Yayasan IDEP Selaras Alam menyelenggarakan Festival Air Bali dengan berbagai agenda edukatif dan advokatif.
“Kalau industri pertambangan yang ditambang emas, mineral, bauksit, nikel dan sebagainya. Kalau di pariwisata, peradaban kita yang ditambang,” ujar Putu Ardana serius.
Kehadiran Putu Ardana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) pada FGD Multipihak Kolaborasi untuk Peta Jalan Air Bali adalah fakta bahwa berbagai masalah menggempur peradaban air di Bali. Tidak hanya Ardana yang berbagi keluh kesah fakta di lapangan maupun upaya dari warga. Ada beberapa warga yang mewakili kelompok masyarakat adat turut berbagi pengalaman, seperti Kayoman Pedawa, Subak Catur Angga Batukaru, Subak Intaran dan lainnya.
Ardana melanjutkan, subak dengan pengakuan dari UNESCO menjadi ajang jualan nama Bali di ranah pariwisata. Ia mempertanyakan, bagaimana kondisi di subak khususnya Subak Jatiluwih. Menurutnya, jika anak muda di Jatiluwih tidak ada yang mau mengurus subak, maka subak menuju senjakala-nya. “Begitu pula dengan peradaban lainnya, tarian sakral yang dikeluarkan pada event tertentu, jadi dikeluarkan karena ada turis, ini jadi warning,” ujar Ardana melanjutkan pemikirannya pada Selasa, 30 Juli 2024.
Ragam dialog hidup di Taman Inspirasi Muntig Siokan Desa Adat Intaran, Sanur Kauh, Denpasar Selatan. Pihak lainnya yang urun daya menelurkan gagasan berdasarkan masing-masing kompetensi begitu beragam. Ada dari pihak pemerintah, peneliti/praktisi di bidang air, organisasi masyarakat sipil, organisasi kelompok disabilitas, unit bisnis/asosiasi, dan jurnalis.
Melalui diskusi tersebut diharapkan menghasilkan rancangan awal peta jalan manajemen air Bali yang terbuka untuk kolaborasi dan partisipasi multi-pihak. Selain peta jalan bidang air, juga diharapkan menghasilkan rancangan awal peta jalan pembangunan Bali yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Peta ini diharapkan pula terbuka untuk kolaborasi dan partisipasi multi-pihak.
Sebelumnya, IDEP telah merilis laporan penelitian bersama Politeknik Negeri Bali (PNB) sejak tahun 2014. “Sebetulnya sudah ada rekomendasi sebanyak 136 sumur yang bisa dibuat, sekarang baru 90-an,” ujar Muchamad Awal, Direktur Eksekutif Yayasan IDEP. Melalui laporan penelitian tersebut, diharapkan mampu menjadi penentu daerah prioritas terpenuhinya cadangan air. Awal melanjutkan, daerah resapan dan sumber air utama berada di area tengah Bali, tepatnya di kawasan hulu seperti Kabupaten Bangli, Tabanan, dan Buleleng. Sedangkan wilayah di Badung dan Denpasar menjadi kawasan yang memanfaatkan air dari hulu.
Hulu tergerus hilir
Majalah Sarad di tahun 2000 menuliskan hasil wawancara dengan Jero Gede Makalihan, sesepuh adat Batur. Tulisan bertajuk Situs Air dengan Sebelas Tirta itu menjelaskan bahwa Batur sebagai sebuah situs air terlengkap dalam jagat agraris Bali. Ada sebelas sumber air (tirtha) di seputar danau ini. Masing-masing: Telaga Waja, Danu Gadang, Danu Kuning, Bantang Anyud, Pelisan, Mangening, Pura Jati, Rajang Anyar, Manik Bungkah (Toya Bungkah), Mas Mampeh, dan Tirtha Prapen. Masing-masing sumber air ini memiliki fungsi sendiri-sendiri, sekaligus menjadi pemasok air sungai-sungai utama di Bali. Danu Kuning, misalnya, memasok (ngecok) ke Tukad Melangit di Klungkung dan Tukad Pakerisan.
Danu Gading memasok air ke Tukad Bubuh, Telaga Waja mengalir ke Tukad Telaga Waja yang memasok air ke subak di Karangasem dan Klungkung, dan seterusnya. Pasokan air tersebut yang menjadikan subak-subak di wilayah yang dialiri oleh sungai-sungai bersangkutan akhirnya nyungsung (bertanggung jawab) ke Pura Danu di Batur, Beratan, Tamblingan, atau malah Gunung Agung secara langsung.
Namun, peradaban air kian digerus peradaban jalan. Sistem subak yang sejatinya bahu-membahu menghidupi kelangsungan air, kini tercekat. Kelompok masyarakat di hulu mengeluhkan tentang beban konservasi yang harus ditanggung saat di hilir sibuk menggerus air di wilayah hulu. Meskipun durasinya singkat, persoalan keadilan dan tanggung jawab atas konservasi air turut dibahas dalam dialog ini. Salah satu batu sandungan terbesar adalah tumpang tindih regulasi di pusat dan daerah. Ini termasuk lancungnya UU Cipta Kerja yang memudahkan investasi nir konservasi.
FGD Penyusunan Peta Jalan Air Bali merupakan rangkaian dari Festival Air Bali dalam program Bali Water Protection (BWP). Program ini berupaya memperkuat manajemen sumber daya air di Provinsi Bali. BWP berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik seperti sumur resapan untuk meningkatkan penyerapan air hujan ke dalam tanah, serta melakukan kampanye edukasi terkait isu air. Selama 6 tahun terakhir, BWP telah membangun 62 sumur imbuhan di berbagai lokasi strategis di Bali yang berkolaborasi dengan PNB dan mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, seperti penanaman pohon lokal.
Berbagai kegiatan Festival Air Bali dimulai sejak pukul 08.00 WITA. Pojok Edukasi untuk Anak membuka festival ini dengan menghadirkan Pekak Made Taro yang menampilkan Dongeng Pagi. Dilanjutkan dengan FGD Multipihak Kolaborasi untuk Peta Jalan Air Bali; Lokakarya Bali Memanen Air Hujan; Coffee Talks Bali Hari Ini (Bahari); Podcast Sunset Bedah Karya BWP Competition 2024; Pertunjukan Seni Panggung Hiburan Rakyat.
Air dari perspektif geologi
Ketika membicarakan air tanah tidak terlepas dari keterdapatan (aliran dan ketersediaan) air tanah terutama di cekungan air tanah. “Kita punya sekitar 8 cekungan air tanah dan semuanya memiliki kondisi geologi berbeda-beda. Sehingga kami mendorong juga agar pengelolaan air ini berbasis data,” ujar Oka Agastya peneliti ilmu geologi.
Kondisi geologi akan mempengaruhi sebaran air tanah. “Kita tinggal di vulkanik island, Bali bergantung dengan dataran tingginya, daerah pegunungan Agung, Batur, danaunya itu sumber daerah resapan,” papar Oka sebagai Wakil Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Bali. Menurut Oka kondisi ini jelas berbeda dengan daerah Eropa. Tipologinya berupa hamparan benua. Sehingga kondisi resapan air dan cekungan air tanahnya juga berbeda. Kondisi geologi terhadap air juga dipengaruhi perubahan iklim. Sehingga ada fenomena kelebihan air atau banjir maupun kekurangan air atau kekeringan.
IAGI dengan kegiatan penelitian geolistrik yaitu mengalirkan listrik ke dalam tanah. Tujuannya untuk mengetahui tipologi dan batuan di dalam tanah. “Ini membantu kami untuk memahami lebih detail lagi bagaimana sih kondisi air di bawah kita,” ujar Oka yang diwawancarai pada 30 Juli 2024 di Muntig Siokan.
Proses itu mengetahui dua tipe lapisan, pertama yaitu lapisan yang dapat meneruskan air tanah. Sedangkan tipe kedua, lapisan yang tidak dapat meneruskan air tanah. IAGI ingin mendata sumur bor berbasis teknologi IOT. Teknologi untuk memantau kondisi kelayakan sumur bor. Oka mencontohkan jika sumber air berlebihan digunakan oleh pihak tertentu maka perlu dihentikan sementara pemanfaatan airnya. Selanjutnya akan ada observasi. Namun, saat ini teknologi itu masih belum dikembangkan. Oka menduga pihak swasta telah menggunakan teknologi ini, tetapi di pemerintahan belum.
Sejauh ini basis data peneliti menggunakan data pemerintah, Oka belum mengetahui pasti apakah data dari pihak swasta dapat dimiliki. Ketua IAGI, Putu Dian menjelaskan lebih lanjut teknologi untuk mengecek kedalaman sumur dengan aplikasi berbasis frekuensi. Jika digunakan seminggu maka akan terungkap penggunaan air tanah. Aplikasi tersebut dikembangkan mahasiswa Universitas Delft Belanda. Terbentur lisensi, alhasil IAGI belum mampu mengikuti pola pengembangan aplikasi tersebut.
Aspek geologis penting dipahami sebelum melakukan konservasi. “Dari data ini dari sini kita tahu yang tepat digunakan untuk konservasi, apakah menggunakan biopori, sumur bor, sumber resapan, atau melakukan penanaman, basis data penting untuk memastikan metode konservasi yang tepat,” papar Oka. Namun data ini masih terbatas, tetapi IAGI terbuka untuk bekerjasama jika ada yang membutuhkan. “Tapi kembali lagi ini kerjaan parsial, basis gotong royong kami berusaha membantu dari sisi scientist, dari sisi advokasi terhadap keilmuannya,” ucap Oka.