eksistensi dan menjawab tantangan yang ada. Keterbukaan dan mulai mengevaluasi pemosisian desa adat dapat menjadi jawaban untuk menjaga eksistensi dari desa adat. Aktualisasi seperti melihat kembali fungsi utama dan dibutuhkannya desa adat di masa lampau dapat membantu proses percepatan dalam upaya mencari jawaban tersebut.