Oktober 2023 lalu, saya hanya bisa tertegun menapaki jalan tanpa aspal di Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem. Saya sempat terpeleset saat menuju rumah Kepala Dusun Darmaji. Kemiringannya 45 derajat dikombinasikan dengan medan kering berpasir. Sepatu saya tak mampu menahan slip medan itu.
Seketika lamunan saya pecah ketika dalam ingatan membayangkan kondisi di Desa Ban amat kontras dengan Bali Selatan. Akses jalan mulus, meski macet masih jadi persoalan serius.
Tidak hanya kering dan berpasir, akses jalan dari satu dusun ke dusun lainnya tidak rata. Jalan terjal dan gradakan. Saya dan teman-teman yang liputan saat itu harus mengenakan mobil khusus. Kalaupun motor harus menggunakan moto trail.
Persoalan akses jalan bukan satu-satunya di Desa Ban. Air dan sanitasi layak mendapat perhatian dan penanganan serius. Saya sempat kebelet ingin buang air kecil. Lokasinya saat itu saya berada di sebuah sekolah di Dusun Manikaji.
Saya coba mencari toilet secara mandiri. Namun, saya tak menemukan toilet di sekeliling bangunan sekolah. Akhirnya, saya coba menanyakan kepada para siswa yang tengah menunggu kedatangan guru. Mereka menunjuk bangunan berukuran kurang lebih 2 x 2 meter beratapkan seng. Itu adalah toilet satu-satunya di Sekolah Manikaji.
Jarak dari gedung sekolah ke toilet cukup jauh dibandingkan sekolah lainnya di perkotaan. Medan jalannya agak menurun dan berpasir. Salah melangkah langsung terjun bebas (kepeleset). Saat memasuki toilet, saya tercengang. Kondisinya diselingi lumut hitam dan tidak ada air di bak. Pada bagian kloset ada kotoran bekas buang air besar yang tidak tersiram. Saya menghidupkan keran air, tapi yang keluar hanya angin.
Tidak apa-apa, pikir saya begitu. Selekas mengecek kondisi toilet, rasa kebelet buang air kecil hilang, saya pun keluar dari toilet. Saya bertanya lagi pada para siswa, di mana saya bisa mendapatkan air. Seorang ibu yang lewat mendengar saya bertanya. Ia langsung menunjuk cubang, tempat warga biasa ambil air dengan gentong.
Cubang itu kedalamannya kurang lebih 2 meter. Hanya ada satu pipa dengan aliran air yang menetes dengan pelan. Saya mencoba ambil air dengan perlahan, gayung berwarna hijau terang itu sudah penuh dengan air. Sesuai firasat, separuh air jatuh karena mengarungi medan jalan turunan. Batin saya lagi, tidak apa-apa.
Sambil menahan nafas, saya buang air kecil dengan buru-buru dan segera menyiramnya. Melihat notifikasi ponsel, rekan saya saat liputan tengah mencari saya. Mereka meminta untuk segera mewawancarai narasumber. Saya semakin bergegas, meninggalkan sisa buang air besar yang entah milik siapa.
Kala itu saya dan teman-teman meliput soal isu perkawinan anak. Selama hampir 4 hari bolak-balik dari Tulamben ke Ban, saya menyadari bahwa ada persoalan lainnya selain perkawinan anak. Pertama kekeringan serta dampak turunannya sulitnya distribusi air. Kedua akses jalan. Ketiga, susah listrik dan sinyal.
Pertama soal kekeringan. Ini bukan hal asing terjadi di Desa Ban. Saya sempat bertanya ke beberapa warga, rata-rata menjawab ini adalah hal yang sudah lama terjadi. Saya pun mencari bagaimana sejatinya tipologi Desa Ban. Secara tata letak geografis Desa Ban berada di kaki Gunung Agung. Beberapa dusun ada yang berbatasan langsung dengan Gunung Abang dan Gunung Batur.
Kekeringan bisa jadi faktor sulitnya akses air. Namun, distribusi air jadi masalah jika tidak direncanakan dengan tepat. Beberapa bantuan distribusi air sempat diterima, misalnya pada Oktober 2023 lalu, BPBD Karangasem menyalurkan bantuan air bersih ke Desa Ban. Akses air ini mempengaruhi sanitasi, contohnya sederhana yaitu saat saya buang air kecil ada kotoran sisa buang air besar yang tak tersiram.
Kedua, akses jalan. Ini bukan soal baru di Ban. Akses jalan yang beberapa elok dilewati, itupun hasil perbantuan dari organisasi non-profit yang menjembatani, yaitu EBPP. Sudah berbagai audiensi dilakukan, tetapi jalan di beberapa dusun setelah Dusun Ban, tak beraturan.
Ketiga, susah listrik dan sinyal. Liputan terbaru di Bali Post pada Januari 2024 lalu, menyebutkan ratusan KK di Ban belum teraliri listrik. Pengalaman saya selama di Ban, belum pernah menggunakan listrik karena menginap di Tulamben. Namun, susah sinyal sangat terasa. Baru tiba di Ban, tidak ada batang sinyal tersisa di gawai. Begitu pula rekan saya lainnya.
Tak kehabisan akal, saya menyambangi sekumpulan warga yang sedang duduk-duduk di depan gerbang sekolah. Saya meminjam gawai mereka untuk menelepon narasumber dan berhasil. Warga memberikan solusi pada kami untuk membeli kartu provider merek Indosat yang sudah lebih dulu bisa menangkap sinyal. Sebelum Indosat, warga punya penangkap sinyal khusus bernama Mentari. Kami membeli kartu Indosat dan memasangnya pada salah satu gawai teman kami, tetapi kondisinya setali tiga uang. Sinyal datang dan pergi.
Saya jadi malu dengan warga Desa Ban. Mereka masih bisa tersenyum menjalani hari-hari dengan gembira. Mekispun pastinya mereka mencoba ‘terbiasa’ dengan kondisi ini. Saya berterima kasih atas segala yang saya dapatkan dan kemudahan yang ada. Air di kamar mandi yang mengalir tanpa masalah. Sedangkan para warga di Desa Ban harus mengarungi medan jalan yang sulit untuk mendapatkan air, iya air, kebutuhan dasar manusia.
Keadaan ini menimbulkan persoalan secara sosial. Ditambah kebijakan yang belum memenuhi seutuhnya kebutuhan masyarakat. Namun, masih ada asa bagi masyarakat untuk sejahtera kan? Mau sampai kapan warga diminta untuk tabah sampai adaptasi?