Kabar bohong atau hoaks masih mengintai di berbagai platform media sosial. Survei Mastel 2017 mengungkapkan bahwa masyarakat menerima hoax setiap hari lebih dari satu kali. Saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah media sosial. data hoaks yang dilakukan oleh media massa
Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2024, kategori informasi hoaks yang sering ditemui berasal dari kategori politik, sebanyak 24,7 persen. Kategori infotainment menempati urutan kedua sebesar 15,27 persen. Sedangkan kategori kejahatan pada urutan ketiga sebesar 11,49 persen. Sisanya berkaitan dengan isu ekonomi, pendidikan, keagamaan, bencana, pemerintahan, kesehatan dan internasional.
Medium yang paling sering ditemukan informasi hoaks adalah media sosial sebesar 59,75 persen. Berbagai jenis hoaks ditemukan dalam media sosial, dapat berupa gambar, video hingga teks. Media chat menempati urutan kedua sebesar 29,12 persen, disusul situs berita sebanyak 11,12 persen.
Penelitian Mastel pada tahun 2017 dalam jurnal ilmiah bertajuk Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah situs web, sebesar 34,90 persen, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80 persen, dan melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) yang merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40 persen. Sementara itu, data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut dalam riset yang dilakukan oleh Pratama pada tahun 2016. Ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian.
Organisasi nirlaba yang mendukung jurnalis, akademisi, dan teknolog bernama First Draft, memasukkan ketujuh jenis hoaks ke dalam dua kategori, yaitu disinformasi dan misinformasi.
Disinformasi dan misinformasi adalah dua hal yang berbeda. Disinformasi adalah gangguan informasi yang disebabkan adanya kesengajaan dari si penyebar untuk membagikan informasi yang kurang tepat. Motif pelaku disinformasi beragam, dari menyebar kebencian, emosi, hingga untuk bercanda.
Sedangkan misinformasi merupakan gangguan informasi yang disebabkan kurangnya masyarakat dalam mengecek fakta terhadap informasi yang disebarkan. Pelaku misinformasi tidak sadar melakukan misinformasi. Apa yang mereka anggap benar akan dipercaya begitu saja dan disebarkan. Kedekatan secara personal juga mempengaruhi terjadinya misinformasi, serta keinginan untuk menjadi yang tercepat dalam menyebarkan informasi.
Jenis lainnnya yaitu malinformasi merupakan tindakan menyalahgunakan informasi untuk keperluan pribadi/kelompok. Misalnya propaganda politik yang bertujuan untuk menjatuhkan lawannya dengan menyebarkan informasi rahasia.
Penjabaran lebih lengkap terdapat 7 jenis misinformasi dan disinformasi di antaranya.
- Satire atau Parodi
Menemukan konten bercandaan berseliweran di medsos? Lucu tapi harus tetap hati-hati karena bisa jadi konten itu adalah satire atau parodi yang termasuk hoaks.
Konten ini tidak membahayakan tetapi dapat mengecoh. Wujudnya berupa sindiran atau kritik yang ditujukan kepada pihak tertentu. Meskipun terkesan bercanda, tetapi sebagian masyarakat masih ada yang menanggapi informasi dalam konten tersebut sebagai sesuatu yang benar dan serius.
- Misleading Content (Konten Menyesatkan)
Informasi asli yang dipelintir akan melahirkan konten menyesatkan. Hoaks jenis ini biasanya sengaja dibuat demi menggiring opini sesuai dengan kehendak pembuat konten menyesatkan. Pelaku akan memanfaatkan informasi asli, misalnya gambar, pernyataan resmi, atau statistik. Info tersebut akan diedit sedemikian rupa sehingga tidak memiliki hubungan dengan konteks aslinya.
- Imposter Content (Konten Tiruan)
Mencatut pernyataan tokoh terkenal agar mempopulerkan suatu lembaga adalah contoh dari konten tiruan atau imposter content. Korbannya tidak hanya tokoh terkenal, suatu lembaga terkenal yang dicatut keterangannya untuk konten tiruan.
- Fabricated Content (Konten Palsu)
Konten fabrikasi atau konten palsu memanfaatkan informasi asli yang seluruhnya tidak dapat dipercaya. Biasanya, fabricated content berupa informasi lowongan kerja palsu dan lain-lain.
- False Connection (Koneksi yang Salah)
Konten jenis ini biasanya diunggah demi memperoleh keuntungan berupa profit atau publikasi berlebih dari konten sensasional. Konten sensasional dengan judul tak selaras dengan isinya dapat digolongkan sebagai hoaks koneksi yang salah.
- False Context (Konteks Keliru)
Konteks keliru merupakan konten dengan konteks yang salah. Biasanya memuat foto maupun video yang pernah terjadi dilengkapi dengan teks yang tidak sesuai fakta.
- Manipulated Content (Konten Manipulasi)
Konten manipulasi memuat berbagai cuplikan video dari media kredibel dan diedit. Narasinya biasanya melebih-lebihkan atau tidak utuh. Sehingga dapat mengecoh publik.